Belajar dari Para Pendeta Toraja

Belajar dari Para Pendeta Toraja

1 Komentar 1030 Views

Halo? Pungky, apa kabar? Masih ingat dong dengan aku? Ery… Aku dapat nomormu dari si Kak, Lazarus…”

Ery Lebang. Kakak kelas dua tahun di atas saya di STT Jakarta. Sekarang ia adalah Pdt. DR. Henriette (Ery) T. Hutabarat-Lebang, Ketua I Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja.

“Eh Pungky… tolong dong jadi pembicara buat gerejaku,” ujar Pdt. Lebang setelah saling berbagi kabar dan riwayat singkat keluarga masing-masing.

“Tanggal 13-16 September 2005, kami merencanakan untuk mengadakan Konsultasi Pendeta Gereja Toraja.”

“Di Toraja?”

“Ya dong. Konsultasi itu akan menjadi pertemuan reflektif. Untuk itu diperlukan dua pembicara. Yang pertama dari Gereja Toraja sendiri untuk pemahaman tugas dan panggilan pendeta. Dan kami membutuhkan yang kedua justru dari gereja lain yang seazas dan dengan latar-belakang sejarah yang sama. Agar bisa secara kritis memfasilitasi para pendeta melakukan refleksi sejarah atas peran dan tugas mereka.”

“Mengapa saya?”

“Setahu kami pendeta GKI (SW) Jateng yang berkompeten untuk itu adalah Lazarus dan Anda. Jadi kalau Lazarus tidak bisa, siapa lagi kalau bukan Anda?”

“Wah menarik sekali. Tetapi saya membutuhkan persetujuan dari Majelis Jemaat.”

“Tentu kami akan menulis surat resmi. Hanya ada satu hal lagi…” sambung Pdt. Lebang agak ragu-ragu.

“Panitia harus bekerja dengan dana yang terbatas. Bisakah kiranya GKI Pondok Indah menyumbang dengan menanggung biaya transportasi Jakarta-Makassar pulang-pergi? Selebihnya adalah tentu saja tanggungan kami.”

“Tulis saja surat resmi. Dan telpon saja langsung Ketua Majelis Jemaat kami.”

“Oke Pung. Kami akan lakukan itu. Nanti kita kontak lagi…”

Ke Toraja! Tak sabar saya menceritakan rencana ini kepada keluarga dan rekan-rekan.


Pernah satu kali saya dan keluarga mengunjungi Toraja, sebagai turis. Ketika itu kami masih tinggal di Belanda, dan Dian, anak kami yang kedua, masih dalam kandungan. Masih terpatri dalam ingatan, suasana tenang-teduh, hijau pesawahan, dan sosok rumah-rumah tradisional Toraja di kaki langit.

Saya mulai memilih dan membaca buku-buku yang berkaitan untuk menyusun makalah yang diharapkan dari saya. Dua hari setelah percakapan telepon dengan Pdt. Lebang, surat permohonan resmi dari Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja diterima Majelis Jemaat melalui faksimili. Entah bagaimana, surat itu tidak disertakan untuk dibahas dalam rapat BPMJ. Tetapi Sekretaris Umum berjanji untuk membahasnya dengan Ketua Umum dan Bendahara Umum. Dan akhirnya setelah dibahas, entah bagaimana serta mengapa, GKI Pondok Indah memang mengizinkan saya menjadi pembicara di Toraja, namun menolak untuk membantu biaya transport Jakarta-Makassar pulang-pergi, bagi saya.


Sekitar seminggu setelah keputusan itu diambil, entah mengapa lagi, surat jawaban kepada Gereja Toraja belum juga dikirimkan. Akhirnya setelah atas desakan saya surat itu dikirimkan melalui faksimili, Pdt. Lebang kembali menghubungi saya.

“Tidak apa Pungky. Pada prinsipnya kami tetap menghendaki Anda menjadi pembicara dalam Konsultasi itu. Kami akan berusaha sebisa kami untuk mendapatkan atau menyisihkan dana untuk biaya perjalananmu.”

