guru pak

Belajar dari Para Guru PAK

Belum ada komentar 211 Views

“Pak Purboyo, dapatkah Bapak membawakan renungan pada Perayaan Natal Guru-guru Pendidikan Agama Kristen (PAK), Minggu 14 Desember di lantai 3…?” tanya Pak Arman, ketua Komisi Pekabaran Injil GKI Pondok Indah.

Tanpa berpikir panjang saya mengiyakannya setelah memeriksa agenda saya. Padahal sebenarnya selain belum pernah bertemu apalagi memimpin acara guru-guru PAK itu, saya juga tidak terlalu mengerti siapa guru-guru itu, serta bagaimana hubungan mereka dengan GKI Pondok Indah.

“Sudah pasti ya Pak, Minggu 14 Desember 2008, jam 11.00, sesudah kebaktian umum kedua…?” tanya Pak Arman lagi menegaskan.
“Ya Pak, sudah saya catat.”

Hingga beberapa hari sesudah itu saya agak melupakan kesanggupan saya itu. Namun kemudian Ibu Ming dari Tim Liturgi menelepon saya.

“Pak Pur yang akan memimpin Natal Guru PAK kan?”
“Benar Bu, kenapa?”
“Kami diminta untuk menyusun liturginya Pak. Oleh karena itu saya membutuhkan tema dari renungan Bapak.”
“O begitu. Wah terus terang saja saya belum menyiapkannya, jadi belum punya tema.”
“Begini saja Pak, beberapa hari ini-tapi jangan lama-lama-, Pak Pur memikirkan temanya lalu kirimkan kepada saya, bisa lewat sms atau email…”
“Baik Bu. Terima kasih.”

Memilih tema, selain menentukan teks Alkitab yang cocok, juga berarti setidaknya mengantisipasikan topik yang kira-kira relevan dengan para guru PAK atau permasalahan yang mereka gumulkan dalam pekerjaan serta pelayanan mereka. Setelah berbicara dengan beberapa teman yang mengetahui perihal guru-guru PAK itu saya memilih tema: “Kehadiran Sang Damai Mengubah Kita”.

Minggu 14 Desember sekitar jam 10.20, seusai memimpin kebaktian Pra-remaja, saya memasuki ruangan pertemuan di lantai 3 untuk mempersiapkan dan merundingkan acara dengan mereka yang telah ditetapkan untuk bertugas. Ternyata di situ sudah hadir sekitar 10 orang guru berserta keluarga mereka. Maka setelah selesai membicarakan acara dengan para petugas, saya memakai waktu yang masih ada untuk berkenalan dengan guru-guru PAK beserta keluarga mereka. Sementara itu guru-guru yang lain mulai berdatangan. Dan tidak lama kemudian, sementara menunggu waktu, para guru berlatih paduan suara di sudut ruangan. Mereka berencana untuk membawakan sebuah lagu Natal.

Mereka semua berasal dari berbagai daerah, dari Sumatera Utara, Nias, Maluku, hingga Timor. Mereka semua adalah guru-guru PAK di sekolah-sekolah negeri, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, umum maupun kejuruan.

Secara prinsipial sebagaimana diatur dalam undang-undang, seharusnya di sekolah-sekolah itu tersedia guru-guru agama bagi semua agama. Akan tetapi pada praktiknya yang tersedia hanyalah guru-guru agama Islam yang adalah PNS (pegawai negeri sipil), sedangkan guru-guru agama lain, terutama guru PAK, adalah guru-guru tidak tetap (guru honorer), dengan honorarium yang minim sesuai dengan jam pelajaran yang diberikan, tanpa tunjangan apapun. Dengan jumlah jam pelajaran yang terbatas (kurang dari 24 jam pelajaran seminggu, dan biasanya guru PAK hampir pasti tidak mencapai jumlah itu), mereka tidak berhak mendapatkan “tunjangan fungsional” dari pemerintah. Nasib mereka kurang-lebih sama dengan ratusan ribu guru honorer dan guru bantu di berbagai sekolah negeri di seluruh tanah air yang menunggu pengangkatan menjadi PNS yang tak juga kunjung terjadi. Padahal kehadiran mereka di sekolah-sekolah di mana mereka berkarya, amat dibutuhkan bahkan kerapkali seperti pada guru-guru PAK ini, tidak tergantikan. Ini semua belum memperhitungkan guru-guru honorer dan guru-guru bantu di sekolah-sekolah swasta yang nasibnya kerapkali lebih memrihatinkan lagi.

