Seorang anak yang sudah jarang sekali berdoa, suatu malam berdoa bersama orangtuanya. Dengan sedikit bujukan, akhirnya ia memimpin doa, “Tuhan, aku bersyukur untuk COVID-19, karena kami bisa berkumpul terus di rumah. Bisa main, bisa berdoa, bisa nonton bareng, tidak seperti biasanya…” Konon inilah doa pertamanya setelah sekian tahun tidak lagi mau diajak berdoa, apalagi memimpin doa. Doa yang paling jujur dari hati yang sempat terluka karena meragukan kebaikan Tuhan dalam hidupnya.
COVID OH COVID
Setiap hari, tanpa henti, kita mendengar seruan, nasihat, berita, bahkan hoax tentang COVID-19. Dampak dari meluasnya wabah ini membuat gereja menghentikan 99 persen aktivitasnya, bahkan banyak yang memindahkan kehidupan bergereja mereka ke media online.
Apa respons orang-orang GKI Pondok Indah yang harus mendekam di rumah selama 24 jam? Berbagai reaksi muncul. Ada yang merasa jenuh, alias bete, tapi ada juga yang bersukacita karena COVID membawa pengalaman menyenangkan dan memenuhi kebutuhan yang selama ini digumuli. Seperti doa seorang anak di awal tulisan ini. Bukan karena anak tersebut tidak peduli pada COVID, melainkan karena ada masalah lebih besar di dalam batinnya. COVID bukanlah masalah yang utama. Saya pernah berjumpa dengan seseorang yang berkata, “Masalah saya lebih berat ketimbang takut mati akibat COVID. Justru kalau mati karena COVID, masalah berat ini berakhir.”
Rupanya COVID bukanlah satu-satunya masalah terberat yang dihadapi sebuah keluarga. Di dalam keluarga, ada masalah anak yang stres karena ketidakharmonisan orangtua, ada anak yang depresi sampai mau bunuh diri karena tidak mengalami kebahagiaan hidup. Ada anak yang tidak bisa tenang karena tidak sanggup sendirian di rumah dan ingin bertemu teman temannya, bahkan ada juga pasangan yang saling mendiamkan karena mati gaya, tidak tahu apa yang harus mereka lakukan selama berminggu minggu di rumah saja. Apalagi bagi anak atau pasangan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga, isolasi tubuh dalam menghadapi bahaya COVID bukan sekadar karena takut ketularan, melainkan juga karena meningkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga.
Itu sebabnya kita—sebagai umat Tuhan—tidak bisa hanya mengarahkan usaha kita untuk memutus mata rantai penyebaran virus COVID, tapi juga secara bersama sama peduli memulihkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan bangsa ini kepada Tuhan yang mencintai kita. Untuk menjadi pengikut Kristus yang berada di tahap peduli seperti itu, kita perlu mencerdaskan emosi kita. Bagaimana caranya? Ada banyak langkah dan proses panjang untuk mencapainya. Jangan biarkan COVID menghambat kita untuk belajar dan melatih emosi kita menjadi cerdas.
CERDAS EMOSI
John D. Mayer dari University of New Hampshire menjelaskan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang dalam mengolah perasaannya sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikirnya. Bagaimana caranya?
Pertama: Merasakan apa yang ada di dalam hati.
Seorang anak menendang-nendang kursi. Orangtuanya bingung, dan dalam keadaan seperti itu, memarahi si anak serta menyuruhnya berlaku baik dan sopan. Apa yang dilakukan orangtua memang menghentikan amarah anak itu untuk sementara waktu. Namun ia jadi tidak belajar mencerdaskan emosinya.
Bila seorang anak melampiaskan emosinya dengan cara menendang, hal itu membuktikan bahwa ia tidak dapat mengolah emosinya. Namun peran orangtua bukan untuk membuat si anak berhenti karena takut ancaman, melainkan untuk mengajaknya merasakan apa yang ada di dalam hatinya.
