Di zaman sekarang dengan perkembangan kehidupan masyarakat terlebih banyaknya kaum hawa yang sukses, maka dalam keluarga terkadang peran Suami tidak lagi memiliki tempat seperti dulu, yaitu lebih dominan.
Pertanyaan saya adalah: Dalam keluarga menurut iman Kristen haruskah Kepala Keluarga harus seorang suami (Laki-laki) atau justru bolehkah Seorang istri (Perempuan) bisa dan boleh menurut iman Kristian menjadi Kepala Keluarga, karena yang sekarang saya memang belum pernah melihat ada Kartu KK yang dikepalai seorang istri.
Atas jawaban Bapak terimakasih.
ID di Jkt
Pdt. Rudianto Djajakartika:
Saudara ID yang baik,
Kitab Kejadian berbicara tentang relasi suami istri yang diawali relasi antara laki-laki dan perempuan. Relasi ini bersifat kesepadanan yang saling melengkapi dan menolong (Kej. 2:18). Ketika relasi ini kemudian bermuara pada relasi suami istri, Alkitab tidak pernah mengoreksi relasi kesepadanan yang ada. Yang ditekankan justru adalah kesatuan di antara suami istri itu (Kej. 2:24). Dengan demikian, relasi suami istri yang pertama kali digambarkan dalam Alkitab adalah relasi kesepadanan yang mendukung persatuan. Bukan persatuan yang muncul karena dominasi salah satu pihak, tetapi persatuan dalam konteks kesepadanan. Juga bukan kesepadanan yang mencederai persatuan.
Baru pada masa kemudian, Alkitab berbicara tentang suami yang adalah kepala istri (Ef. 5:23). Keberadaan suami sebagai kepala istri ini disejajarkan dengan Kristus yang adalah kepala jemaat, yang mengasihi jemaat dan berkorban buat jemaat. Karena itu, keberadaan suami sebagai kepala istri diletakkan bukan untuk mendominasi istri, tetapi justru untuk mengasihi dan berkorban buat istri. Dalam pemikiran Paulus, berkorban itu berada dalam konteks merendahkan diri (bandingkan: Filipi 2:5-8). Jadi, keberadaan suami sebagai kepala istri justru diletakkan dalam konteks perendahan diri suami yang siap berkorban buat istri. Sedangkan istri disejajarkan dengan jemaat yang tunduk pada Kristus. Jika tanpa penjelasan, maka keberadaan suami sebagai kepala istri adalah sebuah relasi yang tidak sepadan. Namun dengan penjelasan Paulus, menjadi jelas bagi kita, bahwa Paulus justru ingin menekankan relasi kesepadanan. Para suami yang oleh budaya waktu itu diletakkan sebagai kepala dan kerap mendominasi, diluruskan oleh Paulus agar ‘sang kepala’ itu justru mau merendahkan dirinya. Jadi, istri berada pada posisi rendah, dan suami merendah, sama kan? Sepadan!
Yang lebih menarik, Paulus kemudian mengutip ayat Kej. 2:24 (Ef. 5:31). Dengan kutipan ini ada dua hal yang mau dikatakan oleh Paulus:
1. Dia tidak menolak prinsip kesepadanan yang ada dalam kitab Kejadian
2. Dia kembali menekankan kesatuan suami istri. Dalam relasi suami istri, kesepadanan atau sama-sama merendah tidak boleh mencederai persatuan suami istri.
Jadi, meskipun dalam surat Efesus Alkitab berbicara tentang suami sebagai kepala istri, tetapi jiwanya tetaplah kesepadanan sebagaimana digambarkan dalam kitab Kejadian. Di sinilah kita melihat konsistensi Alkitab di tengah konteks zaman yang berbeda. Konteks Efesus memang dominasi laki-laki yang menempatkan suami sebagai kepala istri. Paulus menyelaraskan diri dengan roh zaman, dan menerima konsep suami sebagai kepala istri, tetapi meluruskan praktik dominasi laki-laki dengan kembali menekankan jiwa kesepadanan sebagaimana ada dalam kitab Kejadian.
Nah, sekarang kembali pada pertanyaan anda. Bolehkah seorang istri menurut iman kristiani menjadi kepala keluarga? Sesungguhnya dalam konteks persatuan suami istri, yang menjadi Kepala Keluarga, ya suami istri itu, karena keduanya sudah menjadi satu. Jadi mirip dengan kepemimpinan kolektif. Namun jika karena faktor budaya atau administrasi pemerintahan, harus salah satu dimunculkan sebagai kepala keluarga, sepanjang pengertian ‘menjadi kepala keluarga’ itu diletakkan dalam konteks kesepadanan yang mendukung persatuan, suami atau istri bisa saja menjadi kepala keluarga.
Nah, demikian jawaban saya, semoga memberikan pencerahan.