Membicarakan kelemahan bukanlah hal mudah bagi kita karena kita terbiasa menyim- pan atau menutupi kelemahan dengan berbagai cara dan berbagai alasan. Di lain sisi kelebihan, kekuatan dicari orang bahkan dijadikan sosok hero yang dapat menyelesaikan segala persoalan dengan kekuatannya tanpa takut. Sosok hero menjadi pujaan, kita pun bermimpi memiliki kekuatan ya sama. “Seandainya saja, …”
Hidup orang beriman pun sering kali dipahami sebagai hidup yang sempurna tanpa kelemahan dan kekurangan misalnya seorang rohaniawan. Kekurangan atau kelemahan mereka sering kali direspon dengan keterkejutan dan dengan sedikit nyinyir berkata, “…ahhh pendeta juga manusia ternyata.” Apakah pernyataan ini menyiratkan harapan kita bahwa orang dalam posisi tertentu seperti Pendeta misalnya, hidup tanpa kelemahan dan kekurangan? Tentu tidak bukan!
Hati-hati dengan pemahaman bahwa orang harus kuat, harus bisa, harus sempurna. Orang yang demikian sama sekali tidak butuh Tuhan! Juga kalau kita memahami orang yang beriman itu harus kuat, jangan lemah, jangan sedih dan lainnya. Orang-orang yang demikian sama sekali tidak butuh Tuhan dalam hidupnya sebab segala sesuatu bergantung pada dirinya dan bukan Tuhan.
Paulus menuliskan di dalam kelemahan, aku bermegah sebab di dalam kelemahan itu- lah munculnya kesadaran akan kerapuhan, ketidakberdayaan dan kebutuhan kita yang mutlak akan Allah. Kemudian ia menuliskan “…sebab dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Kita tidak memuja kelemahan seperti kita tidak memuja kekuatan. Namun kita merangkul kemanusiaan kita yang terbatas dalam cinta Allah yang tak terbatas. Cinta Allah yang hadir dalam lemah kita dan disanalah kita menyadari betapa kita membutuhkan-Nya dalam hidup.
dva
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.