Kata “hamba” atau “doullos” (dalam arti pelayan atau budak) di dalam Alkitab disebut sebanyak 182 kali. Hal itu menandakan bahwa sebagai orang-orang percaya atau orang-orang yang sudah diselamatkan, melayani itu sangat penting dan menjadi kewajiban kita semua, apapun profesi kita (1 Kor. 9:16).
1. Hamba/Pelayan yang Profesional
Di dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, pengertian pelayan atau melayani itu sangat kuat artinya. Khususnya dalam Perjanjian Baru yang sangat kental dengan budaya Helenis atau Yunani, pengertian pelayan mengandung unsur penghinaan atau dapat juga berarti “merendahkan diri”!
Karena itu, ungkapan pelayan dalam bahasa Yunani juga bisa berarti ketergantungan atau kepercayaan (merasa tidak dapat hidup tanpa tuan yang dilayani), atau dengan kata lain berarti bahwa tanpa Tuhan, kita tak mampu berbuat apa-apa. Tetapi sebaliknya, bersama dengan Tuhan, kita pasti bisa melakukan apa pun juga, karena Tuhan yang kita layani itu adalah Tuhan yang punya kuasa, dan mendelegasikan pekerjaan-Nya untuk kita laksanakan! (mendelegasikan = memberi mandat/kuasa/otoritas)
Saudara, ketika Kristus memanggil seseorang untuk menjadi pelayan-Nya, maka Ia pasti memperlengkapinya dengan karunia dan kuasa yang berasal dari-Nya (bandingkan Kis. 1:8 dengan Mat. 28:18-20).
Mengingat arti pelayanan yang sesungguhnya adalah membawa kabar baik (Injil) secara terus-menerus melalui hidup seorang pelayan, maka kehidupan seorang pelayan menjadi sangat penting. Hal ini bukan hanya menyangkut perkataan atau aktivitasnya saja, tetapi kehidupan (persekutuan) pribadinya dengan Tuhan, karena melalui persekutuan tersebut ia merasakan pengalaman pribadi dengan Tuhan sehingga perjalanan imannya bukan teori tanpa isi.
Saudara, saya mau mengatakan bahwa iman bukanlah sekadar teori, tetapi pengalaman. Teori dapat dibantah oleh teori lainnya, tetapi pengalaman tak dapat dibantah oleh siapa pun dan sampai kapan pun.
Kalau begitu, apakah teori itu tidak penting? Tentu saja teori sangat penting, karena bagaimanapun juga kita memerlukan metode yang harus kita pelajari, seperti adat-istiadat, tradisi, bahkan latar-belakang budaya seseorang. Tanpa teori, kita akan kurang berhikmat, menabrak sana–menabrak sini. Namun kalau kita tidak berhati-hati, teori justru bisa menghambat pelayanan, karena dengan hanya berpusat pada teori kita akan melahirkan peraturan-peraturan yang kaku, yang justru membatasi jemaat untuk bersaksi dan melayani! Kita juga harus menyadari bahwa bersaksi dan melayani adalah tugas kita bersama, bukan hanya tugas pendeta atau anggota majelis!
Karena itu untuk melayani Tuhan, kita tak harus mempunyai gelar STh, MTh, dan sebagainya, tetapi kita perlu menjadi hamba-Nya, dalam arti menjadi orang-orang yang taat menjalankan perintah-Nya melalui profesi atau keahlian kita masing-masing. Yang penting dan harus menjadi dasar pelayanan kita ialah bahwa apa pun juga yang kita kerjakan, harus berangkat dari paradigma untuk memuliakan Tuhan (Kol. 3:23).
2. Profesi Sebagai Pelayanan
Apa buktinya kalau manusia menghormati Allah? Buktinya ialah bahwa manusia bekerja! Bekerja yang dimaksud di sini tentulah bekerja sebagai orang percaya, yaitu bekerja dalam arti profesi dan dalam arti melayani.
Kedua hal tersebut harus sinergi dan tak dapat dipisahkan! Pelayanan dan profesi harus menjadi bagian dari setiap orang yang mengaku menjadi pengikut Kristus! Meminjam istilah alm. Pdt. Eka Dharmaputra, “Kalau Saudara seorang profesional, kerjakanlah profesi Saudara sebagai pelayanan, dan jika Saudara sebagai pelayan, kerjakanlah pelayanan Saudara secara profesional.” Artinya bahwa sebagai orang percaya, di dalam kita berprofesi, kita harus menyaksikan siapa kita dan siapa Tuhan! Dan sebagai orang percaya yang sudah diselamatkan, kita juga harus melakukan pelayanan dengan sungguh-sungguh, bukan hanya sebagai kegiatan kerohanian semata!