Seusai percakapan dengan Pdt. Lebang saya agak kehilangan semangat untuk mempersiapkan makalah untuk Konsultasi Pendeta itu. Tetapi saya harus mengatasi kekecewaan saya. Maka saya paksakan diri untuk melanjutkan membaca buku-buku yang sudah saya pilih. Siapa tahu saya tetap jadi berangkat ke Toraja.

Dan ternyata amat mengasyikkan menyusuri peran dan tugas pendeta dari abad 17 hingga sekarang, khususnya di lingkungan gereja Hervormd dan Gereformeerd, yang adalah “asal” sebagian besar gereja-gereja di Indonesia, khususnya Gereja Toraja (Rantepao), GKI (SW Jateng), Gereja-gereja Kristen Jawa, Gereja Kristen Sumba dan Gereja Kristen Indonesia Sumatera Utara, yang bisa disebut sebagai “saudara-saudara kandung”.

Dan syukur, akhirnya seorang anggota jemaat GKI Pondok Indah yang mengetahui hal ini, bersedia menanggung biaya perjalanan saya Jakarta-Makassar pulang-pergi.


Setelah memberitakan kabar baik itu, tempo persiapan saya menjadi optimal kembali. Dan sesuai nasihat Pdt. Lebang, pada hari Senin 12 September 2005 saya bertolak ke Makassar. Pesawat yang membawa saya ke Makassar seharusnya bertolak jam 12.00. Akan tetapi ternyata mengalami penundaan mula-mula 1 jam, kemudian 2 jam dan akhirnya hingga 4 jam. Oleh karenanya saya sibuk mengontak Pdt. Duma Tonda yang harus menjemput saya, serta saudara sepupu Elisabeth yang tinggal di Makassar.

Sekitar jam 19.00 WITA saya mendarat di Makassar. Disambut oleh Ibu Tonda yang meminta maaf karena suaminya tidak dapat menjemput sendiri. Dari bandara kami menuju ke pusat kota Makassar, dekat pantai, untuk makan malam, yang tentu saja diawali dengan doa makan oleh saya. Dan tentu saja ikan bakar, apa lagi?, yang bukan saja lezat tetapi juga amat murah dibandingkan dengan di Jakarta.

Setelah itu, saya langsung diantar ke terminal bus malam, untuk melanjutkan perjalanan ke Rantepao, Toraja. Di terminal ternyata terdapat cukup banyak pendeta yang akan mengikuti Konsultasi. Di situlah untuk pertama kali saya sadar bahwa jemaat-jemaat Gereja Toraja bukan hanya di Tanah Toraja, tetapi juga di banyak sekali kota di tanah air, di Jawa, di Sumatera, di Kalimantan dan sebagainya.

“Wah, tentunya cukup tinggi ya biaya perjalan Bapak?” Tanya saya kepada seorang pendeta dari Kalimantan, yang kira-kira sebaya dengan saya.

“Memang. Tetapi tidak apa. Saya dan jemaat sudah menabung. Ini adalah pertemuan yang diadakan sekitar lima tahun sekali. Saya tidak mau ketinggalan. Sayang kan?”

Cukup nyaman bus yang saya tumpangi, dengan pendingin udara, kursi yang cukup lebar, terutama untuk saya yang “lebar dan tebal” ini, dan ruangan untuk kaki yang amat lega. Perjalanan ke Rantepao seharusnya ditempuh dalam waktu 8 jam. Namun di tengah jalan bus agak rewel. Sehingga kami baru tiba di Rantepao sekitar jam 7.00 dan langsung menuju ke hotel Missiliana di luar kota Rantepao, hotel tempat kami sekeluarga menginap di tahun 1996.


Setelah sempat beristirahat sebentar, saya memutuskan untuk jalan-jalan ke kota Rantepao, karena acara baru akan mulai jam 17.00. Tetapi tiba-tiba terdengar suara nyaring di belakang saya:

“Hai Pungky! Kamu gemuk sekali…!”

