Di Kapal Yang Sama

Belum ada komentar 119 Views

Masuklah Nuh ke dalam bahtera itu bersama-sama dengan anak-anaknya dan istrinya dan istri anak-anaknya karena air bah itu. Dari binatang yang tidak haram dan yang haram, dari burung-burung dan dari segala yang merayap di muka bumi, datanglah sepasang mendapatkan Nuh ke dalam bahtera itu, jantan dan betina, seperti yang diperintahkan Allah kepada Nuh. (Kejadian 7:7-9)

Pembukaan Asian Games 2018 yang digelar di Stadion Utama Bung Karno pada tanggal 18 Agustus yang lalu telah berhasil menarik perhatian banyak orang. Semua dapat menyaksikan acara ini, baik secara langsung di Stadion Utama Bung Karno, di layar lebar yang dipasang di banyak tempat dengan istilah ‘Nobar–nonton bareng’, atau di rumah masing-masing, di depan layar televisi. Bahkan di ponsel pun acara ini dapat disaksikan ‘live streaming’. Semua seakan-akan menyatu dalam kemeriahan dan kekaguman.

Dekorasi panggung yang sedemikian indah, penampilan penari dan penyanyi dalam balutan musik yang terangkai dalam kebersamaan yang harmonis, sungguh membuat takjub.

Kemegahan panggung yang menampilkan 4 elemen yang menggambarkan kekayaan alam Indonesia, yaitu air, bumi, angin dan tanah, menjadi tanda harapan dan kekuatan yang bersinar dalam hati seluruh rakyat Indonesia. Slogan ‘Energy of Asia’ yang dikumandangkan, telah menempatkan kesatuan dalam keberagaman di tempat terdepan.

Bermacam lagu daerah dirangkai dalam satu gubahan atraksi, yang pada akhirnya menjadi suatu suguhan seni yang menyuarakan makna kesatuan. Jumlah ribuan pendukung atraksi ini, yang terdiri atas bermacam-macam usia, latar belakang pendidikan dan suku, telah memperlihatkan kepada dunia, bahwa ‘Persatuan itu Indah’. Persatuan menjadi sebuah kekuatan yang menular.

Bila Pembukaan Asian Games 2018 di stadion Utama Bung Karno menunjukkan keberagaman yang menyatu, nun jauh di waktu silam, ada sebuah cerita yang juga mengisahkan keberagaman di satu tempat, yaitu di bahtera Nabi Nuh.

Diceritakan, bahwa tatkala kejahatan manusia di bumi merajalela dan apa pun yang dilakukannya selalu membuahkan kejahatan, Tuhan memusnahkan bumi dengan air bah yang meliputi bumi selama 150 hari.

Namun Nuh mendapat kasih karunia-Nya, sehingga dia dan keluarganya beserta 7 pasang binatang tidak haram, 1 pasang binatang haram, dan 7 pasang burung di udara, selamat dari bencana itu.

Dalam bahtera yang dibuat berpetak-petak dengan keseluruhan ukuran panjang 300 hasta (135 meter), lebar 50 hasta (22,5 meter) dan tinggi 30 hasta (13,5 meter), serta bertingkat bawah, tengah dan atas itu, mereka dipilih dan diselamatkan Tuhan.

Ya… di kapal yang sama, manusia (Nuh bersama keluarganya) hidup bersama aneka binatang yang tidak haram dan haram, serta burung. Kebersamaan hidup di kapal yang sama tentunya tidaklah mudah. Butuh kesediaan masing-masing untuk menerima yang lain.

Perbedaan yang nyata terlihat antara lain:

  • Beda bentuk -> Ada manusia, ada binatang tidak haram, ada binatang haram, ada burung.
  • Beda jenis -> Laki-laki dan perempuan, jantan dan betina.
  • Beda usia -> tua dan muda.

Pada akhirnya, dari kapal itulah kehidupan baru di bumi dimulai.
Ya, kehidupan baru terjadi tatkala ada:

  • Ketaatan pada Tuhan -> Nuh melakukan segalanya sesuai perintah Tuhan.
  • Persiapan yang membutuhkan kerja keras, mental kuat, ketekunan -> situasi di mana Nuh dan keluarganya membuat bahtera itu di tengah lingkungan manusia yang jahat di mata Tuhan.
  • Adanya kerja sama -> antara Nuh dan burung merpati yang memberi tanda tentang surut-tidaknya air bah tersebut.
  • Nuh yang membuka pintu bahtera -> kesiapan menyongsong hidup baru di bumi baru.

Sahabat,
Bukankah sekarang kita juga sedang berada di kapal yang sama, yaitu di kapal GKI Pondok Indah, di bumi Indonesia? Mari, dalam keberagaman suku, jenis, usia, pendidikan, pendapat, pemikiran dan sifat, kita bersama mengarungi kehidupan yang dititipkan pada kita.

Mari merangkainya menjadi tarian yang indah, yang menakjubkan dunia, supaya orang-orang tahu dan mengenal Bapa kita. Semoga kehidupan kita menjadi kitab terbuka yang mencerminkan Kristus di dalamnya.

Selamat mengarungi laut kehidupan bersama-sama.

>>Evelyn Sutedjo

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...