Bersama Ternyata Lebih Indah

Belum ada komentar 1740 Views

Siapa Bilang Bersama itu Lebih Indah? Buat orang-orang introver, kesendirian malah lebih indah, menenangkan dan menyenangkan. Bukan hanya itu, energi positif justru bisa diperoleh saat seorang introver berdiam diri dan menjauh dari kebersamaan.

tahapan-introvet* Orang introver suka berdiam diri dan menjauh dari kebersamaan, kira-kira tahapannya seperti flowchart di atas ini.

Lalu Mengapa Kita Perlu Mengadakan Kebersamaan?

Setelah orang-orang Yahudi mengaku percaya kepada Yesus sebagai Juru Selamat akibat khotbah para Rasul, mereka senantiasa berkumpul bersama. Jemaat mula-mula yang diceritakan di dalam Kisah Para Rasul ini bukan hanya belajar bersama, melainkan juga hidup berbagi. Mereka berbagi antara si kaya dan si miskin, antara para rasul yang mengenal Yesus dengan jemaat mula-mula yang haus mempelajari ajaran-Nya.

Kebersamaan membuahkan kepedulian dan lebih lagi perasaan empati yang mendalam terhadap mereka yang kesepian, terbuang dalam keluarga dan menderita karena iman mereka. Kebersamaan itu terjadi karena luapan hati yang disentuh oleh Kristus, sehingga tergerak untuk menyentuh hati orang lain yang juga membutuhkan kasih-Nya.

Indahnya Kebersamaan

Pagi itu saya sangat gelisah. Sebuah SMS (Short Message System) dari suami saya membuat imajinasi saya berkembang ke arah negatif. “Maaf ya Mam, …” itu kalimat pertama yang ditulisnya dan dilanjutkan dengan berita terburuk dalam hidup saya yang tidak pernah saya dapatkan, kecuali pagi itu.

Sebuah SMS pendek saja ternyata dapat membuat penerimanya sedih, bingung, bahkan takut. Dalam kesendirian saya, sebuah lagu terngiang, “God will make a way where there seems to be no way.” Tiba-tiba air mata mengalir di pipi. Bukan karena berita buruk itu, tetapi karena terharu dengan janji-Nya dari lagu yang saya nyanyikan, “Tuhan akan buka jalan saat tiada jalan.”

Siangnya, seorang teman tak sengaja berkunjung ke rumah. Kepada dialah saya curahkan isi hati dan kesedihan ini. Tanpa saya rencanakan, pembicaraan mengalir dan sebuah kalimat terlontar dari mulut teman saya sebagai reaksi spontannya sambil tersenyum, “Kalau seperti itu keadaannya, kami pun mengalaminya setiap waktu, Ri.” Mendadak hati merasa tenang dan damai. Mengetahui bahwa bukan kami satu-satunya yang mengalami hal buruk dalam hidup. Indahnya kebersamaan.

Beberapa hari kemudian, saat hati masih penuh tanda tanya dan perasaan negatif, seorang teman menelepon dan berdoa bersama. Beberapa kawan juga datang ke tempat tinggal saya dan duduk bersama. Mereka duduk untuk ikut merasakan duka yang ada di dalam hati saya. Ya, hanya itu. Tapi indah sekali kebersamaan itu.

Kini, kisah itu belum berakhir. Hal tidak menyenangkan itu tetap ada sampai sekarang. Tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam menghadapinya. Rasa duka itu sudah tidak ada lagi. Kebersamaan dengan banyak orang, pertolongan banyak orang dan empati dari orang-orang yang jauh maupun dekat mengubah duka menjadi pengharapan, kesedihan jadi damai sejahtera. Pikiran negatif jadi pemaknaan yang positif. Indahnya kebersamaan.

indahnya-bersama

Makna dalam Kebersamaan

Eric H. F. Law dalam bukunya Finding Intimacy in the World of Fear (menemukan keintiman di dalam dunia yang penuh dengan ketakutan) bukan hanya menyadarkan saya bahwa dunia ini penuh dengan ketakutan. Namun lebih dari itu, menurutnya ada hal baik dari ketakutan yang kita alami. Salah satu hal baiknya, kita justru dapat melayani mereka yang membutuhkan pertolongan seperti kita. Itu berarti ketakutan bukanlah pemberi arah hidup kita. Seperti pemazmur yang mengatakan bahwa sekalipun aku berjalan dalam lembah bayang maut, aku tidak takut sebab Tuhan besertaku. Gada Tuhan dan tongkat Tuhan yang menopang aku (Mazmur 23). Bukan bayang maut atau kekelaman yang menentukan arah hidup kita, tetapi gada dan tongkat Tuhanlah yang menyertai kita untuk menjalani pimpinan Tuhan.

