Siang itu saya sedang berdiri di pinggir jalan dekat Jakarta International School, menunggu taksi yang akan membawa saya ke Pondok Indah Mall untuk janji temu dengan seorang teman. Entah ada apa hari itu, selama hampir lima belas menit menunggu, tak satu pun taksi kosong yang lewat. Agar tidak bosan, saya memanfaatkan waktu dengan membaca buku. Tak lama kemudian saya melihat di samping saya berdiri seorang ibu tua sekitar 60-an tahun. Ia tampak gelisah, kadang mondar-mandir dan sebentar-sebentar matanya melirik ke jam tangannya. Saya penasaran, sehingga menyapa dan bercakap-cakap dengannya.
Ibu tersebut juga sedang menunggu taksi, sama seperti saya. Saya bertanya kepadanya apakah ia punya urusan yang sangat penting sehingga tampak terburu-buru. “Tidak,” jawabnya. Ia hendak ke rumah jompo untuk makan siang bersama suaminya, seperti yang dilakukannya setiap hari. Suaminya sudah dirawat di sana sejak beberapa waktu yang lalu karena mengidap penyakit Alzheimer. Lalu saya bertanya apakah suaminya akan marah kalau ia datang terlambat. Ia menggelengkan kepala dan bercerita bahwa suaminya sudah tidak lagi dapat mengenalinya sejak lima tahun terakhir. Saya sangat terkejut dan berkata, “Dan Ibu masih mengunjunginya setiap hari walaupun suami Ibu sudah tidak kenal lagi dengan Ibu?” Ia tersenyum. Sambil menepuk bahu saya, ia berkata, “Nak, suamiku memang tidak mengenaliku lagi, tapi aku masih mengenalinya, kan?”
Kemudian lewatlah sebuah taksi, saya menyetopnya dan mempersilakan ibu itu untuk naik, sementara saya menunggu taksi berikutnya.
Saya masih terpana dengan ucapan ibu itu meskipun ia telah pergi dari hadapan saya. “Nak, suamiku memang tidak mengenaliku lagi, tapi aku masih mengenalinya, kan?” Kalimat tersebut sangat berkesan bagi saya hingga hari ini. Ternyata masih ada cinta seperti itu di dunia ini, cinta yang tulus diiringi dengan kesetiaan hati. Sering kali saya melihat pasangan kekasih atau pasangan suami-istri yang berpisah hanya karena pasangannya sudah tidak seperti dulu. Seiring dengan berlalunya waktu, luntur pula cinta di antara mereka.
Selain cinta yang tulus, kesetiaan merupakan hal yang sangat penting untuk membangun sebuah hubungan yang harmonis. Bahkan dengan tegas dikatakan bahwa kesetiaan merupakan salah satu karakter penting yang harus dimiliki setiap murid Kristus. Rasul Paulus juga mengajarkan bahwa kesetiaan merupakan salah satu bagian dari buah Roh (Galatia 55:22). Kesetiaan hendaklah ditempatkan pada posisi yang tinggi dalam prinsip hidup kita, baik kesetiaan terhadap panggilan hidup kita, terhadap pasangan hidup, dan terlebih lagi kesetiaan kepada Tuhan.
Dari seorang ibu tua, saya belajar tentang cinta dan kesetiaan terhadap pasangan hidup. Ya, pelajaran hidup tentang bagaimana seharusnya mencinta! Cinta kasih seperti itulah yang saya inginkan dalam hidup ini. Cinta yang sesungguhnya tidak bersifat fisik atau romantis. “Cinta sejati adalah menerima dengan tulus apa yang terjadi saat ini, apa yang sudah terjadi, apa yang akan terjadi, dan apa yang tidak akan pernah terjadi.”
Orang-orang yang paling berbahagia tidaklah harus memiliki segala sesuatu yang terbaik, tetapi mereka berbuat yang terbaik dengan apa yang mereka miliki untuk orang yang dicintai.
Beruntung sekali ya, suami ibu itu.…•
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.