Tahun 1976, sekitar pertengahan bulan Juni, saya tiba di jemaat GKI Wonosobo, Jawa Tengah, untuk melakukan tugas penelitian jemaat dan praktik awal. Penelitian dan praktik terutama akan dilakukan di desa Winongsari, di mana jemaat GKI Wonosobo mempunyai sebuah bakal jemaat, yang waktu itu disebut sebagai cabang.
Dengan Majelis GKI Wonosobo disepakati bahwa dua minggu sekali, pada akhir minggu saya ke Wonosobo agar bisa membantu pelayanan kebaktian Sekolah Minggu atau remaja, berhubung jemaat GKI Wonosobo tidak mempunyai pendeta. Selebihnya saya akan berada di desa Winongsari. Setelah menginap dua malam di Wonosobo untuk perkenalan dan pengarahan, sekitar jam 9 pagi saya menuju ke desa Winongsari.
Sesuai dengan petunjuk yang saya terima, saya menaiki bus ke arah Banjarnegara selama kurang 45 menit sampai di pertigaan Kaliwiro. Dari situ setelah menunggu sekitar 15 menit, datanglah omprengan yang saya naiki selama kurang-lebih 30 menit hingga kota kecamatan Kaliwiro. Dari situ saya masih harus berjalan kaki sejauh 7 kilometer untuk mencapai desa Winongsari.
Sepanjang perjalanan banyak orang yang memerhatikan saya dengan aneh. Mungkin cara berpakaian saya yang tidak terlalu biasa bagi mereka. Padahal saya mengenakan pakaian yang menurut hemat saya biasa: celana jeans biru dan kemeja biru kotak-kotak. Atau mungkin gaya saya yang berbeda. Pendeknya lama-lama saya merasa kurang enak juga. Kira-kira setengah perjalanan saya berhenti di sebuah warung untuk beristirahat sejenak, minum dan menanyakan arah.
“Adik mau ke mana?” tanya ibu penjaga warung ketika saya memasuki warungnya.
“Ke desa Winongsari Bu…”
“Oh…! Apakah adik calon pendeta Kristen yang mau magang di Winongsari?” tanya si ibu dengan mata besar.
Saya mengangguk sambil tersenyum. Rupanya kabar tentang hal baru cepat tersiar di daerah ini.
“Ya Bu. Apakah masih jauh dari sini?”
“Ah, tidak. Kira-kira dua belokan lagi Adik akan melihat ke bawah di desa yang sebelah kiri. Kalau sampean turun jalan menyeberangi sungai, itulah Winongsari.”
Setelah minum segelas es kelapa muda saya melanjutkan perjalanan. Ternyata Winongsari masih cukup jauh. Saya catat setidaknya sepuluh belokan telah saya lewati ketika dari kejauhan saya melihat kumpulan rumah-rumah bergenting merah. Tetapi si Ibu benar ketika mengatakan bahwa saya akan melihat desa di Winongsari di sebelah kiri saya. Desa yang kelihatan asri dikelilingi oleh sawah-sawah terhampar hijau dan apik. Dan di tepi sawah di sebelah kanan berdiri sebuah bangunan kecil yang sederhana dengan salib di atasnya. Rasanya tak salah lagi. Tetapi itukah gedung GKI cabang Winongsari?
Ketika saya mulai menuruni jalan memasuki desa 3 orang laki-laki menyongsong saya.
“Saudara Purboyo..? Kami dari jemaat cabang Winongsari. Berangkat dari Wonosobo jam berapa? Perkenalkan…” Mereka ternyata warga jemaat dan salah satu di antaranya adalah seorang penatua.
“Mari kami antar ke tempat Saudara menginap, sambil melihat-lihat gedung gereja kita.”
Dan ternyata tepat dugaan saya. Gedung gereja yang saya lihat dari kejauhan adalah gedung GKI cabang Winongsari. Gedung gerejanya dapat memuat sekitar 100 orang. Dindingnya terbuat dari papan dan anyaman bambu. Lantainya plesteran semen. Ada mimbar yang amat sederhana dan bangku-bangku seperti di warung tertata rapi. Di belakang gedung gereja ada sebuah dapur dan kamar mandi kecil serta sebuah kakus di atas kolam sekitar 5 kali 5 meter.