Pengalaman dengan ketakutan yang membayangi hidup adalah pengalaman yang berharga dan mahal buat saya. Pengalaman itu memperkaya saya untuk benar-benar mengalami bahwa gada dan tongkat Tuhan adalah penopangnya.

Erik Law juga menulis, “Memiliki takut bukanlah masalah. Menghindari takut barulah merupakan masalah. Tuaian dari ketakutan terlihat dalam buah pelayanan.” Saat seorang memiliki rasa takut, ada banyak hal yang menjadi korban. Keluarga terdekat bisa menjadi korban akibat rasa takut itu. Tapi juga masyarakat, orang-orang di dunia kerja dan gereja adalah saksi dari rasa takut yang melanda. Sebab kebersamaan terlukai saat orang-orang yang memiliki rasa takut itu menyembunyikan ketakutan mereka dalam bentuk sikap, tindakan atau perkataan. Lebih lagi, akibat tidak lagi mau terluka, bisa jadi mereka menjadi sangat defensif atau bersikap bertahan.

Dalam kebersamaan, ketakutan yang disembunyikan itu cepat atau lambat akan muncul. Konflik dapat terjadi dan tidak terhindari. Sepandai apapun seseorang berusaha menyembunyikannya, sinyal ketakutan itu dapat terasa. Pertanyaannya, apakah ketakutan itu dapat pulih dengan sendirinya?

Dalam pengalaman jemaat mula-mula, mereka juga hidup penuh ketakutan. Mereka takut bahwa secara politik mereka akan mengalami serangan. Agama baru rupanya menjadi agama terlarang bagi pemerintah Roma. Jemaat ini takut hidup sendirian, karena ditolak oleh keluarga yang menentang kepercayaan mereka kepada Kristus. Mereka juga takut jatuh miskin karena secara finansial mereka mengalami tekanan.

Namun apa yang mereka lakukan untuk mengatasi ketakutan mereka? Kisah Para Rasul 4:32-37 menyaksikan bahwa mereka berbagi. Makna kebersamaan menjadi indah saat seorang yang berlebih, berbagi dengan mereka yang kekurangan, sehingga mereka sehati dan sejiwa. Indahnya kebersamaan.

Bersama Ternyata Lebih Indah

Tiga hal yang terjadi dalam jemaat mula-mula untuk menunjukkan bahwa “bersama ternyata lebih indah”:
Pertama, Prinsip Kesetaraan

Keadaan berbeda dari orang lain karena ada yang kurang dari dirinya, adalah cara Tuhan membuat seseorang merasa bahwa dia sendirian dan sesungguhnya membutuhkan orang lain. Jemaat mula-mula mengalami kekurangan: kurang uang, kurang kasih sayang, kurang pemahaman akan Kristus dan kurang dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari.

Di dunia kita, Tuhan izinkan seseorang kurang kesehatannya, kurang pandai, kurang hikmat, kurang pekerjaan, kurang berkualitas hidupnya, atau juga kurang uang. Keadaan kurang membuat orang keluar dari zona nyamannya untuk mencari bantuan dari orang lain.

Sebaliknya, keadaan berbeda dari orang lain karena ada yang lebih dari dirinya sering kali membawa orang pada hidup pementingan diri. Sulit membuka diri, sulit berbagi, sulit memerhatikan orang lain yang membutuhkan, sulit meluangkan waktu untuk melayani atau sulit memberi persembahan karena berpikir bahwa apa yang saya miliki adalah milik saya dan saya berhak memilikinya sendiri. Padahal keadaan kurang ataupun keadaan berlebih terjadi dalam hidup kita atas izin Tuhan.

Entah kita ada di posisi mana, Tuhan ingin kita belajar prinsip kesetaraan. “Kesetaraan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata “derajat” atau “setara”. Artinya, sama tingkatan. Tidak lebih tinggi atau tidak lebih rendah. Jabatan gerejawi di GKI juga menunjukkan kesetaraan. Tidak ada pendeta atau penatua yang lebih tinggi, tidak ada penatua atau pendeta yang lebih rendah. Semua, bersama warga jemaat, sama-sama melayani Kristus dan hidup bagi-Nya.

