Berbagi pengalaman hidup berumah tangga

Berbagi pengalaman hidup berumah tangga

1 Komentar 417 Views

Dalam perjalanan pulang (48 jam) Los Angeles-Cengkareng pada awal Februari 2012, kami berkesempatan untuk merenung ulang perjalanan hidup kami. Usia kami berdua sudah lebih dari 70 tahun dengan urat darah mengeras dan darah mengental, dan sebentar lagi kami akan memasuki usia perkawinan 50 tahun, sehingga membuat kami ingin menuliskan pengalaman hidup ini.

Jasa kedua belah orangtua kami dalam membesarkan dan menjadikan kami orang yang bermartabat menjadi kenangan yang indah dan mengharukan. Kehidupan mereka sendiri sama sekali tidak berkecukupan. Ayah saya bekerja sebagai pegawai negeri dan ibu dari isteri saya adalah seorang janda yang harus membesarkan lima orang putri. Perjuangan mereka untuk menjadikan anak-anak mereka berstatus lebih baik daripada taraf kehidupan mereka menjadi catatan kami sebagai anak-anak untuk dikenang dan disyukuri. Kasih mereka dalam membesarkan kami membuat kami tetap hormat, patuh, dan terus menjaga martabat mereka hingga akhir hayat mereka. Salah satu dari 10 hukum Tuhan adalah “Hormatilah orang tuamu.” Nasihat mereka agar kami hidup jujur, sederhana, hemat dan rendah hati terus kami turuti dan laksanakan. Pedoman hidup ini kami patuhi hingga saat ini dan juga kami usahakan untuk diikuti dan dilaksanakan oleh anak-anak dan cucu-cucu kami.

Kami sendiri juga membesarkan ketiga anak kami jauh dari berkecukupan, tetapi kami berusaha dengan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan mereka dan menjadikan mereka berstatus lebih baik daripada kami. Dari gaji saya sebagai pegawai, kami harus mencari usaha tambahan dengan berbagai cara (jual emping manis, produksi sandal kayu dan alat olahraga, mengajar/menulis artikel dan lain-lain). Puji Tuhan, kami berhasil membiayai mereka menyelesaikan pendidikan hingga ke tingkat universitas. Setelah itu kami bertugas untuk menikahkan dua dari mereka dan menopang kehidupan mereka di tahun-tahun awal berkeluarga. Sungguh kami bersyukur bahwa hal ini dapat kami lakukan dengan lancar (anak kedua kami sudah terlebih dahulu kembali kepada Penciptanya pada usia 26 tahun dalam suatu kecelakaan kendaraan saat pulang menyelesaikan tugas pelayanan di desa-desa Jawa Barat). Tujuan agar “status” kedua anak kami melebihi tingkat kehidupan kami telah rampung kami lakukan. Kini mereka hidup bahagia dan masing-masing dikaruniai dua anak.

Teladan orangtua saya sendiri sangat membekas di hati saya. Mereka hidup saling mengisi, menghomati dan melayani. Semua pekerjaan, baik untuk menambah nafkah, menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di rumah (memperbaiki peralatan rumah, mencuci piring, membuang sampah, mencuci dan menyeterika pakaian, membersihkan rumah dan halaman, membantu anak-anak membuat PR dan mengantar-jemput mereka, dll.) dilakukan dengan bersama-sama. Pola hidup inilah yang kami tiru dan lakukan, dan juga kami tanamkan kepada anak-anak kami untuk diteruskan. Salah satu kutipan di dalam Markus 9:35 menyatakan, “Orang yang mau menjadi yang nomor satu, harus menjadi yang terakhir dan harus menjadi pelayan semua orang.” Jika pekerjaan dilakukan bersama-sama, maka pekerjaan pun menjadi ringan dan stres menjauh dari kehidupan rumah tangga.

Orangtua kami selalu mendidik kami untuk saling mencintai dan memperhatikan. Kedua hukum Allah yang universal pun menyatakan, “Cintailah Tuhan Allahmu, seperti kamu mencintai dirimu sendiri” serta “cintailah sesamamu (orangtua, suami/isteri, anak-anak, anggota keluarga, tetangga dan manusia lainnya) seperti juga kamu mencintai dirimu sendiri.” Cinta dan kasih serta saling membantu dalam menjalani kehidupan berkeluarga kami, ternyata dapat melanggengkan hingga hampir 50 tahun usia perkawinan. Masalah rezeki dan kesehatan, kami hanya berusaha dan bekerja, namun kami meyakini bahwa dengan doa yang tulus, Sang Pencipta pasti akan memenuhi kebutuhan kami. Masih teringat di benak kami betapa dengan gaji sebesar 500 ribu Rupiah (=$ 250) saja, ditambah dengan usaha dan doa, kami dapat membiayai dua anak bersekolah di luar negeri ditambah satu anak di Bandung.

Cucu-cucu kami kini sudah semakin besar dan biaya kehidupan mereka pun meningkat. Kami berpesan kepada anak-anak kami agar tetap percaya kepada Tuhan yang mengatur segala sesuatu. Tetap berusaha dan berdoa, menjaga diri untuk selalu jujur, sederhana, hemat dan rendah hati serta patuh di jalan kebenaran agama yang kita anut dan yakini. Amin.

 

Harry Tanugraha

1 Comment

  1. Eben Heiser

    Menjalani rumah tangga adalah merupakan sekolah yang tidak pernah kenal wisuda. Jika suami n istri dapat hidup saling menghargai, melayani, mengasihi dan saling membahagiakan dah pasti bisa langgeng pernikahannya sampai 50 tahun. Semoga saya n isteri dapat sampai ke masa itu.semoga.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Sudut Hidup
  • Aku mencari wajah-mu, Tuhan…
    Kesaksian Dapot Parulian Pandjaitan
    Berharga di mata Tuhan (kematian) semua orang yang dikasihi-Nya (Mazmur 116:15) Oops… Kematian? Suatu kata yang sering dihindari orang...
  • Kasih-Nya Mengalir
    Namanya Helen Jayanti, biasa dipanggil Helen. Saat ini sedang menjalani Praktek Jemaat 1 di GKI Pondok Indah. Lulusan dari...
  • Jalan Pagi Lagi di Antara Jiwa-Jiwa
    perjumpaan dengan inspirasi kehidupan lain yang juga mendatangkan syukur
    Upaya Menjaga Kebugaran Sungguh tak mudah memulai kembali sebuah rutinitas, terutama yang menyangkut fisik, apalagi kalau memang pada dasarnya...
  • Jalan Pagi di Antara Jiwa-Jiwa
    Perjumpaan-perjumpaan yang menginspirasi kehidupan dan mendatangkan syukur.
    Jalan Pagi Untuk menjaga kondisi dan kesehatan jasmani di masa yang menekan ini sehingga tidak banyak aktivitas yang bisa...
  • In-Memoriam: Pdt. (Em.) Timotius Setiawan Iskandar
    Bapak bagi banyak anak yang membutuhkan kasih: yang kukenal dan kukenang
    Mencari Tempat Kos Setelah memutuskan untuk mengambil kuliah Magister Manajemen pada kelas Eksekutif (kuliah pada hari Sabtu-Minggu) di Universitas...