Sekitar jam 11.10 telah hadir sekitar 28 guru-guru PAK beserta keluarga mereka dan kebaktian pun dimulai. Ruang pertemuan lantai 3 tidak terlalu penuh terisi oleh sekitar 60 orang. Tetapi ketika lagu pertama, “Hai Mari Berhimpun”, dinyanyikan, suara kami terdengar amat lantang dan jelas, sehingga tidak terasa bahwa ruangan itu hanya separuh terisi. Saya menengok sekeliling, semua orang, termasuk anak-anak, menyanyi dengan sungguh-sungguh dan wajah berseri. Suasananya pun menjadi menyenangkan. Suasana yang memang semestinya terjadi dalam kebaktian dan perayaan Natal. Padahal di ruangan lantai 3 itu nyaris tidak ada hiasan apapun. Bahkan pohon terang pun tidak ada, mungkin karena mematuhi amanat Panitia Natal tahun ini. Tetapi tidak ada seorang pun dapat menyangkal sukacita dan antusiasme yang dirasakan pada waktu itu. Tidak ada seorangpun dapat menyangkal terang Natal yang hadir pada saat itu.

Ketika tiba waktunya bagi saya untuk menyampaikan renungan, saya maju ke depan menghadap ke hadirin. Saya melihat wajah-wajah yang berseri-seri dan tulus, yang siap untuk mendengarkan Firman Tuhan dengan baik. Tiba-tiba saja saya membayangkan berbagai kisah dan pergumulan kehidupan di balik wajah-wajah itu. Kisah dan pergumulan yang amat nyata, yang tidak banyak disadari apalagi diketahui orang. Bukan hanya masalah finansial tetapi juga berbagai aspek lainnya seperti relasi, kemasyarakatan, keluarga, mendidik dan membesarkan anak-anak, dan banyak lagi. Sementara itu mereka meyakini bahwa mereka melakukan sesuatu yang jauh lebih besar ketimbang sekadar bekerja mencari nafkah yang amat tidak memadai.

Mereka adalah pemberita-pemberita Firman Allah, yang turut berperanserta dalam proses pendidikan calon-calon pemimpin bangsa dan gereja di masa depan. Rasanya tanpa idealisme takkan tahan orang menjalankan peran dan tugas yang mereka emban. Tiba-tiba saya merasa begitu kecil di hadapan mereka. Saya tidak lagi bisa berhadapan dengan mereka sebagai “yang berhak mengajari” mereka tentang kebenaran Firman Allah dalam kehidupan mereka. Sebaliknya sayalah yang mesti belajar dari mereka. Belajar kembali tentang panggilan, tentang idealisme dan komitmen, tentang kehidupan, dengan kedatangan Sang Damai di pusatnya.

Ada sekitar 31 guru PAK yang istilahnya “dibina” oleh Komisi Pekabaran Injil GKI Pondok Indah. “Dibina” berarti pada satu sisi dipersekutukan dalam sebuah pertemuan rutin, di mana diadakan kebaktian, pembekalan dan acara ramah-tamah. Dan pada sisi lain itu juga berarti bahwa mereka itu mendapatkan tunjangan dana sekadarnya dari GKI Pondok Indah. Mengapa hanya 31 orang?

Pertanyaan ini perlu kita pikirkan lebih jauh dan dengan lebih bersungguh-sungguh. Menurut keterangan dari salah satu guru, sekitar 10 tahun lalu ada banyak gereja di Jakarta Selatan yang berpartisipasi membantu para guru PAK honorer ini. Namun kini tinggal GKI Kebayoran Baru dan GKI Pondok Indah yang melakukannya. Dan bila tidak salah jumlah guru PAK yang “dibina” oleh GKI Kebayoran Baru lebih banyak ketimbang GKI Pondok Indah.

Tema kebaktian dan perayaan Natal Guru-guru PAK tahun ini adalah “Kehadiran Sang Damai Mengubah Kita”. Yang harus berubah bukan hanya para guru PAK honorer itu, tetapi juga kita: Komisi Pekabaran Injil, Majelis Bidang Kesaksian dan Pelayanan, para penatua dan pendeta, segenap pegiat dan warga jemaat, kita semua. Bukan dalam soal jumlah guru PAK binaan yang cuma 31 orang itu, tetapi persepsi tentang mereka semua, baik guru PAK honorer maupun guru-guru honorer dan guru-guru bantu lainnya, baik di sekolah-sekolah negeri maupun swasta. Serta secara serius mempertimbangkan apa yang dapat kita lakukan bagi mereka, baik sebagai jemaat, maupun sebagai pribadi orang percaya.

Mari kita belajar pertama-tama dari Sang Damai yang datang ke tengah kita. Tetapi juga dari guru-guru PAK dalam kisah dan pergumulan kehidupan mereka.

Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...