Mungkin kira-kira setahun lalu, seorang temanku datang sore-sore dan menanyakan apakah ada orang yang bisa ia pekerjakan untuk mengasuh anak balitanya. Kurasa temanku ini sudah habis akal sampai menanyakan hal seperti itu kepadaku. Jelas aku pendatang di kota ini dan tidak banyak yang kukenal di sekitar sini; mestinya dia sebagai orang yang lahir dan besar di kota ini lebih tahu ke mana mencari pengasuh.
Pengasuh yang dia cari itu sebisa mungkin tidak menginap. Dia tinggal di kontrakan yang hanya cukup untuk menampung dia dan suaminya serta satu anak balita. Dia mengatakan sudah mencari ke mana-mana, tapi tidak dapat juga. Padahal dia tidak bisa keluar dari pekerjaannya dan total mengabdikan diri untuk anaknya. Tak mungkin hanya mengandalkan gaji dari suaminya. Untuk beli susu anaknya saja pasti sudah cekak. Mau tak mau aku pun ikut kebingungan. Setelah menempuh sekian hari yang sangat merepotkan, akhirnya temanku itu mendapatkan pengasuh untuk anaknya.
Namun, aku masih ingat betul ketika dia menceritakan hari-harinya yang berat itu. “Aku tidak bisa tidur dan cuma menangis kalau malam.” Ya, bisa kubayangkan kerepotan dan kebingungannya.
Belum lama ini seorang teman juga bercerita bahwa cutinya untuk melahirkan sudah habis. Sudah waktunya kembali ke kantor. “Tapi aku bingung nih. Sampai sekarang belum dapat orang yang bisa momong anakku.” Untung saja kantornya cukup berbaik hati. Dia boleh membawa anaknya ke kantor. Kebetulan di kantornya tersedia ruangan (semacam rumah di lantai paling atas), di mana dia bisa menidurkan anaknya di sana. “Tapi kan tidak enak kalau tidak ada yang mengawasi anakku.” Memang sih, lantai teratas itu kosong. Jadi, kubayangkan dia pasti harus bolak-balik naik turun tangga untuk menengok anaknya. “Kalau sampai sebulan ini aku tidak mendapatkan pengasuh untuk anakku, aku terpaksa keluar. Mau bagaimana lagi?”
Temanku itu sudah cukup lama bekerja di kantor tersebut. Mungkin dia termasuk salah satu karyawan “andalan”. Kalau dia keluar, mungkin perusahaannya itu yang agak kerepotan mencari pekerja baru. Tapi keluarga/anak lebih penting dari pekerjaan, katanya.
Beberapa bulan yang lalu aku bertemu seorang calon ibu muda. Usia kehamilannya baru sekitar lima bulan. Aku bertanya, “Besok kalau anakmu sudah lahir, rencananya siapa yang mengurus?” Jawabannya agak membuatku kaget: “Tidak tahu.” Tapi dia kemudian mengatakan bahwa kemungkinan dia akan mempekerjakan babysitter atau menitipkan anaknya ke daycare. Bagaimanapun aku masih kaget dengan jawaban “tidak tahu”-nya itu.
Dulu, ketika aku masih bekerja kantoran, ada seorang temanku yang punya dua anak balita. Ada kalanya dia “terpaksa” cuti karena asisten rumah tangga (ART) atau pengasuh anaknya mendadak minta pulang atau kabur. Kejadian semacam itu cukup sering, seingatku. Kadang-kadangART-nya baru kerja sebulan bekerja, lalu minta pulang. Itu berarti dia harus mencari ART yang baru dalam waktu dekat. Kalau agak lama tidak dapat-dapat, dia meminta orangtua atau mertuanya datang untuk mengawasi anaknya.
Rasa-rasanya seperti itulah kerepotan seorang ibu yang bekerja: kesulitan mendapatkan pengasuh atau ART, sementara dia sendiri belum tentu bisa meninggalkan pekerjaannya. Agak beruntung jika gaji dari suaminya bisa diandalkan. Kalau tidak? Mau tidak mau, sebagai istri dia harus bekerja juga. Belum tentu juga dia “ikhlas” dan legowo meninggalkan pekerjaannya. Pernah juga kudengar seorang ibu sebetulnya masih ingin bekerja, tapi karena anak-anak di rumah tidak ada yang mengurus, mau bagaimana lagi? Kurasa tidak semua perempuan ingin betul-betul sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga yang tinggal di rumah dan membaktikan hidupnya membesarkan anak. Oke, banyak yang bilang itu adalah tugas mulia. Tapi belum tentu semua perempuan menginginkan itu. Ada juga perempuan yang senang bekerja kantoran, beraktivitas dengan teman-teman, mengejar karier, dan semacamnya.
Selama ini kerepotan seperti itu tidak mendapat tanggapan dari pemerintah. Kebanyakan orang agaknya masih mengandalkan bantuan dari keluarga besarnya untuk soal pengasuhan anak. Tapi, tidak semua orang bisa seperti itu, kan? Aku rasa, jika di setiap kantor ada penitipan anak, seorang ibu bisa bekerja dengan lebih tenang. Jika di tiap kantor susah diadakan penitipan anak, minimal di lingkungan sekitar kantornya ada. Dan kalau bisa sih, penitipan tersebut tidak berbasis agama atau membawa-bawa agama tertentu. Bagaimanapun, Indonesia ini agama orang tidak seragam, bukan? Kalau mau berbasis agama, silakan buat penitipan anak di rumah ibadat masing-masing. Ini cuma usul sih.
1 Comment
rully winarta
Maret 20, 2013 - 6:43 ammenurut saya apabila kita sudah komit pada suatu keputusan hendaknya sudah melalui pemikiran yg matang janganlah menyalahkan sesuatu. sebab segala sesuatu yg kita lakukan ada batasan sesuai kodrat kita masing2. Apabila kedua hal tdk bisa jalan berbarengan haruslah dikorbankan salah satu tanggung jawab kita…yakni pekerjaan atau profesi kita.