Di dalam Alkitab dicatat bahwa hampir tak ada nabi atau utusan Tuhan yang dipakai Tuhan tanpa bekerja. Abraham, Yakub, Musa, Daud, Nehemia, Amois, dsb. juga bekerja atau berprofesi sekuler. Jadi Saudara, tak ada orang Kristen dalam sejarah yang hanya duduk-duduk di gereja, bahkan menjadi aktivis gereja, atau melayani di gereja, yang menjadi makmur tanpa bekerja.
Paulus memberi teladan yang sangat konkret tentang masalah bekerja ini. Paulus punya hak untuk dicukupi hidupnya oleh jemaat yang dilayaninya karena ia hamba Tuhan yang penuh waktu. Tetapi Paulus tak mau tergantung dari pemberian jemaat, bahkan ia menolak apa yang diberikan oleh jemaat untuk membiayai hidupnya dan tetap bekerja (2 Tes. 3:7-10). Mengapa Paulus melakukan semua ini? Karena selain Paulus mampu, ia juga memberi teladan dan teguran bagi orang-orang yang malas (ayat 10).
Salomo menulis di dalam Pengkhotbah 9:10, “Segala sesuatu yang dijumpai tanganmu untuk dikerjakan, kerjakanlah itu dengan sekuat tenaga.” Ada pesan di sini, bahwa bekerja itu penting dan merupakan keharusan bagi semua orang.
Dalam Kejadian 1:26-29, kita diingatkan bahwa ketika Allah merancang penciptaan manusia, tujuan-Nya yang terutama ialah agar manusia bekerja (ayat 26). Rencana Allah bagi manusia tersebut adalah:
- Manusia diciptakan seturut dengan gambar-Nya,
- Supaya ia berkuasa atas semua ciptaan-Nya, yaitu dengan bekerja dan berkuasa atas ikan-ikan di laut, burung-burung di udara, dan atas seluruh bumi, ternak dan segala binatang melata yang merayap di bumi.
Dalam ayat 28, rencana itu dilaksanakan melalui perintah-Nya setelah manusia diciptakan, “Penuhi bumi dan taklukkan, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Jadi saya tegaskan di sini bahwa alasan pertama Allah untuk menciptakan manusia ialah agar manusia bekerja, apapun profesinya!
Sebagai orang-orang percaya kita harus tahu bahwa pekerjaan atau profesi itu merupakan talenta dari Allah yang harus dikembangkan, bukan untuk disimpan atau dibuang, karena pada saat talenta itu dipergunakan, talenta tersebut akan bertambah, tetapi kalau didiamkan, maka talenta itu pun akan hilang/diambil (Mat. 25:14-30).
Jadi Saudara-Saudara, bekerja keras itu adalah ibadah, karena itu orang yang beriman harus bekerja sebagai bentuk ibadahnya kepada Allah. Ingatlah bahwa Tuhan Yesus pun bekerja sampai hari ini (Yoh. 5:17).
Saya kurang setuju kalau ada orang percaya yang meninggalkan profesinya karena alasan melayani Tuhan. Saya tegaskan di sini bahwa seseorang bisa menjadi dokter karena anugerah Tuhan, supaya dengan profesinya sebagai dokter, ia bisa bekerja sebagai bentuk pelayanannya. Karena itu, seorang dokter yang tak mau menjalankan profesinya dan hanya mengolesi pasiennya dengan minyak bila datang berobat kepadanya, atau sebaliknya, kalau ada orang yang sakit tetapi tidak mau berobat ke dokter dan lebih memilih untuk pergi ke pendeta, itu konyol! Jadi janganlah kita mengatakan, “Sekarang saya sudah tinggalkan profesi atau keahlian saya dan secara penuh waktu melayani Tuhan,” atau “Saya hanya percaya sepenuhnya pada doa saja bahwa saya akan sembuh.”
Saudara, siapapun kita, apapun profesi kita, kita harus sepenuhnya melayani Tuhan dengan profesi kita dan sepenuhnya percaya pada kuasa Tuhan. Kalau saya seorang tukang kayu, saya akan mengerjakan profesi saya 100% sebagai tukang kayu, tetapi juga melayani Tuhan 100% sebagai hamba Tuhan!
Jadi kalau ada pertanyaan, “Saya sedang produktif, karier saya sedang menanjak, kapan saya harus melayani Tuhan?” maka jawabannya ialah, “Sekarang!” Justru pada saat kita berada di puncak karier, kita harus melayani, jangan tunggu sampai pensiun!
Apa bisa? Tentu! Karena Tuhan akan memperlengkapi Saudara (Pet. 5:10).
Yosi Parjiyanto
1 Comment
And. Dwi Chrisdiantoro
Oktober 1, 2012 - 7:06 pmTerima kasih banyak… informasinya uda jadi berkat…
Skrg Andre udah punya pandangan baru… ini wawasan baru yang harus Andre ketahui…
God Bless…
JLU 🙂