“Hai Ery! Ah! Kamu juga…!”

Kami tertawa terbahak-bahak menertawakan diri kami. Memang sepuluh tahun yang lalu kami berdua tidak segemuk sekarang. Apalagi ketika kami masih sama-sama kuliah.

“Mau ke mana kamu?”

“Jalan-jalan, melihat-lihat kota Rantepao.”

“Ah, ketimbang jalan-jalan, mau mampir ke kantor Sinode kami, dan meninjau Pusat Pembinaan kami?”

Begitulah. Pdt. Lebang mengantar saya berkeliling. Kantor Sinode Gereja Toraja sangatlah khas. Ia dibangun dengan bentuk “tongkonan”, pusat paguyuban dan kehidupan masyarakat Toraja. Oleh karenanya selain indah, secara simbolik ia juga amat bermakna di mata orang Toraja.


Pusat Pembinaan Warga Gereja yang dimiliki gereja Toraja juga amat unik. Ia adalah bagunan tua yang dipugar dan diperluas dengan dana swadaya yang terbatas Maka pelaksanaannya tahap demi tahap. Saat ini pun belum sepenuhnya usai. Memang tidak seindah dan semewah Pondok Remaja PGI di Cipayung misalnya. Tetapi ia lebih daripada memadai dan bersih. Dan ia sepenuhnya mandiri, serta mampu membiayai dirinya sendiri.

Saya sungguh mengaguminya, seraya membayangkan Lembaga Pembinaan serupa di Yogya, milik Sinode GKJ dan GKI SW Jateng dengan sedikit iri.


Sekitar jam 16.30 saya menuju ke aula tempat Konsultasi diselenggarakan. Acara belum dimulai tetapi sebagian besar peserta sudah datang dan sedang menikmati teh/kopi dan makanan kecil. Saya tidak percaya pada mata saya. Banyak sekali peserta yang ada di situ, pendeta-pendeta!

“Wah banyak sekali yang hadir ya?” tanya saya kepada seseorang di depan saya yang mengantri kopi.

“Oh… ini belum semua. Nanti kalau acara mulai Bapak akan bertemu dengan semua rekan.”

“Berapa orangkah yang akan hadir?”

“Saya rasa antara 350 sampai 400 orang.”

Saya tertegun. GKI SW Jateng menyelenggarakan Konven Pendeta setahun sekali. Tahun lalu misalnya, sekitar 80 orang pendeta hadir. Bagi saya jumlah itu sudah banyak sekali. Ternyata? Sungguh mengasyikkan bicara dengan pendeta-pendeta yang beraneka-ragam. Pendeta kota besar, kota kecil, pedesaan, tua, muda, laki-laki dan perempuan. Yang terakhir ini banyak sekali jumlahnya menurut pengamatan saya.


Sore dan malam itu digunakan untuk Kebaktian Pembukaan, perkenalan dan orientasi acara. Menurut Pdt. Lebang, yang hadir adalah sekitar 430 orang! Lebih daripada duapertiganya berumur 40 tahun ke bawah. Dan lebih daripada sepertiganya adalah pendeta perempuan.

Kebaktian Pembukaan amat kental diwarnai budaya dan pergumulan gereja Toraja. Pdt. Lebang yang duduk di samping saya sibuk menerjemahkan kata-kata Toraja yang terkadang terselip di sana sini dalam lagu-lagu, khotbah dan sambutan-sambutan. Sekelompok anak memainkan musik bambu, yang konon bukan asli Toraja, tetapi Minahasa, diwariskan oleh seorang Minahasa yang pernah bekerja di Toraja sebagai guru.

Perkenalan juga menarik. Para peserta diperkenalkan menurut tahun penahbisan mereka sebagai pendeta. Sehingga tampak berapa besar setiap angkatan pendeta di Gereja Toraja yang hadir. Malam itu saya berangkat tidur dengan sebakul besar kekaguman.


