Bersama Keluargaku Bersinar Bagi-Nya

Bersama Keluargaku Bersinar Bagi-Nya

Belum ada komentar 258 Views

Rob Van Kessel dalam bukunya “Enam Tempayan Air” mengatakan bahwa hidup manusia kini terancam oleh tiga kematian dalam arti luas, yaitu kematian fisik, psikis, dan eksistensial.


Kematian fisik, dapat menimpa setiap makhluk hidup, termasuk manusia yang sehat secara fisik. Sekalipun manusia berupaya mempertahankan hidupnya, kesehatannya, keutuhan kulitnya, melalui berbagai cara, kematian fisik pastilah datang cepat atau lambat. Kematian fisik dapat dialami anak-anak muda atau pun bayi, dengan adanya bencana, perang, sakit penyakit, maupun kecelakaan. Ancaman itu membayangi setiap manusia tanpa memandang bulu. Untunglah pemazmur mengingatkan kita, “sekalipun aku berjalan dalam lembah bayang maut… aku tidak takut, karena Tuhan besertaku.” (Mzm 23)


Kematian psikis, seperti kematian fisik, kematian psikis bisa dialami siapa pun tanpa memilih status ekonomi, jabatan, maupun usia. Namun bedanya, kematian fisik pasti dialami oleh setiap orang, tetapi kematian psikis menyerang orang-orang yang membiarkan dirinya mengalami ‘pembunuhan’ baik oleh dirinya sendiri, orang di sekitarnya maupun keadaan yang menimpanya.


Kematian psikis ditandai dengan adanya dendam, sakit hati, iri hati, bahkan ketidakmauan kita untuk mengampuni. Ia bukan hanya menyerang semangat dan sukacita yang sebenarnya dapat kita alami setiap waktu, tetapi ia juga bisa menjalar dan menyerang kesehatan fisik kita. Itu sebabnya Amsal 17:22 mengatakan, Hati yang gembira adalah obat yang manjur, tetapi semangat yang patah mengeringkan tulang. Sejak zaman dahulu diakui bahwa semangat yang patah (patah semangat) dapat menyebabkan kerusakan fisik.


Kematian eksistensial, terjadi pada orang-orang yang tidak diakui maupun tidak diterima keberadaannya. Bisa jadi ia hadir di dalam sebuah komisi, paduan suara, persekutuan atau Kombas kita, namun semangat bersekutu dan melayaninya dipadamkan atau dimatikan oleh keacuhan orang-orang di sekitarnya. Ada kematian eksistensial yang sengaja dibuat tetapi ada pula yang terjadi tanpa disengaja. Keduanya sama-sama menyakitkan dan dapat mengakibatkan seseorang tidak lagi memiliki keinginan untuk hidup. Ancaman ini bisa terjadi di dalam maupun di luar tempat kerja kita, di dalam maupun di luar gereja, di dalam maupun di luar keluarga kita.


Pertanyaannya, apakah kita adalah orang-orang yang menyebabkannya? Terutama, apakah kita menjadi orang yang mengancam kematian psikis dan kematian eksistensial orang-orang di sekitar kita?


Bicara tentang keluarga yang bersinar, erat kaitannya dengan bagaimana kita dan anggota keluarga bukan hanya sekadar menjalankan tugas-tugas pelayanan, kesaksian dan persekutuan kita. Jauh sebelum itu terjadi, kita diajak untuk menata diri dan keluarga kita, merefleksi ulang dalam satu bulan ini, melalui tema-tema ibadah kita,


  1. Apakah keluarga kita sudah menjadi keluarga beriman? Bukan hanya memutuskan untuk percaya kepada Kristus, tetapi mempertahankan iman sekalipun ancaman kematian fisik, psikis dan eksistensialis membayangi hidup kita.
  2. Apakah kita sudah menjadi keluarga berpulih? Pulih atau syub dalam bahasa Ibrani maksudnya menyambung, mengutuhkan, berdamai, bertobat. Itu berarti, sebelum kita melayani Tuhan, memberi banyak persembahan, atau mengikuti berbagai kegiatan sosial, apakah kita sudah berdamai dengan seluruh anggota keluarga kita, termasuk menghindar sebagai orang-orang yang menyebabkan kematian psikis dan kematian eksistensial atas anggota keluarga kita lainnya.
  3. Apakah kita sudah menjadi keluarga berdoa? Berdoa bukan karena kita menginginkan sesuatu berdasarkan kebutuhan pribadi kita, tetapi mengembangkan sikap dan kebiasaan berdoa sampai kedatangan Kristus yang kedua kali tanpa jemu-jemu bahkan menikmati hidup yang dekat dengan Tuhan sebagai bagian dari kebersamaan kita dan keluarga dengan Tuhan yang telah menyelamatkan kita. Berdoa untuk gereja, berdoa untuk para pemimpin kita, berdoa untuk anggota keluarga kita agar dijauhkan dari kesengajaan atau ketidaksengajaan yang membuat orang lain hidup penuh ancaman bahwa mati oleh karena keputusan, kata dan karya kita.


Saat kita sudah merefleksi ulang dan bebenah diri, semoga kita siap menjadi Keluarga yang benar-benar Bersinar bagi Tuhan. Seperti sebuah lilin atau sebuah sinar yang menerangi sekitarnya, biarlah halangan-halangan yang membuat sinar itu redup dapat kita singkirkan. Tentu saja bukan oleh kuat kuasa kita semata, melainkan oleh campur tangan Tuhan yang menjadi satu-satunya penilai apakah kita sungguh sudah menjadi keluarga yang berkenan kepada Dia.


Menjadi keluarga bersinar berarti menjadi keluarga yang berkenan di hadapanNya. Tidak ada satu pun di antara kita yang berhak menilai apakah sebuah keluarga sudah bersinar bagi Tuhan atau belum. Namun setiap keluarga disediakan kemampuan untuk menjalani, menghadapi berbagai ancaman yang menghalanginya untuk beriman terus, berpulih terus, dan berdoa terus sampai kedatangan Tuhan yang kedua kali. Maukah kita? Tuhan memberkati!



Pdt. Riani Josaphine

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Renungan
  • Allah hadir bagi kita
    Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah...
  • MENCINTA DENGAN SEDERHANA
    Aku Ingin Aku ingin mencintaimu ciengan sederhana: dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu...
  • SULUNG DALAM PALUNGAN
    Persekutuan Perempuan Jumat, 9 Desember yang lalu, temanya adalah “Cinta dalam Kesederhanaan”. Saya jadi ingat puisi Sapardi Djoko Damono,...
  • MELAYANI ITU INDAH
    Ketika kita berbicara tentang “melayani” maka hal ini sangat dekat dengan kehidupan Kristiani. Melayani (Yunani: diakoneo artinya to be...