Saat seorang merasa berbeda karena lebih tinggi jabatannya di dalam hidup sosialnya, di dalam gereja kita belajar melepaskan status itu dan duduk bersama dan melayani bersama. Mereka yang lebih, mencukupi mereka yang kurang. Indahnya kebersamaan.

Kedua, Prinsip Kerelaan

Memberi bukanlah kewajiban. Memberi adalah buah dari hidup yang merasa diberkati Tuhan. Jemaat mula-mula memberi sebagai rasa syukur dan hati yang empati pada kesulitan orang lain.

Dalam Kis. 4:35 dikatakan bahwa mereka meletakkan semua yang mereka berikan di depan kaki rasul-rasul. Kalimat ini bukan hendak menggugurkan prinsip kesetaraan. Istilah “di depan kaki rasul-rasul” adalah bahasa formal yang mereka gunakan sebagai ekspresi legal saat mereka memberikan atau mentransfer apa yang mereka miliki bagi orang lain. Justru ini menjadi bukti bahwa kerelaan warga jemaat dalam memberi diakui secara hukum.

Di zaman ini, ekspresi legal juga dapat kita lakukan dengan cara-cara yang berbeda. Namun ekspresi legal bukanlah target dari kebersamaan kita. Ekspresi legal adalah salah satu wujud dari hati yang terbuka untuk memahami bahwa kecukupan saya adalah peluang yang Tuhan beri untuk mencukupkan orang lain. Paulus memberi istilah dalam suratnya kepada Korintus, “… berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan.” (2 Korintus 9:8) Allah sanggup memberi kita satu, dua, sepuluh, seratus atau seribu. Allah sanggup memberi kita berkecukupan, tetapi juga berkelebihan. Ini semua diberikan dengan tujuan agar kita melakukan pelayanan kasih yang bukan hanya mencukupkan keperluan orang lain, melainkan juga dengan rela mendukung agar orang lain dapat berlimpah syukur kepada Allah melalui pemberian kita (2 Kor 9:12).

Istilah “tidak rela” di dalam bahasa Yunani berkaitan erat dengan rasa sedih karena harus kehilangan. Saat kita merasa sedih karena harus kehilangan 10% dari uang kita untuk perpuluhan, kita tidak rela. Saat kita merasa sedih karena harus berbagi waktu dengan anggota keluarga yang melayani Tuhan di gereja atau di luar gereja, kita tidak rela. Saat kita merasa sedih karena seseorang membutuhkan sesuatu dari kita dan kita kehilangan hak hidup nyaman, berarti kita tidak rela. Jemaat mula-mula rela memberi. Berarti sebaliknya, mereka memiliki sukacita saat berbagi dan mencukupi kebutuhan orang lain.

Kami pernah mengatakan kepada anak kami, bahwa jika dua orang yang berbeda memberi barang yang sama, itu berarti itu adalah kesempatan yang Tuhan beri agar kami memberikan barang itu untuk anak lain. Indah sekali melihat dia rela berbagi secara spontan tanpa diminta saat ia mengalaminya.

Ketiga, Prinsip Kemurahatian

Orang yang murah hati adalah orang yang kaya. Sebab prinsip ini berawal dari kesadaran bahwa saya berlebih, dan orang lain perlu dicukupi. Barnabas adalah contoh orang yang murah hati. Dalam perjalanan hidupnya, terlihat bahwa ia murah hati dengan menolong Saulus diterima oleh para rasul. Ia juga menolong Markus yang ditolak Paulus dalam pelayanan misi mereka, karena Markus mendadak ingin kembali ke rumah orangtuanya. Barnabas jugalah yang menolong jemaat mula-mula bertahan hidup dengan cara menjual ladang miliknya dan menunjukkan ekspresi legal dengan menyerahkan uangnya di kaki para rasul.

Barnabas secara konsisten menunjukkan kemurahatian. Inti dari konsistensi itu bukan karena ia merasa wajib menolong, namun karena ia memiliki pengalaman “puas” akan kasih dan berkat Tuhan.

Tidak semua orang yang menyebut diri Kristen adalah orang yang murah hati. Tetapi semua orang yang telah puas akan kasih dan berkat Tuhan akan memunculkan buah kemurahatian. Kebersamaan tidak selalu indah. Namun saat ada orang yang murah hati, bersama ternyata sangat terasa lebih indah.

Pernahkah Saudara mengalaminya?

> Pdt. Riani Josaphine

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • MENCINTA DENGAN SEDERHANA
    Aku Ingin Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...