“Kenapa kamu menendang-nendang kursi?” itu adalah pembuka untuk mengajak anak menjadi cerdas secara emosi.
Kedua: Menamai Perasaan.
Kemampuan seseorang untuk makin cerdas tentu dibarengi dengan pengetahuan yang makin bertambah. Ketika seorang anak bertambah pengetahuannya untuk memahami nama dari perasaannya, maka ia akan melatih diri untuk memahami apa yang ada di dalam hatinya, bukan dengan melampiaskannya.
Kemampuan ini disebut kemampuan “Menamai Perasaan” atau dengan kata lain, memberi nama terhadap apa yang dirasakan. Contoh: Saya merasa kesal. Atau saya kecewa. Atau saya senaaang sekali!
Ketiga: Memberi Alasan Adanya Perasaan Itu.
Setiap orang yang memiliki perasaan tertentu, memiliki alasan mengapa perasaan itu ada. Saat ia memahami perasaan dan alasan di balik adanya perasaan itu, maka ia dapat menjelaskan kepada orang secara verbal, dan bukan melalui tanda fisik, misalnya dengan memukul, mendiamkan, atau berteriak-teriak.
Mengapa mengatakan perasaan secara verbal lebih cerdas daripada menunjukkan dengan sikap kita? Karena dalam sebuah situasi bersosialisasi, kita tidak bisa mengharapkan semua orang memahami komunikasi non-verbal yang kita sampaikan. Apalagi jika mereka salah menebak perasaan kita ketika melihat tindakan atau sikap kita.
Sebaliknya, saat seseorang dapat mengatakan apa yang dirasakannya dan dapat memberikan alasan tentang perasaannya itu, maka orang lain segera dapat memahami keadaannya, termasuk memahami pikiran dan perasaannya.
Jadi, mari kita kembangkan kemampuan awal kecerdasan emosi, dengan jujur mengatakan perasaan kita kepada anak kita, dan sebaliknya juga mendengarkan kejujurannya. Dengan demikian sebagai sebuah keluarga, kita makin mampu mengolah perasaan kita dan menjadi berkat bagi orang lain.
Contoh percakapan:
Mama : Mama kecewa sekali karena kamu tidak memenuhi janjimu, Nak.
Anak : Aku memang tidak bisa, Ma.
Mama : Kenapa? Kan kamu sudah berjanji untuk melakukannya.
Anak : Saat itu sebetulnya aku tidak siap. Karena masih ada yang harus kukerjakan.
Mama : Lalu mengapa kamu berjanji kepada Mama?
Anak : Karena aku takut Mama marah kalau aku tidak segera berjanji.
Mama : Sori, Mama tidak tahu kalau kamu takut sama Mama.
Anak : Aku juga minta maaf kalau Mama kecewa kepadaku karena aku takut sama Mama.
Mama : Oke, kalau begitu bagaimana ke depannya?
Anak : Aku tidak tahu. Ada kalanya aku tidak setuju dengan kesepakatan Mama. Tapi usul Mama itu masuk akal. Jadi aku tidak bisa melawannya.
Mama : Kalau begitu tolong beri kode kepada Mama kalau kamu tidak siap bersepakat.
Anak : Oke Ma. Terima kasih karena memahami bahwa ada kalanya aku tidak siap bersepakat.
Mama : Kalau begitu, bagaimana kita bisa menyelesaikan masalah ini secara bersama?
Anak : Mama bisa memberikan beberapa pilihan kepadaku.
Mama : Oke, sekarang Mama memberi pilihan: apakah kamu mau membantu Mama sesuai kesepakatan kita, atau belum siap?
Anak : Oke Ma, sekarang aku siap.
————————————————–
Ketika seorang anak mau diajak bersepakat dan orangtua tahu kesiapan hatinya, maka pintu hatinya terbuka untuk belajar bekerja sama dan percaya kepada orangtua. Selamat mencoba! •
|Pdt. Riani J. Suhardja
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.