Apakah Anda orang tua yang baik?
Banyak orang tua yang menginginkan anaknya belajar sebanyak mungkin. Media juga menyajikan berbagai sekolah unggulan untuk orang tua. Di sini termasuk berbagai kursus pengetahuan, bahasa dan bahkan motivational. Kita menyaksikan orang tua ingin memberikan yang terbaik untuk anaknya dalam pendidikan. Tapi apakah tindakan dan konsep orang tua seperti ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang tua yang baik?
Untuk menjawabnya, kita mungkin perlu berpikir sebentar. Setelah bercermin dengan keadaan kita, kita mungkin menjawab ’relatif’. Mungkin juga berkata, bahwa kita sedang berusaha menjadi orang tua yang baik. Sadar atau tidak, pertanyaan itu mengusik kita. Memang kita mempunyai persepsi dan standar yang berlainan. Jikalau kita harus mendefinisikan tentang orang tua yang baik, kita kan membahasnya dari pengalaman dan dari hati kita. Jelas, membahas tentang ‘orang tua yang baik’ membangkitkan perasaan bermacam-macam. Hal ini menyentuh nilai-nilai yang paling dalam. Status orang tua yang baik adalah sesuatu yang kita hargai di tempat khusus. Karena ini melibatkan konsep ideal dan etika hidup.
Jika kita membicarakan pegawai yang baik, kita bicara bukan hanya perhatiannya pada perusahaan, pencapaian dalam sales atau penghematan dalam budget. Kita melihat jauh ke dalam karakter dan perilakunya. Nilai-nilai dan perwujudannya juga kita sangat hargai. Lebih lagi, kita ingin komitmen dan totalitasnya. Yesus, Mahatma Gandhi dan Mother Theresa, kita hargai karena karakter dan nilai-nilainya. Kita terinspirasi tentu juga oleh pencapaian. Tetapi lebih dari itu, kita hargai karena komitmen dan totalitasnya dalam menjalankan nilai-nilainya yang agung.
Apakah orang tua yang baik juga karena komitmen dan totalitasnya?
Jawaban kita mungkin tidak sama. Banyak orang tua menilai dirinya dari totalitasnya pada pendidikan. Ada orang tua yang memasukkan anaknya untuk kursus Matematika, Inggris, Olahraga dan Musik sekaligus, dan menganggap bukankah ikut banyak kursus itu baik? Ada orang tua yang berkomitmen agar anaknya mempunyai prestasi akademis, juara lomba atau tampil di TV. Seorang anak TK-B, di sekolah anak saya, bahkan sudah mendapatkan 20 piala lomba.
Seminar yang tengah marak adalah bagaimana menjadikan anak berprestasi secara akademis, membangun intelektual dan skill, serta meningkatkan pemahaman moral dan sosial. Percakapan kita adalah usaha untuk meningkatkan intelektual anak. Kita menomor duakan diskusi tentang orang-orang yang berkomitmen memegang nilai-nilai, karena kelihatan hidup mereka tidak kemilau, tidak menarik. Sedikit orang tua yang membicarakan nilai-nilai Kekristenan dan totalitas, seolah-olah nilai-nilai tidak pernah ada.
Saya mengenal seorang bapak yang terkenal jujur dan lurus selama puluhan tahun. Nilai dan komitmennya memberikan teladan bagi orang-orang sekitarnya. Namun beberapa tahun yang lalu, ia ’menyerah’. Ia memutuskan untuk meninggalkan Indonesia. Karena berbagai alasan, Ia pindah menjadi penduduk negara lain. Perjalanannya dulu memberikan kekuatan, tapi kepergiannya membuat kita sadar, ia ’lelah’. Membicarakan perjalanan orang-orang agung membuat kita lelah. Kita tidak bisa mencapainya. Kita tidak mau mencapainya, khususnya dalam era materialisme.
Kita ingin menjadi orang tua yang baik, dan melihat anak-anak menjadi dewasa, bukan cuma intelektual, tapi emosi. Anak-anak idealnya cerdas bukan cuma pikiran, tapi hati. Kita tidak ingin mereka dewasa tapi kekanak-kanakan. Juga tidak ingin mereka dewasa tapi penuh dengan nilai-nilai duniawi. Seperti istilah Benjamin Franklin, an empty sack cannot stand upright. Kita tidak ingin luarnya indah, hatinya kosong.
