Biarkanlah, biarkanlah itu datang, ya Tuhan. Kami berdoa pada-Mu, biarkanlah hujan berkat turun. Kami menanti, kami menanti. Oh hidupkanlah kembali hati semua orang. (Refrein: “God is here and that to bless us,” JL. Black/KJ. 18)
Kehadiran yang Berdampak Berkat bagi Dunia
Allah adalah pribadi yang tak terpahami, tak terjangkau dan tak terhampiri. Bangsa-bangsa mencari-Nya dengan prasangka, lalu berlabuh pada benda-benda dan peristiwa alam. Matahari, bulan, musim-musim, dan sebagainya yang, sekalipun disadari sebagai simbolisasi Sang Ilahi, tetapi jelas kalah baiknya dari yang dilakukan Sang Ilahi sendiri, nun, di Israel kuno. Keberadaan-Nya yang transenden itu diwujudkan dalam penyataan-penyataan diri-Nya secara masif sebagai Sang Yahwe dalam sejarah, yang membuat Israel menjadi satu-satunya bangsa dengan sistem monoteis pertama di bumi.
Bagi kekristenan, Allah yang hadir di Israel itu, akhirnya memastikan diri-Nya untuk lebih dipahami, dijangkau dan dihampiri sebagai Guru, Pemimpin bahkan Sahabat, di dalam Kristus, Sang Imanuel. Keberadaan yang imanen ini bahkan diteruskan oleh Roh Kudus sebagai Penolong dan Penghibur, yang membangun gereja di mana-mana dan menemani para pengikut Yesus sampai akhir zaman. Kehadiran-Nya yang masif di dalam Roh membuat orang-orang percaya (gereja) mampu melewati berbagai pergumulan mereka. Kehadiran Allah menolong gereja agar tidak sekadar bertahan, tetapi juga hadir memberi sumbangsih positif kepada dunia. Walaupun gereja berjalan di tengah ketidakpastian, tetapi kehadiran Allah memberi kepastian berkat bahwa Dia menemani dalam suka dan duka.
Menyadari Kesenjangan
Bagaimanapun, respons kita terhadap kehadiran Allah adalah persoalan yang terus dikritik para nabi Israel dan berkisar pada tiga tema: keadilan, kebenaran dan kesetiaan. Tiga tema ini cukup sulit dijelaskan dan akan makan tempat, tetapi saling terkait secara ketat, jadi disederhanakan saja bahwa ketiganya mempersoalkan relasi kita dengan Allah dan dengan sesama, sebagaimana Hukum Kasih (Mat. 22:37-40).
Taruhlah bahwa hubungan kita dengan Allah diwakili oleh kesetiaan menghadiri pertemuan-pertemuan ibadah. Untuk topik ini saja, kita dapat melihat berbagai gejala kesenjangan. Banyak orang terdaftar sebagai anggota jemaat suatu gereja, tetapi kurang dari lima puluh persen yang setia mengunjungi kebaktian. Bahkan mereka yang rajin pun menunjukkan gejala kurang gairah mendekat pada Allah. Perhatikanlah cara kita memenuhi bangku-bangku gereja: bukannya dari depan, melainkan dari belakang atau tengah. Orang-orang datang tanpa kerinduan yang menggebu. Apapun alasannya, cinta dan kerinduan harusnya tampak dalam kegairahan untuk mendekati yang dicintai.
Allah Maha Hadir (omnipresent). Kita sepakat dalam pikiran, bahwa altar, mimbar dan firman adalah wujud kehadiran Tuhan. Mengapa bangku-bangku depan menjadi semacam kursi hukuman bagi yang datang terlambat? Sebagian lagi memilih posisi yang menggampangkan gangguan untuk fokus pada Tuhan. Dekat pintu, jendela, pojok atau bangunan tambahan di samping gereja. Apapun alasannya, kegairahan, kerinduan dan cinta mestinya tampak dalam upaya untuk memburu tempat terdekat. Sadar atau tidak, sengaja atau tidak, ada jurang yang kita ciptakan, yang membatasi kedekatan kita dengan Allah yang hadir bagi kita.
Kehadiran Allah menolong gereja agar tidak sekadar bertahan, tetapi juga hadir memberi sumbangsih positif kepada dunia.
Kesenjangan dalam Cinta dan Tindakan
Ternyata kehadiran-Nya bagi kita adalah kehadiran bagi dunia, sebagaimana perjanjian dengan Abraham, “olehmu segala kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (Kej. 12:3), bahkan oleh Roh Kudus dibuktikan dalam sejarah gereja serta sumbangsih kekristenan dan Yahudi bagi peradaban. Walaupun begitu, kritik para nabi tetap relevan bagi gereja masa kini, karena kemanusiaan kita sama egoisnya dengan kemanusiaan Israel, yang harus dipaksa dan ditolong untuk menjadi pelaku keadilan dan kebenaran dalam arti tanggung jawab sosial, yang mencerminkan kehadiran Allah. Yesus jelas dan tegas soal ini: Dia menyamakan diri-Nya dengan yang menderita dan menerakakan yang mengabaikan (Mat. 25:31-46).
Hampir tidak mungkin mengandalkan aktivitas diakonat gereja yang, karena bersumber dari persembahan-persembahan anggota jemaat, akan mengklaim kedekatan jemaat dengan Allah. Sifatnya otomatis, mekanis dan dalam cita rasa untuk Tuhan, tetapi miskin cita rasa kasih bagi yang menderita. Ibadah yang khusyuk atau penuh emosi yang meluap-luap itu memang baik, tetapi dalam ranah melayani kepuasan diri kita, sementara kepuasan Allah berkaitan erat dengan kehadiran-Nya bagi dunia. Allah hadir, berarti keadilan dan kebenaran akan bergulung-gulung seperti sungai yang mengalir di tengah kehidupan.
Diperlukan aksi-aksi dengan keterlibatan individu secara langsung untuk mengalami perjumpaan dengan Allah dalam penderitaan sesama. Kata Bunda Teresa, “melihat Kristus yang menderita dalam penderitaan mereka.”
Mungkin lebih baik mengutip saja Fransican Media Edisi 10 Mei 2020: Bunda Teresa, Cinta dalam Tindakan: “Panggilanku adalah menjadi milik Yesus, bersatu dengan Yesus. Karya adalah buah cintaku dan cintaku diungkapkan dalam karyaku… Doa dalam tindakan adalah cinta dalam tindakan.” Dengan kata lain, para Misionaris Cinta Kasih itu bercita-cita untuk menjadi “kontemplatif di jantung dunia,” yang didisiplin melalui doa untuk mengenali Kristus dalam diri setiap orang yang mereka temui.”
Kita mungkin tidak sehebat Bunda Teresa, tetapi kita semua punya kesempatan untuk berjumpa Kristus secara dekat, dalam perjumpaan cinta kasih dengan sesama yang sakit, yang miskin, yang patah hati dan yang menderita di sekitar kita. Dengan itu kita mengubah kedekatan dengan Allah untuk memuaskan kebutuhan spiritual kita secara egois—termasuk mengubah doa dan pujian yang egois, di mana kita (hanya bisa) memperlakukan Allah sebagai pendengar yang pasif dari liturgi kehidupan kita sendiri—dan berkontemplasi di jantung dunia yang menderita. Karena Allah berfirman dalam karya kita, kita menjadi pendengar yang merenungkan, sekaligus pelaku yang seketika memeluk Kristus dan memeluk sesama.
“Oh, hidupkanlah kembali hati semua orang.”
Pdt. Luisye Sia
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.