“… berangkatlah Ia dari Galilea dan tiba di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan … Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu.” (Mat. 19:1, 13)
Salah satu alasan mengapa kita harus membawa anak-anak kita kepada Allah adalah karena Allah sendiri yang mendatangi mereka. Allah tidak pernah menanti manusia untuk datang kepada-Nya, jika manusia menghendaki kehidupan. Allahlah yang mendatangi manusia di dalam ketidakmampuan mereka untuk datang kepada Allah. Kesediaan Allah di dalam Yesus untuk mendatangi manusia ternyata tidak mensyaratkan dari pihak manusia pemahaman atau iman pada tingkat tertentu. Semua orang didatangi Yesus: dewasa maupun anak, orang kaya maupun orang miskin, laki maupun perempuan, orang pandai maupun orang dengan keterbatasan mental, dan seterusnya.
Gereja yang menyadari kebenaran ini haruslah bergumul terus-menerus untuk mengevaluasi pelayanan dan pendampingannya bagi anak-anak muda. Saya hendak memberikan beberapa contoh praktis. Pertama, gereja kita sudah tuntas dalam menggumuli masalah sakramen baptis anak, namun belum selesai dalam menyikapi pertanyaan, apakah anak-anak diizinkan mengikuti sakramen perjamuan kudus. Jika perjamuan kudus mengikuti baptisan, maka dengan mengizinkan anak-anak menerima baptisan kudus, sewajarnya jika kita pun mempertimbangkan dengan serius untuk memberi ruang bagi anak-anak dalam menikmati roti dan anggur yang melambangkan tubuh dan darah Kristus, yang di dalam nama-Nya mereka dibaptis. Kedua sakramen ini didasari oleh perjanjian anugerah Allah, bukan iman atau pemahaman manusia.
Kedua, gereja kita perlu juga secara serius mempertimbangkan keterlibatan anak-anak dalam ibadah umum. Ibadah umum kita telah salah nama karena ternyata yang menghadirinya “tidak umum,” namun hanya orang dewasa. Anak-anak dikhususkan di ibadah anak-anak. Mungkin, jika memang kita belum mampu mengintegrasikan anak-anak ke dalam ibadah umum, maka nama ibadah umumlah yang perlu diganti namanya menjadi ibadah dewasa.
Kedua kasus di atas merupakan contoh bagimana kita perlu menggumuli tugas gereja dan orangtua untuk membawa anak-anak kepada Tuhan. Dan dalam pergumulan itu, ingatlah selalu nasihat Yesus, sahabat anak-anak itu, “Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku …” (Mat. 19:14).
JA
1 Comment
timoty.shores
Mei 26, 2010 - 11:39 amTerimakasih kepada pak Joas Adiprasetya sudah menyadari kekliruan gereja,bahwa perjamuan kudus bisa diiikuti atau diberikan kepada anak,namun masih banyak hal yang tidak Alkitabiah yang dilakukan oleh gereja seperti contohnya:
Baptis percik seharusnya Selam sesuai dengan arti kata “Baptis”itu sendiri
Baptis Anak seharusnya penyerahan Anak (1.Sam2:28)
Hari-hari Raya Kristen yang sekarang tidak berdasarkan Alkitab,mis;natal 25 Desember,Paskah telur(easter);kenaikkan Tuhan Yesus..dsb..seharusnya seperti pada Imamat 23(hari-hari Raya Tuhan)
pengagungan hari Minggu seharusnya Sabat,penggunaan nama Allah seharusnya Elohim
..dsb
Memang untuk perubahan seperti itu membutuhkan waktu yang lama dan resistensi yang kuat namun dengan tulisan pak Joas ini merupakan awal yang baik bagi perubahan dalam pengajaran gereja,biarlah Roh Kudus sendiri akan membukakan lagi hal-hal yang masih terselubung bagi gereja,sekali lagi terimakasih pak Joas,..Tuhan Yesus memberkati!!