Hi! Nama saya Lely. Seorang perempuan biasa dengan cita-cita yang biasa juga. Awal tahun 2011, saya kena kanker rahim stadium 1a. Setelah menjalani sejumlah rangkaian pengobatan, berupa operasi dan radiasi, saya dinyatakan cancer free.
Cancer free adalah kondisi di mana dalam tubuh seorang pengidap kanker tidak lagi ditemukan sel kanker. Untuk mengetahuinya, dilakukan serangkaian pemeriksaan, seperti CT Scan. Karena kanker saya termasuk kategori stadium 1a, survival rate saya adalah 95%. Artinya kemungkinan saya meninggal karena kanker hanya 5% dan jika dalam 5 tahun ke depan tidak ditemukan lagi sel kanker dalam tubuh saya, berarti saya dinyatakan sembuh total.
Sound good, right?
Well, ternyata statistik tinggal statistik. Awal tahun 2012, tepatnya Februari 2012, saat saya melakukan pemeriksaan rutin per tiga bulanan, dokter kembali menemukan sel-sel kanker yang pindah ke rongga perut, atau istilah medisnya metastasis. Ada tiga kanker berbagai ukuran di rongga perut saya: ada yang menempel di usus, ada yang menempel di saluran ureter dan ada yang menempel di lapisan lemak perut.
Situasi ini otomatis mengubah tingkat stadium saya dari 1a menjadi stadium 4. Artinya apa? Secara statistik, survival rate saya langsung turun menjadi 20%. Jadi, dalam lima tahun ke depan kemungkinan saya meninggal karena kanker adalah 80% atau kemungkinan saya masih hidup dalam lima tahun ke depan tinggal 20%.
Lalu dengan statistik seperti itu, the big question is, what now?
Faktanya hingga jam dan menit ini, belum ditemukan obat yang cespleng untuk mematikan kanker, baik dari western medication maupun traditional atau alternatif. Saya sendiri dibesarkan dan bergantung pada western medication sehingga secara otomatis jalur pemeriksaan dan berbagai opsi penanganan yang diambil adalah western medication. Hasilnya adalah, saya kembali harus menjalani operasi untuk mengeluarkan tiga kanker tersebut. Operasi ini mengandung sejumlah risiko/kemungkinan, seperti jika usus saya ikut dipotong berarti saya harus menggunakan kantung makanan alias kolostomi selama paling tidak satu tahun. Setelah operasi dilakukan, maka selanjutnya akan dilakukan kemoterapi.
Quite clear cut.
Tanggal operasi ditetapkan 7 Maret 2012 di National University Hospital Singapore. Semakin dekat dengan hari operasi, saya semakin gelisah. Pertanyaan yang timbul saat pertama kali saya mendapat diagnosa kanker, awal 2011 lalu, kembali merajalela di kepala saya. “Kanker ini kan, belum ada obatnya, jadi ngapain juga capek-capek menjalani proses pengobatan yang bakalan menyakitkan, mahal dan yang pasti juga tidak menyembuhkan.”
Sampai suatu ketika saya mendapat pencerahan dari sahabat saya. Katanya: “Coba berpikir terbalik. When you are around, banyak sekali orang senang dan bahagia.” Kalimat itu membuat saya berpikir. Saya selalu bilang, nggak penting berapa lamanya. Saya harus terus berkarya dan bermanfaat untuk orang lain. Hal itu berarti, saya harus terus bersemangat untuk mencari kesembuhan. Kalaupun nanti rangkaian pengobatan yang menyakitkan, mahal dan belum jelas hasilnya ini hanya bisa memperpanjang umur saya satu menit saja, itu berarti saya akan punya ekstra satu menit lagi untuk membuat orang senang dan bahagia. Dan jika dalam satu menit itu ada satu orang saja yang berhasil saya buat bahagia ataupun senang… then … it’s all worth it.
So for all that… I am going to keep fighting for my one minute.
