PELAYANAN SEBAGAI SEBUAH BUDAYA TANDINGAN
Kata pelayan, pelayanan, atau melayani kini telah menjadi kata yang terlalu banyak dipakai di kalangan gerejawi. Tak jarang ia berkurang, hilang atau malah sesat makna. Dalam kehidupan gereja, mereka yang mendapat predikat sebagai pelayan Tuhan atau hamba Tuhan ternyata malah dalam praktiknya memperoleh posisi terhormat dan pertama.
Seorang pendeta, misalnya, selalu pada saat yang sama disapa sebagai pelayan Tuhan dan diperlakukan sebagai seorang tuan. Antara idealisme dan realisme ternyata tak sinambung.
Pemakaian kata pelayan dan pelayanan dalam kehidupan gereja memang sudah tua usianya, tak lain karena kata ini memang sangat banyak dipergunakan di dalam Alkitab sendiri. Namun, kita perlu memahami dengan kritis bahwa pada umumnya Alkitab berbahasa Indonesia memakai kata “pelayan” sebagai sebuah eufemisme bagi kata “budak,” yang berasal dari kata Yunani doulos.
Konteks sosial yang hendak disapanya sangat jelas, yaitu perbudakan. Artinya, jemaat Kristen perdana memutuskan untuk memasukkan pelayan ke dalam kosakata berjemaat dan beriman mereka justru dengan memaknainya secara berbeda, yaitu sebuah pelayanan (baca: perhambaan, atau malah perbudakan) di bawah kedaulatan Allah sendiri.
Jika pun akhirnya secara praktis dirasakan oleh orang lain, pelayanan kepada sesama merupakan implikasi dari pelayanan kepada Allah. Selain itu, jemaat perdana memakai kata ini dengan menaruh padanya kualitas kebebasan kristiani yang diperoleh dari Allah sendiri. Artinya, orang percaya adalah seorang yang dalam kebebasannya mengabdi kepada Allah, dan baru akhirnya kepada sesama. Seorang pelayan melakukan pelayanannya dengan sukarela.
Singkatnya, pelayan dan pelayanan dipergunakan dalam konteks sebuah budaya tandingan yang dihadirkan oleh jemaat perdana terhadap budaya perbudakan hirarkis yang berlangsung di dalam masyarakat kultural saat itu.
Dengan mengingat konteks pemakaian kata tersebut pada situasi aslinya, maka kita bisa mengatakan bahwa pemakaian kata yang sama untuk situasi masa kini justru menjadi bermasalah. Kekuatan kata tersebut sebagai sebuah budaya tandingan berkurang drastis justru karena situasi masyarakat kontemporer yang hendak disapanya sudah tidak lagi memberlakukan perbudakan.
Di tengah dunia di mana Hak Asasi Manusia telah diterima secara umum dan perbudakan telah ditolak secara radikal, kosakata pelayan dan pelayanan lantas menelikung maknanya karena lebih dipahami sebagai sebuah “sikap hati” ketimbang “identitas baru” sebagaimana ditawarkan oleh Kitab Suci kita. Ketika gereja-gereja masa kini masih terus memakai kata ini, maka pemakaiannya lebih diberi bobot moralistis, yaitu bahwa seorang aktivis harus memiliki hati seperti seorang pelayan, sikap merendahkan hati (atau diri?) serta tidak bersikap bossy. Dan serentetan kualitas moral lainnya. Namun kekuatan kritik sosialnya telah pudar.
Pemanfaatan pelayan dan pelayanan dalam pemaknaan yang baru ini ternyata terjadi juga dalam dunia organisasi dan kepemimpinan umum. Robert Greenleaf, pencetus konsep servant-leadership, misalnya, menyatakan bahwa konsep yang diusungnya itu diinspirasi oleh prinsip pelayanan dalam Alkitab. Ia berkata bahwa konsep kepemimpinan-pelayan “mulai dari perasaan alami bahwa seseorang ingin melayani, pertama-tama melayani.”
