“Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia ….” (Kis. 17:24)
Sesuatu dikatakan hidup bila mampu bergerak, tetap ada dan berfungsi sebagaimana mestinya. Sebaliknya, sesuatu dikatakan tidak hidup bila tidak bergerak, mati dan tidak dapat melakukan apa-apa. Inilah yang menjadi keresahan Paulus ketika melihat begitu banyaknya patung-patung berhala di kota Atena. Patung-patung berhala itu menunjukkan bahwa tuhan yang disembah di kota itu, bukanlah Allah yang hidup.
Allah yang kita imani adalah Allah yang hidup. Ia tidak dapat kita batasi dalam wujud materi apa pun. Namun, kita dapat mengenali-Nya melalui apa pun. Dengan kata lain, kita dapat mengenali Allah Yang Mahakuasa melalui hasil karya-Nya, seperti melalui keindahan alam semesta, tetapi alam semesta itu bukanlah Allah. Kita juga dapat merasakan cinta kasih Allah yang tanpa pamrih melalui kasih sayang kedua orangtua kita, tetapi kedua orangtua kita bukanlah Allah.
Kesalahan kita adalah ketika kita membatasi Allah hanya pada keadaan-keadaan tertentu. Sebagai contoh, kita menganggap Allah memberkati kita ketika kita sukses, sehat dan bahagia. Sementara saat kita gagal, sakit dan berduka, hal itu kita anggap sebagai tanda bahwa Allah tidak memberkati hidup kita. Pemahaman itu tidaklah benar. Mengapa? Beriman kepada Allah yang hidup, berarti kita meyakini bahwa Allah pun memberkati kita ketika kita gagal, sakit dan berduka. Ia merangkul kita ketika kita gagal, Ia menopang kita ketika kita sakit dan Ia mengusap air mata kita ketika kita berduka. [Pdt. Tunggul Barkat]
REFLEKSI:
Beriman kepada Allah yang hidup, berarti bersedia menghayati karya Allah yang terpancar melalui berbagai peristiwa kehidupan.
Ayat Pendukung: Mzm. 23; Yer. 10:17-25; Kis. 17:16-31
Bahan: Wasiat, renungan keluarga.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.