Perjuangan melawan penyakit ini selama 3 bulan, ternyata melelahkan juga. Saya sudah menjalani sebuah operasi besar dan menyelesaikan tiga kali kemo yang membuat rambut saya rontok, badan saya yang sudah gendut ini bertambah gendut (saya diberikan steroid agar tidak mual, dan menyebabkan nafsu makan menjadi-jadi) dan saya jadi sangat mudah lelah. Belum lagi ditambah kesadaran bahwa, bahkan setelah menyelesaikan seluruh proses pengobatan yang melelahkan itu, it’s only a matter of time kankernya akan kembali.
Sungguh bukan perjalanan yang mudah. Salah satu pertanyaan yang sering ditanyakan kepada saya, dan yang juga menjadi salah satu perjuangan saya adalah: “Bagaimana menjaga agar suasana hati tetap positif dan semangat?” Pertanyaan ini, menurut saya, adalah esensi dari seluruh perjalanan seorang penderita kanker.
Dari awal pertama kali mendapat diagnosa ini, saya memutuskan untuk tidak mau dikalahkan oleh kanker. No matter what. Dan begini cara saya untuk tetap semangat. Menurut saya, perjuangan melawan kanker ini adalah seperti sebuah pertandingan olahraga tingkat tinggi. Jika itu sepakbola, maka lawan kita adalah klub setingkat Manchester United. Jika itu basket, maka lawan kita adalah setingkat klub NBA. Sementara kita sendiri, syukur-syukur masuk klub RT. Malah olahraga tersebut mungkin kita pun enggak ngerti. Jadi, jika kita disuruh bertanding melawan mereka, reaksi pertama sudah pasti: “Ah, sudahlah, nggak usah bertanding. Sudah pasti kalah. Ngapain.”
Situasi ini membuat saya mencoba melihat situasi ini dari sudut pandang yang berbeda.
Pertama, sama seperti kanker, tidak semua orang mendapat kesempatan bertanding melawan klub olahraga kelas dunia. Jadi adalah sebuah kehormatan jika kita mendapat kesempatan untuk bertanding melawan kanker. Kesempatan tersebut harus dimanfaatkan untuk menjadikan kita individu yang lebih baik.
Lalu, menghadapi lawan yang jauh lebih jago dari kita, menurut saya, adalah sebuah halusinasi jika kita berharap untuk menang, seperti definisi ‘menang’ yang ada.
Jadi kita perlu mendefinisikan kembali arti ‘menang’ itu sendiri. Mampu untuk tetap bermain hingga pertandingan selesai saja, menurut saya, adalah sebuah kemenangan. Sama dengan pertandingan melawan kanker, dengan tetap berkarya dan tidak membiarkan kanker menjadikan kita lumpuh dan tidak berdaya, menurut saya, kita sudah menang telak dalam pertandingan ini.
Nah dengan fokus kepada dua hal ini dan tentu saja dengan support dan dukungan yang tidak pernah putus dari teman, sahabat dan keluarga, saya berusaha menjalani hari-hari saya bersama kanker dengan penuh semangat dan sukacita.
Sekarang saya telah menyelesaikan seluruh rangkaian pengobatan dan hasil terakhirnya adalah bersih. Tidak ditemukan sel kanker di tubuh saya. Walaupun demikian, saya harus tetap melakukan pemeriksaan rutin per 3 bulanan selama dua tahun ke depan dan jika hasilnya terus baik, maka jarak pemeriksaan menjadi 6 bulan dan setelah 5 tahun, setahun sekali.
Situasi ini mengingatkan saya untuk memanfaatkan waktu lebih arif. Sebab si kanker dapat kembali any time. Jadi saat ini saya berusaha mengisi waktu dengan kegiatan yang bermanfaat untuk orang lain. Salah satunya adalah berbagi cerita soal kanker. Mimpi saya, kanker dibicarakan secara terbuka di Indonesia. Kanker hanyalah sebuah penyakit. Kanker tidak mendefinisikan seseorang. Kanker juga bukan kutukan. Cancer is just a disease.