Pelayanan dalam konsep Greenleaf ini dipahami pertam-tama sebagai sebuah “perasaan alami.” Dengan demikian, ia berbeda dari konsep pelayanan awal dalam Alkitab yang memahami pelayan dan pelayanan secara eksistensial, sebagai sebuah kata yang menunjuk pada “identitas baru” seorang Kristen di hadapan Allah.
Jika pelayan dan pelayanan telah bergeser maknanya, dari sebuah budaya tandingan menjadi sebuah pesan moralistis, maka kita perlu mendalami seberapa jauh ia punya arti bagi kehidupan gereja masa kini.
Saya mengamati bahwa ternyata kata pelayan dan pelayanan bisa jadi berisiko menjadi alat legitimasi bagi “perbudakan baru.” Pengamatan ini tentu tidak menyenangkan bagi kita yang sudah terlanjur memakainya dalam keterlibatan sesehari kita di jemaat. Namun, saya tentulah tak sendirian dalam mengajukan kritik ini.
Para teolog perempuan acap kali mengajukan kritik yang serupa. Para penulis perempuan seperti Susan Nelson Dunfee (Beyond Servanthood, 1989), Jacquelyn Grant (“The Sin of Servanthood,” 1993) dan Ada María Isasi-Díaz (“Un Poquito de Justicia-a Little Bit of Justice,” 1996) mengajukan klaim bahwa konsep pelayanan selama ini dipergunakan dalam komunitas Kristen untuk menindas kaum perempuan dan berlawanan dengan semangat pemberdayaan dan kebebasan yang dicita-citakan oleh perempuan Kristen. Laki-laki Kristen dengan mudah menuntut perempuan untuk mematuhi suami mereka atas nama pelayanan.
Ketika saya mengamati kehidupan jemaat di banyak tempat, cara berpikir yang sama ternyata muncul. Banyak organisasi Kristen yang memakai kata pelayanan bukan hanya secara umum dan moralistis, namun juga untuk memetakan apa saja yang lumrah dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Dalam acara-acara kemajelisan, misalnya, tak jarang anggota majelis perempuan “dipercaya” mengambil tugas-tugas domestik, seperti seksi konsumsi, seksi perlengkapan atau tugas-tugas sejenis. Sedangkan tugas kepemimpinan dan pengambilan keputusan didominasi oleh anggota majelis laki-laki.
Pelayanan dengan demikian telah mengalami penyalahgunaan maksud sesungguhnya.
PERSAHABATAN: SEBUAH MODEL MENGGEREJA MASA KINI
Apa yang hendak saya usulkan lewat tulisan reflektif ini adalah sebuah imaji baru untuk memahami interaksi anggota-anggota jemaat bukan lagi hanya dalam imaji pelayan dan pelayanan. Apa yang perlu kita kembangkan adalah sebuah imaji “sahabat” dan “persahabatan.” Dengan segera kita bisa melihat nafas yang lebih egaliter dan setara dari imaji ini dibandingkan dengan imaji pelayan dan pelayanan.
Tentu saja imaji pelayan dan pelayanan sudah tak mungkin lagi dihapus sepenuhnya. Dan memang tak perlu. Pertama, karena ia sudah sangat mendarah-daging dalam kehidupan jemaat-jemaat Kristen masa kini. Sudah sangat mengental dan menggumpal. Kedua, karena imaji pelayan dan pelayanan tetap bisa memiliki manfaat untuk mengingatkan setiap aktivis gereja bahwa mereka harus terus-menerus memaknai karya mereka dalam pengakuan pada kekuasaan Allah.
Jika pelayanan dijiwai oleh prinsip kekuasaan (power), maka hidup bergereja sebagai persahabatan dijiwai oleh cintakasih (love). Seorang pelayan dituntut untuk taat dan patuh pada sang tuan; seorang sahabat diundang untuk mencintai sahabatnya.
