Salah satu pengalaman hidup yang harus kami lalui adalah saat putra kami memperkenalkan calon pasangan hidupnya. Sebelumnya kami dan anggota keluarga kami telah berusaha untuk memperkenalkanya dengan banyak wanita yang sesama suku dan agama. Putra kami bersekolah dari high school sampai S2 di negara Paman Sam. Dalam pemantauan kami, dia cukup aktif dan bergaul luas dengan banyak teman dari berbagai bangsa.
Namun di luar dugaan, wanita pilihannya justru dijumpainya di Indonesia. Pacarnya itu berdarah campuran Banten, Jawa dan Arab serta memeluk agama Islam. Berbagai cara kami lakukan untuk “mematahkan” jalinan cinta mereka berdua, tetapi tetap gagal. Timbul pertanyaan dalam hati kami: “Apakah ini yang banyak didengungkan, bahwa kelahiran, jodoh dan kematian adalah misteri kehidupan?” Kakek sang pacar adalah seorang kyai yang memiliki Pondok Pesantren terkenal di Banten, sedangkan ibunya berdarah Arab, dan ayahnya berdarah biru suku Jawa.
Keluarga pihak wanita berusaha keras dan dengan berbagai cara memengaruhi putra kami untuk mengubah keyakinannya dan beralih agama. Puji syukur, karena pembentukan iman kristiani yang kokoh di keluarga, justru putra kamilah yang berhasil mengajak pacarnya ikut “Katekisasi Pernikahan” di GKI Kwitang. Hal ini mengakibatkan sang pacar “dikucilkan” oleh seluruh anggota keluarganya. Berbagai cara telah kami tempuh untuk melakukan pendekatan guna membicarakan “restu” pernikahan mereka, namun semuanya gagal dan tidak mendapat tanggapan apapun dan dari siapapun juga di pihak keluarga wanita.
Pernikahan sebagai wujud penyatuan antara dua keluarga mengalami jalan buntu. Pencatatan pernikahan secara legalitas negara (catatan sipil) terhalang oleh aspek psikologis dan sentimen agama yang kuat, karena faktor tercantumnya agama di KTP Indonesia. Saat Yusuf, Daud, Musa, Boas dan Salomo menikah beda agama dahulu, hal administratif seperti ini belum ada. Dalam kondisi pelik ini, ternyata Tuhan memberi jalan. Putra kami memperoleh pekerjaan di Amerika Serikat dan kesempatan itu digunakannya untuk juga mempersiapkan pernikahannya. Dengan berbekal telah “tamat” Katekisasi Pernikahan, putra kami memperoleh Surat Pengantar dari GKI Kwitang untuk mengajukan permohonan peneguhan dan pemberkatan di GKI Pasadena, California. Sebelumnya mereka telah menikah secara sipil di negara bagian Arizona. Namun sang Gembala di GKI Pasadena, California berkeberatan dan menolak meneguhkan/memberkati pernikahan pasangan ini, dengan alasan “takut” karena sang wanita berlainan suku dan menganut agama Islam.
Untuk mempertahankan tekad agar pernikahan secara kristiani tetap dilaksanakan, jurus KKN diluncurkan. Seorang anggota keluarga yang kebetulan jemaat JKI (Jemaat Kristen Indonesia) di California memberi jalan keluar dan memberitahu bahwa pendetanya bersedia melakukan peneguhan/pemberkatan nikah tersebut. Pernikahan pun berlangsung lancar dihadiri oleh jemaat JKI, keluarga besar mempelai pria, namun tanpa kehadiran seorang pun anggota keluarga dan kenalan mempelai wanita.
Perasaan lega dan sedih bercampur aduk. Lega karena pernikahan secara negara (meskipun menumpang di negara lain) dan agama telah terlaksana. Namun sedih, karena harus dilakukan tanpa “restu” dan kehadiran seorangpun dari pihak wanita. Sedih juga karena sebagai jemaat GKI, kami tidak berhasil menikahkan putra kami di GKI, hanya karena alasan takut sang Gembala di GKI Pasadena, California.
Setelah cucu pertama lahir, hubungan antar “besan” mencair dan putra kami diakui sebagai menantu mereka. Hubungan ini semakin akrab setelah kelahiran cucu kedua, bahkan kedua cucu ini pun diberi nama yang “berbau” Jawa. Kehidupan mereka selama 15 tahun ini berjalan lancar dan berlandaskan ajaran kristiani. Kedua cucu teratur ke Sekolah Minggu, sedangkan ayah mereka menjadi guru Sekolah Minggu. Meskipun sang ibu kadang-kadang ikut juga ke gereja, terutama saat kami berkunjung ke sana, namun dia tetap memeluk agama Islam. Kondisi ini disebabkan karena kuatnya pengaruh lingkungan dan ajakan teman-temannya seagama untuk ikut kegiatan seperti arisan sambil acara mengaji. Sesuai dengan “petuah” pendeta pada saat pernikahan mereka, dengan kasih dan doa, kami serahkan kepada “tangan Tuhan sendiri” untuk mengubah keyakinan menantu kami.
Pengalaman hidup ini akan banyak terjadi di negara dan masyarakat yang pluralistik seperti Indonesia. Seyogyanya kasus seperti ini bisa mendapat solusi yang tepat untuk memperlancar dan mempermudah proses pelaksanaan pernikahan beda agama dengan “jiwa dan semangat” kata-kata Rut kepada mertuanya: “Bangsamu adalah bangsaku… dan Allahmu adalah Allahku.”
Harry Tanugraha
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.