Namun kita tidak selamanya di samping anak-anak. Suatu saat mereka akan berdiri sendiri. Saat itu kita ingin anak-anak juga memuliakan Tuhan. Kita bertanggung jawab agar anak-anak takut dan gentar di hadapan Tuhan (Fil 2:12). Bekal kekal yang kita dapat berikan adalah nilai-nilai kita, arti hidup kita. Tak ada satupun dari kita mampu memberi warisan yang bertahan seumur hidup. Harta dapat habis. Intelektual bertumbuh dan berubah. Nilai-nilai akan bertahan seumur hidup. Yang bernilai di hidup kita adalah memuliakan Tuhan.
Kita ingin anak-anak juga memuliakan Tuhan, tapi bagaimana caranya?
Jawaban kita tak ada yang seragam. Yang pasti, nilai-nilai yang tertanam di dalam diri kita haruslah nilai-nilai yang dibentuk dari pengetahuan tentang Allah. Calvin, sang reformator, mengatakan bahwa ia tidak melihat ada pengetahuan yang benar tentang Allah pencipta, tanpa wahyu Alkitab. Dengan membaca Alkitab kita mengenal Tuhan dan juga mengenal diri kita sendiri. Sebagai orang tua kita harus memurnikan hati nurani kita dan datang untuk minta ampun pada-Nya tiap-tiap hari.
Menjadi orang tua yang baik adalah usaha yang penuh komitmen dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Juga usaha yang ’sunyi’ dan lamban. Saat itu hanya ada orang tua dan anak. Kita berdialog berulang-ulang dengan anak. Waktu kita berbicara tentang nilai-nilai, kita berbicara juga tentang masa lalu. Kita mempersiapkan tentang masa yang akan datang. Kita perlu mempertanyakan kebenaran masa lalu. Kita menganalisa kegagalan kita. Kita bercerita tentang keberhasilan kita. Kita mempunyai sebuah kepentingan, kita ingin kebenaran ini bermanfaat di masa kini.
Kesadaran akan kebenaran harus juga ditemukan dalam biografi. Proses nilai, totalitas seseorang dan arti hidupnya banyak ditemukan disana. Francis Schaffer, seorang Teolog berkata, dalam sejarah, satu-satunya kesalahan terbesar manusia adalah manusia tidak belajar dari sejarah. Usaha memasuki area dialog adalah usaha menangkap wajah kita di masa lalu di dalam biografi kita dan memberikannya pada anak-anak. Kita berusaha membuka buku harian kita di masa lampau agar masa lampau dapat hadir di masa kini.
Wajah di buku harian itu mengandung misteri. Membukanya berarti membawanya ke arah kemuliaan. Di dalam wajah masa lalu ada tension, denial, pengakuan, kekurang indahan, pengrusakan kebaikan, tetapi di masa yang akan datang, pesannya memberi kekuatan pada anak untuk menghadapi masalah, berubah dan maju.
Dapatkah kita melakukan usaha dialog tanpa waktu khusus?
Anak-anak bukanlah imitasi. Bukan pula mimpi kita. Juga bukan echo dari suara kita. Anak-anak tidak menghafal nilai-nilai kita. Walau mereka juga tidak patut membuang nilai-nilai. Kita ingin anak-anak terinspirasi dan menemukan jalan hidup yang lebih agung. Seperti Stephen Covey katakan bahwa pemimpin menginspirasi orang lain untuk menemukan suara mereka sendiri. Kita perlu waktu khusus.
Sebagian besar kita tidak mempunyai cukup waktu. Kita tahu bahwa pekerjaan adalah untuk hidup. Tapi seringkali begitu banyak pekerjaan, sehingga kita hidup untuk pekerjaan itu sendiri. Namun jelas tanpa waktu cukup dan tanpa terinspirasi nilai-nilai Kristen, anak-anak dapat menjadi seperti empty sacks. Seperti Herbert Spencer, social theorist berkata yang membentuk kita adalah waktu, dan bukan sebaliknya. Dialog tentang nilai-nilai tidak cukup sekedar dilakukan di meja makan atau melalui telepon. Dialog perlu waktu khusus sebelum tidur, saat bermain bahkan saat bangun tidur. Membuat anak terinspirasi perlu waktu lebih banyak.
Bagaimana caranya?
Tak selalu semua yang orang tua kerjakan adalah cerdas. Orang tua harus terus menseleksi pekerjaannya agar tidak terjebak dalam era materialisme dan meninggalkan nilai-nilai Kristen yang sebenarnya dibutuhkan anak. Orang tua yang baik, bukanlah yang berkomitmen dalam mendidik intelektual, skill dan moral anak. Tetapi yang haus dan lapar mencari kebenaran dengan anak. Orang tua yang tak melepaskan anak untuk mencari nilai-nilainya sendiri, tapi bersama-sama bergumul dalam setiap masalahnya. Seperti kata pepatah: Berikan waktumu dua kali lebih banyak tapi uangmu setengahnya saja.
Jusak Suhardja
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.