Sebenarnya, tema cintakasih selama ini tetap muncul dalam imaji pelayan dan pelayanan, namun secara teologis menjadi tidak selaras dengan makna asali dari kata pelayan dan pelayanan itu sendiri. Dengan persahabatan, cintakasih memperoleh rumahnya yang paling tepat.
Ada beberapa landasan teologis yang menegaskan pemahaman gereja sebagai sebentuk persekutuan para sahabat.
Pertama, Yesus Sang Sahabat Sejati itu sendiri menyapa para muridnya bukan lagi sebagai hamba namun sahabat, “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat” (Yoh. 15:15). Di dua ayat sebelumnya, Yesus menunjukkan sebuah kualitas seseorang yang mengasihi sahabatnya, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13).
Kedua, jika manusia diciptakan menurut gambar Allah, maka Allah Tritunggallah yang menjadi citra atau gambar umat manusia. Allah Tritunggal itu sendiri adalah Allah persekutuan, Allah yang menjadi persahabatan ilahi sebagai karakter utamanya. Gereja pada gilirannya harus menjadi citra utama dari persahabatan ilahi itu, karena gereja, bahkan seluruh ciptaan, diundang untuk berpartisipasi ke dalam persekutuan ilahi tersebut.
Cara pandangan trinitaris inilah, ketiga, yang menjadi dasar bagi pemaknaan gereja sebagai persekutuan (koinonia). Koinonia adalah sebuah persekutuan cintakasih para sahabat Kristus, di mana kesetaraan menjadi nilai utamanya.
PENUTUP: BEBERAPA PEMIKIRAN
Saya ingin menutup tulisan ini dengan beberapa pemikiran awal yang belum menetas secara utuh dan masih dalam bentuk embrio saja.
Pertama, gereja kita agaknya perlu mengembangkan sebuah teologi keramahtamahan (theology of hospitality) yang pada akhirnya diterjemahkan ke dalam program-program keramahtamahan yang konkret.
Keramahtamahan adalah sebuah persekutuan yang secara sengaja membuka diri pada mereka yang asing dan terasing, pada tamu dan pengembara, pada mereka yang berbeda dari kita. Di setiap awal ibadah kita selalu menyapa pengunjung ibadah melalui kalimat sambutan yang standar, namun tak pernah menerjemahkannya lebih jauh ke dalam program yang jelas dan kontinu.
Keramahtamahan pada dasarnya berupaya menerjemahkan apa yang ditulis dalam Ibrani 13:2, “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang, sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat.”
Keramahtamahan mengubah orang asing menjadi tamu dan sahabat. Kisah Para Rasul 16 mencatat kisah keramahtamahan seorang perempuan, seorang penjual kain dari Tiatira bernama Lidia, yang setelah dibaptis menerima Paulus dan Silas ke dalam rumahnya. Ia berkata, “Jika kamu berpendapat, bahwa aku sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan, marilah menumpang di rumahku” (ay. 15).
Keramahtamahan yang ditunjukkan Lidia bukan sekedar kepatutan budaya, namun sungguh-sungguh didasarkan pada imannya pada Kristus. Kemudian, setelah Paulus dan Silas keluar dari penjara, mereka mengunjungi kembali rumah Lidia. Di sana mereka berjumpa dengan persekutuan orang-orang Kristen dan menghibur persekutuan itu.
Keramahtamahan Lidia bukanlah sebuah tindakan yang sederhana dan mudah. Paulus dan Silas adalah orang-orang Yahudi; Lidia seorang Yunani. Kedua hamba Tuhan ini adalah laki-laki; ia seorang perempuan. Sementara Paulus dan Silas tak memiliki penghasilan yang jelas, Lidia seorang pebisnis.
Dengan keramahtamahannya itu, Lidia mengadegankan persahabatan di dalam dan bersama Kristus, yang ditulis oleh Paulus, penerima keramahtamahan perempuan itu, “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani [budaya dan etnis], tidak ada hamba atau orang merdeka [ekonomi dan sosial], tidak ada laki-laki atau perempuan [gender], karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal. 3:28).