3 Comments
yani
November 25, 2012 - 10:38 pmhaii mbak lely…papa saya juga terkena kanker lambung tahun 2009 dan saat ini kambuh lagi…parahnya lagi kami kurang mendapatkan informasi yang jelas tentang kanker yang muncul saat ini,,,apakah di perut atau esofagus, dll
kami juga binggung harus dibawa kemana lagi karna kurang nya informasi yang kita ketahui tentang rumah sakit ataupun dokter yang bagus dalam penanganan kanker
mohon kalo mbak bersedia kita mau tanya (sharing) dimana mbak menjalankan pengobatan dan biaya yang harus dipersiapkan…jika mbak berkenan tolong email ke oshelby16@yahoo.com
sebelumnya terima kasih banyak atas informasinya
katerin
Januari 11, 2013 - 6:11 pmHi Ibu Lely 🙂
Saya Katerin, yang juga termasuk salah satu alumni Chezlely Culinary School 2011 lalu. Mungkin Ibu tidak terlalu familiar dengan wajah saya, karena saya baru mengambil basic course saja di Chezlely. Tapi saya personally sangat mengagumi dan mendukung Ibu dari segi kuliner, maupun dari segi cerita kehidupan Ibu Lely pribadi. Waktu saya pertama tau bahwa Ibu Lely termasuk salah satu cancer fighter, hari itu saya tau ketika saya sedang berada di sekolah, saya cukup shock dan amazed.. Karena setiap saya lihat Ibu dan bertemu, Ibu Lely selalu semangat, tertawa, seperti orang yang sehat, tidak ada masalah sama sekali. Saya bisa bilang begitu, karena saya tau persis bagaimana cancer bisa membuat orang patah semangat, sedih, dan merubah segalanya, karena almarhumah Ibu saya juga dulu adalah seorang cancer fighter. Saya sangat kagum dengan semangat Ibu yang benar-benar besar dan tulus, itu semua adalah modal utama yang harus dimiliki semua manusia di dunia ini dengan sakit apapun, bahkan dengan sakit atau masih sehat sekalipun. Saya yakin banyak sekali orang yang terinspirasi dari Ibu Lely, dan merasa terbantu sekali.
Terimakasih Ibu Lely, karena sudah banyak share tentang cerita dan pengalaman Ibu seputar cancer ini dengan tulus dan gamblang. Itu akan sangat membantu semua orang dengan atau tanpa pengalaman yang sama, temasuk juga saya, untuk tetap bersyukur, bersemangat, dan berbagi dalam keadaan apapun. Dan benar kata Ibu Lely di tulisan Ibu di atas, cancer is just disease, cancer tidak mendefinisikan seseorang.
Tetap semangat berkarya Bu Lely ! Tuhan beserta Ibu selalu dan Dia pasti akan menjaga dan berikan yang terbaik untuk Ibu selalu 😉 Semua yang Ibu lakukan, hal-hal positif yang Ibu sudah tebarkan, pasti akan membawa kebaikan dan keharmonisan untuk kehidupan Ibu, keluarga, orang di sekitar ibu semuanya, dan pekerjaan Ibu tentunya 🙂
Catherine
Januari 11, 2013 - 6:40 pmHalo, Kak Lely 🙂 saya kenal dengan teman saya, saya panggil beliau Mb Tina. Beliau hidup dengan kanker sudah 20 tahun lebih. Beliau mengikuti treatment secara tradisional dan spiritual. Dietnya berupa sayur-sayuran (ala chinese food dan semacamnya), sedikit daging dan minum banyak jamu herbal. Beliau rajin meditasi juga.
Pilihan pengobatan apapun yang Kak Lely pilih, saya turut mendoakan dan berharap semoga Kakak tidak disamperin lagi sama cancer. And thank you for writing those highly inspiring books 🙂 tetap semangat! God bless you.