Dari gereja setelah berjalan sekitar 500 meter tibalah kami di rumah keluarga Penatua Suwondo, tempat saya menginap selama saya berada di Winongsari. Saat itu waktu menunjukkan sekitar jam 12 siang. Dengan ramah kami berempat disambut istri Pak Suwondo, dipersilakan duduk di beranda di atas balai-balai serta dihidangi kopi dan teh serta singkong rebus. Tak lama kemudian Pak Suwondo muncul sesudah mandi usai bekerja di sawah.
“Panggil saja nama saya: Wondo…. ndak usah pakai Pak…” ujarnya sambil menyalami saya. Pak Wondo ternyata orang yang menyenangkan dan senang bercerita tentang banyak hal.
“Mari silakan singkongnya…”
“Wah.. nanti saya kekenyangan…” jawab saya.
“Ayolah jangan malu-malu Dik… Makan siang masih lama lho…?” ujar salah satu Bapak yang menghantar saya sambil tertawa renyah.
Pada waktu itu saya tidak mengerti yang dimaksudkannya. Kami duduk mengobrol sekitar 1 jam. Kemudian setelah para penghantar saya berpamitan bersama Pak Wondo yang harus ke kantor kelurahan di mana ia menjabat sebagai “wakil carik” atau wakil sekretaris desa, saya mulai mengerti.
“Dik Purboyo saya pamitan dulu. Saya harus ke kantor kelurahan. Silakan istirahat dulu. Nanti kalau saya pulang kita ngobrol-ngobrol lagi sambil makan…” kata Pak Wondo.
Saya pun memasuki kamar yang disediakan bagi saya. Saya membongkar tas pakaian dan meletakkan barang-barang, termasuk beberapa buku di tempatnya. Lalu duduk membaca-baca. Sekitar jam 14 saya merasa lapar. Dan setelah menengok ke ruang tengah, dan tidak tersedia apapun di atas meja makan, saya bermaksud ke wc. Saya menuju ke belakang, Ibu Suwondo sedang sibuk memasak ditemani putri mereka yang berumur sekitar 3 tahun.
“Oh, Pak Purboyo…. di sini kami tidak punya kamar mandi… Kami mandi dan… eh…. ke belakang… di sungai…” kata Bu Wondo tersenyum malu.
“Di sungai…?
“Ya….” jawab Bu Wondo dengan geli, barangkali memperhatikan keterkejutan saya. “Kalau mandi bisa di pancuran, atau langsung di sungai. Tapi kalau mau …eh…ke belakang, Pak Purboyo bisa ke belakang di gereja…” sambungnya lagi.
Maka saya pun berjalan menuju ke gereja dan membuang air kecil. Sesudah itu saya menuju ke sungai yang tidak jauh dari gedung gereja. Di tepian ada beberapa “pancuran” dengan pembatas seadanya untuk tempat mandi. Namun tidak ada kakus satu pun seperti yang ada di belakang gedung gereja. Tiba-tiba saya melihat dua orang sedang berjongkok membuang hajat. Dan masing-masing hanya berjarak sekitar 2 meter. Saya langsung memutuskan bahwa saya tidak akan membuang air besar di sungai.
Waktu sudah menunjukkan jam 15 ketika saya kembali ke rumah Pak Wondo. Saya merasa sangat lapar. Saya berjalan agak bergegas, kuatir sudah ditunggu oleh keluarga Suwondo. Tetapi ternyata suasana sepi-sepi saja. Pak Wondo belum datang, Bu Wondo juga tidak kelihatan. Di atas meja makan sudah tersedia dua mangkok berisi lauk-pauk, tetapi rupanya nasi masih dimasak. Saya mulai menyesal mengapa tadi tidak terlalu banyak makan singkong rebus. Pak Wondo datang sekitar jam 15.45, dan setelah berbasa-basi sebentar, akhirnya tibalah saat yang saya tunggu-tunggu kamipun makan.