Keramahtamahan serupa ternyata juga ditunjukkan oleh sipir penjara yang bertobat. Mereka menerima Paulus dan Silas—bekas tahanan di penjaranya—di rumahnya. “Lalu ia membawa mereka ke rumahnya dan menghidangkan makanan kepada mereka” (Kis. 16:34).
Kedua, keramahtamahan dan persahabatan yang didasari oleh persekutuan Trinitarian ilahi musti membuat kita sadar bahwa akan selalu ada kemungkinan bagi gereja Tuhan untuk–sadar atau tak sadar–mengasingkan sahabat-sahabat kita.
Misalnya, apakah ibadah Minggu kita sudah sungguh-sungguh bersahabat dan merangkul semua orang yang menjadi bagian dari persekutuan kita? Ke mana anak-anak muda dalam ibadah kita? Jangan-jangan “pelayanan” khusus kepada anak-anak muda kita (Kebaktian Anak, Kebaktian Remaja dan Kebaktian Pemuda) sudah menjadi penyingkir yang mujarab bagi para “sahabat” kita itu. Alih-alih menjadi sebuah ibadah yang children-friendly (akrab bagi anak-anak—termasuk tentu memaklumi dan menerima mereka sebagaimana mereka ada), ibadah Minggu kita justru membuat anak-anak tampak seperti tak dikehendaki untuk hadir.
Setiap Minggu kita mewanti-wanti orangtua agar anak-anak berhenti menjadi anak-anak, dengan meminta mereka untuk menjaga anak-anak mereka agar tidak ribut. Dan hanya sesekali saja kita mengizinkan mereka berpartisipasi ke dalam ibadah Minggu kita. Ibadah Umum tak lagi menjadi “umum” namun berubah menjadi Ibadah Dewasa. Jika ini dibiarkan, agaknya, pelayanan bisa dengan mudah berubah menjadi pengasingan.
Izinkan saya mengakhiri seluruh tulisan ini dengan kutipan dari buku Karen Main berjudul Open Heart, Open Home.
Joas Adiprasetya“We think in terms of entertaining as a woman’s chance to demonstrate her skill and the quality of her home, when actually entertaining has little to do with real hospitality. Entertaining says, “I want to impress you with my beautiful home, my clever decorating, my gourmet cooking.” Hospitality, however, seeks to minister. It says, “This home is not mine. It is truly a gift from my Master. I am His servant, and I use it as He desires.” Hospitality does not try to impress, but to serve.
Entertaining always puts things before people. “As soon as I get the house finished, the living room decorated, my place settings complete, my housework done–then I will start having people in.” Hospitality, however, puts people before things. “We have no furniture; we’ll eat on the floor.” “The decorating may never get done. Please come just the same.”
Entertaining subtly declares, “This is mine–these rooms, these adornments. These are an expression of my personality. It is an extension of who and what I am. Look, please and admire.” Hospitality whispers, “What is mine is yours.”
*> Tulisan ini merupakan revisi dari tulisan yang saya sumbangkan bagi penerbitan sebuah Feschrift bagi doctovater sekaligus sahabat saya, Prof. Dr. P.D. Latuhamallo, yang akan terbit sekitar bulan Oktober 2009 ini.
2 Comments
Lie Yesie
Maret 25, 2010 - 10:28 pmhmmmh, ini toh pak, teologi keramah-tamahan itu. mau nanya nih pak, btw, klo teologi keramah-tamahan ini, apa bisa dipandang dari sudut pandang lain, selain trinitaris? Misalnya sudut pandang kristologis atau eklesiologis?
Joas Adiprasetya
Juli 10, 2010 - 10:35 pmBetul, Yesie, ini salah satu dimensi mungil dari tema keramahtamahan yg sudah sangat maju dikembangkan dalam spiritualitas dan teologi Kristen belakangan.