Keesokan harinya, sesi pertama dibawakan oleh Pdt. DR. Theo Kobong, putra Toraja, seorang teolog yang piawai, ahli misiologi. Beliau amat kritis menghantar para pendeta untuk merenungkan dengan sungguh-sungguh baik segi panggilan maupun profesionalitas pendeta. Diskusi sesudah presentasi berjalan dengan baik. Terkadang cukup alot bahkan terkesan keras, karena ternyata kesenjangan antara Pdt. Kobong yang sudah emeritus dengan pendeta-pendeta muda yang kritis, cukup lebar.

Saya duduk di antara para pendeta itu, agak di belakang. Ke manapun saya menoleh duduk para pendeta yang dengan serius mengikuti ceramah maupun diskusi.

Setelah istirahat 15 menit, tibalah giliran saya. Ketika saya naik ke podium dan duduk di sebelah Pdt. Lebang yang bertindak sebagai moderator, saya melihat beratus-ratus wajah dan pasang mata yang memandang kepada saya. Saat itu baru saya sadar betapa banyaknya pendeta yang hadir.

“Saudara-saudara baru pertama kali ini saya berbicara di depan begini banyak pendeta.” Begitu saya memulai prasaran saya secara spontan.

“Jadi maafkanlah bila saya sedikit gugup…” yang disambut dengan derai tawa sopan.

Memandang kepada ekspresi wajah para pendeta yang begitu banyak, yang dengan serius mendengarkan saya, saya dihinggapi oleh sebuah perasaan yang aneh. Mau tidak mau, menyaksikan mereka, saya lalu melihat kepada diri saya sendiri. Siapakah saya ini yang berhak mengajari mereka bagaimana harus berefleksi tentang peran dan tugas mereka? Setidaknya saya tidaklah lebih baik atau dengan pengabdian yang lebih utuh dan tulus ketimbang mereka.

Saya mencoba menghibur diri dengan menyakinkan diri saya, bahwa yang saya lakukan adalah mengajak mereka melihat ke dalam sejarah. Bagaimana para pendeta di masa lalu memahami dan mewujudkan peranan serta tugas mereka. Saya hanya memfasilitasi para pendeta itu dalam berefleksi.

Ketika membaca dan menguraikan tiga lembar pertama dari makalah saya, saya masih agak grogi. Namun sesudahnya, lembar demi lembar, saya kian percaya diri. Tetapi perasaan itu tetap melekat pada belakang kepala saya. Dan akhirnya, ketika tiba pada acara diskusi, mata saya kian terbuka, bahwa prasaran yang saya bawakan adalah ideal. Tetapi juga bahwa idealisme selalu harus diuji di lapangan.

Dan ternyata realita dalam praktik para pendeta ini tidak dapat serta-merta dikritik oleh pemahaman prinsipial atau normatif. Dan sama sekali tidak dapat disandingkan begitu saja dengan kenyataan di lingkungan GKI. Pendek kata, saya tidak dapat begitu saja, dengan dingin, menjaga jarak dengan para pendeta itu.


Seusai sesi saya, kami makan siang. Selama makan siang saya sempat berbicara dengan cukup banyak pendeta. Rupanya setelah sesi saya, mereka lebih terbuka mengisahkan pengalaman mereka. Begitu pun dalam kesempatan-kesempatan senggang lainnya. Dan saya terkagum-kagum mendengar kisah mereka.

Ada pendeta Gereja Toraja yang melayani di jemaat Kelapa Gading Jakarta. Hampir sama pergumulannya dengan pendeta GKI di Jakarta. Tetapi lain halnya dengan para pendeta di desa-desa., di pedalaman Toraja. Mereka kerapkali benar-benar “pemain solo” yang tidak didukung oleh orkestra. Sumber daya manusia adalah masalah. Dana apalagi. Dan ini adalah cerminan dari sebagian besar jemaat pedesaan. Belum lagi jemaat serupa yang letaknya berbatasan dengan, bahkan di tengah desa-desa muslim. Mereka ini tidak jarang berada dalam ketegangan yang tak kunjung reda.