Ternyata itulah saat makan yang kedua dan terakhir untuk hari itu. Untung malamnya setelah mandi ada acara minum kopi dengan singkong rebus yang saya nikmati dengan tanpa malu lagi. Di bawah sinar lampu petromaks kami ngobrol-ngobrol sampai larut malam. Sekitar jam 22.30 Pak Wondo pamitan untuk tidur karena pagi-pagi buta ia sudah harus ke sawah. Ketika melihat saya beranjak untuk berjalan ke arah gereja, ia bertanya:
“Mau ke mana… buang air kecil di kebun saja… ha ha ha… semua orang melakukannya…”
Begitulah ternyata ada banyak hal yang harus saya biasakan di tempat baru ini yang akan saya tinggali selama dua setengah bulan. Tetapi yang paling berat di antaranya adalah mandi dan ke belakang, serta kebiasaan makan hanya dua kali sehari. Sebab di malam pertama itu sekitar jam 1 dinihari saya terbangun karena lapar. Dan saya bertahan dengan meminum air hingga jam 9 keesokan paginya ketika saya dipanggil makan bersama Pak Wondo yang sudah kembali dari sawah.
Setelah sekitar seminggu saya mulai terbiasa dengan 2 kebiasaan yang paling berat itu. Dan saya sudah larut dalam penelitian dan pelayanan di jemaat desa Winongsari. Pak Wondo ternyata sangatlah cekatan membantu saya. Ia selalu mengantar saya ke mana-mana, termasuk mengunjungi sebuah air terjun yang tinggi dan indah. Sayang tempatnya terpencil sehingga tidak dapat dikomersialisasikan.
Pak Wondo adalah salah seorang penatua kunci dari 4 penatua di GKI cabang Winongsari. Ia lulusan SMEA dan menjabat sebagai wakil sekretaris desa. Dan pengetahuan Alkitabnya amatlah baik, sehingga ialah yang biasanya memimpin kebaktian-kebaktian keluarga, dan terkadang kebaktian Minggu di Winongsari, bila tidak ada pendeta yang datang. Beberapa kali saya mendengarkan renungan atau khotbahnya. Walau ulasan dan isinya sederhana, rasanya saya belum dapat memberikan renungan atau khotbah sebaik yang dia lakukan. Namun masih ada sebuah kejutan lagi.
“Nanti malam Dik Pur ada acara…?” tanya Pak Wondo pada suatu hari Sabtu, ketika kami “makan pagi” sekitar jam 10 (!).
“Kalau tidak ada acara, mau ikut saya ke desa lain sekitar 10 km dari sini?”
“Ada apa…?”
“Wayang kulit…” jawabnya singkat sambil tersenyum penuh arti.
Ternyata Pak Wondo adalah seorang dalang yang sewaktu-waktu diminta untuk menggelar pertunjukan. Perangkat wayang dan gamelan adalah milik desa, tetapi di desa itu hanya ada beberapa dalang termasuk Pak Wondo. Ketika waktu berangkat tiba, saya tercengang melihat Pak Wondo. Ia memakai baju tradisional Jawa, lengkap dengan blangkon dan keris.
Pertunjukan baru dimulai sekitar jam 21 dan berlangsung hingga menjelang dinihari. Yang luar biasa adalah bahwa selama pertunjukan itu beliau tidak pernah beranjak dari tempatnya untuk ke belakang.
Namun yang lebih mencengangkan adalah ketika pada adegan tertentu ia “menyelipkan” pesan-pesan kristiani dalam percakapan tokoh-tokoh yang dimainkannya. Misalnya dalam adegan ketika Kresna menasihati Arjuna sebelum berangkat berperang. Dengan penguasaan bahasa Jawa saya yang sederhana saya mendengar nasihat Kresna yang kira-kira berbunyi: “Kasihilah sesamamu. Karena mereka adalah saudara-saudaramu… siapa pun dan apapun mereka…”
Ketika hal itu saya tanyakan kepadanya keesokan harinya ia tersenyum malu tetapi bangga.
“Begitulah… bagi saya itu adalah kesempatan untuk bersaksi…” ungkapnya dengan singkat.
Pengalaman penelitian dan praktik di Winongsari takkan saya lupakan. Terutama Pak Wondo, penatua dan dalang yang istimewa. Keduanya turut mebentuk dan mengasah saya dalam pelayanan di gereja Tuhan.
Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.