“Kalau saya, adalah pendeta yang biasa dijuluki sebagai “pendeta sakramen”, tutur salah seorang teman saya minum kopi setelah makan.

“Saya memegang 4 jemaat. Sehingga dari Minggu ke Minggu saya singgahi jemaat-jemaat itu bergantian, dan biasanya lalu melaksanakan sakramen. Entah itu baptisan maupun perjamuan. Juga tentunya perkawinan serta kebaktian syukur”

“Naik apa?”

“Dulu berjalan kaki. Sekarang naik sepeda motor, sumbangan seorang anggota jemaat di Jakarta. Honda Supra Fit,”sambungnya dengan bangga.


Beberapa pendeta muda menceritakan kesulitan mereka untuk berkomunikasi dengan warga jemaat yang lebih tua ketimbang mereka. Bukan hanya dari segi umur, tetapi juga dari segi budaya, karena ada cukup banyak orang yang dituakan menurut adat, yang biasanya amat vokal dan didengar. Lebih parah lagi dalam hal itu adalah pergumulan para pendeta perempuan. Kenyataan bahwa mereka muda saja sudah merupakan kendala, terlebih keperempuanan mereka.

Namun di balik berbagai kisah pergumulan dan permasalahan mereka, mata mereka memancarkan kesungguhan dan ketulusan dalam melaksanakan tugas panggilan mereka sebagai pendeta. Inilah yang menurut hemat saya luar biasa. Begitu banyak pendeta yang dengan sungguh-sungguh melayani sebagai pendeta dalam situasi yang terkadang begitu sulit, bahkan dalam kekurangan.

Menurut Pdt. Lebang skala biaya hidup pendeta Gereja Toraja mengacu kepada skala penggajian pegawai negeri. Itupun bila jemaat tidak mampu, ada beberapa hal yang dikurangi atau bahkan tidak diberikan sama sekali, misalnya uang cuti. Itu juga sebabnya mengapa banyak jemaat tidak atau belum dapat mempunyai pendeta sendiri.

Jumlah seluruh pendeta Gereja Toraja saat ini mendekati 500 orang. Bila seluruh jemaat mempunyai pendeta, maka seharusnya jumlah pendeta Gereja Toraja adalah 650 orang.


Saya datang ke Toraja untuk memfasilitasi para pendeta Gereja Toraja merefleksikan peran dan tugas mereka. Untuk membelajarkan mereka. Tetapi ternyata saya sendiri yang banyak sekali belajar dari mereka. Memang seharusnya begitulah yang senantiasa terjadi. Sebab ini bukan sekadar proses belajar-mengajar seperti pada relasi murid dan guru. Ini adalah proses saling belajar di antara rekan-rekan pendeta.

Saya amat bersyukur diperkenankan Tuhan mengalami pengalaman yang tak ternilai ini. Saya amat berterima kasih kepada Majelis Jemaat GKI Pondok Indah yang mengizinkan saya pergi ke Toraja. Dan tentunya kepada warga jemaat yang bersedia menanggung biaya perjalanan saya.

Tetapi terutama saya berterima kasih kepada para pendeta Gereja Toraja yang telah memperkaya wawasan saya dan mengokohkan motivasi saya dalam pelayanan ini.




Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

1 Comment

  1. PM Tangke

    Syalom…

    Maksh Pak, sudah mencerahkan kami di Gereja Toraja.
    Saya baru tahu, ternyata ITGT sll bergumul jg tuk biaya para pembicara, dan pembicara juga punya pergumulan soal biaya n persetujuan majelis jemaat.
    Via tulisan bapak, apa yg saya tahu ttg pertolongan Tuhan yg tepat pada waktunya, semakin diteguhkan. Bapak ditolong Tuhan melalui anggota jemaat. Luar biasa. Tuhan memberkati anggotanya itu. Tuhan memberkati bapak sekeluarga.

    Salam Kasih
    PM Tangke.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...