Kata “ritual” tampaknya sangat kuno bagi telinga kita di zaman modern ini. Apalagi dalam dunia rohani, biasanya kata ini dikaitkan dengan tindakan atau teknik ibadah yang diteruskan turun-temurun. Adakalanya ritual terasa sangat ketinggalan zaman, karena simbol atau tindakan yang dilakukan dalam sebuah ritual tidak familiar di zaman ini. Apalagi jika ritual juga dilakukan tanpa makna dan hanya sekadar sebagai kewajiban. Namun demikian, ada banyak gereja maupun keluarga yang tetap menggunakan hal-hal ritual sebagai bagian hidup mereka.
Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan ritual? Dalam buku The Sociology of Child Development, ritual adalah sebuah sistem dari prosedur, sebuah bentuk atau pola dari interaksi sosial, yang memiliki 3 karakteristik. Pertama, pastinya menggunakan pola dan prosedur. Kedua, ada elemen yang memang dipandang kaku. Ketiga, ada kaitannya dengan sejarah masa lalu. Dengan kata lain, ada kebiasaan yang dilakukan berdasarkan pengalaman masa lalu dan diberi makna yang mendalam.
Makna Ritual Keluarga
Ritual dalam keluarga memang terlihat kaku dan kuno. Namun demikian ritual berguna agar anak-anak atau generasi selanjutnya dalam keluarga itu mengingat pola keluarga yang dijalankan dari generasi ke generasi sehingga mereka belajar melaluinya. Menurut William T. Carter Foundation, ada beberapa ritual dalam keluarga yang menurutnya efektif dan bermanfaat.
Bermalam Natal Bersama Keluarga
Sewaktu Kay berusia 3 tahun, ayahnya memangkunya dan membacakan puisi Natal karya Clement Moore mengenai “The Night Before Christmas.” Setelah itu, sang ayah menceritakan kisah-kisah Natal yang lalu dan maknanya bagi keluarga. Setiap tahun ayah Kay mengulangi puisi dan kisah-kisah Natal yang sama. Lalu ketika Kay berusia 4 tahun, adik perempuannya yang baru lahir, Jane, juga mendengarkan puisi yang sama. Puisi itu dibacakan terus-menerus sampai Kay dan Jane memiliki pacar. Pacar mereka diajak untuk mendengarkan puisi yang sama dan kisah-kisah Natal itu. Demikian seterusnya sampai Kay dan Jane memiliki suami dan anak-anak. Bertahun-tahun berlalu, dan ayah Kay tetap saja membacakannya untuk istri, Kay, Jane, kedua menantunya dan ketiga cucu mereka.
Sesungguhnya yang terpenting dalam ritual keluarga Kay bukanlah ketika sang ayah membacakan puisi Natal tersebut, melainkan saat kebiasaan untuk menghayati makna Natal dilakukan bersama-sama dan menjadi pola hidup atau gaya keluarga mereka yang diturunkan dari generasi ke generasi, sehingga anak, menantu dan cucu diarahkan untuk memahami makna Natal yang sesungguhnya.
Mencuci Rambut Pada Hari Jumat
Hal ini dilakukan karena konteks hidup mereka tidak memungkinkan mereka untuk mencuci rambut setiap hari. Meskipun kemudian anak-anak dalam keluarga mereka beranjak dewasa, mereka tetap menyempatkan diri untuk mencuci rambut bersama setiap hari Jumat sore. Hari itu menjadi waktu di mana seluruh anggota keluarga bersenda gurau bersama dan saling berbagi cerita.
Saya kira, bukan mencuci rambut bersamalah yang dapat kita tiru, tetapi ritual melakukan sebuah kegiatan yang diminati keluarga sejak anak-anak kecillah, yang berguna sebagai wadah saling berbagi dan mendekatkan diri satu sama lain. Kita dapat mengubah acara itu dengan berkebun bersama, menghias pohon Natal bersama, atau memasak bersama pada hari Minggu siang, sehingga melalui waktu tersebut, ada tawa dan canda, keceriaan dan kesempatan untuk saling berbagi cerita. Pengalaman itulah yang kita teruskan dan turunkan kepada anak-anak.
Bermalam Minggu dengan Ritual Memakan Telur Bersama
Ritual ini dilakukan oleh sebuah keluarga dengan cara memasak telur bersama dan memakannya bersama di meja makan. Dalam ritual ini, saat mereka selesai memasak telur dan menyeduh kopi, mereka duduk menceritakan kejadian-kejadian selama seminggu, mendiskusikan hal-hal yang tidak terpecahkan dalam kurun waktu itu, atau berbagi sukacita.
Bagi kita yang memiliki waktu luang setiap hari, tentu saja ritual harian akan jauh lebih baik jika dapat dijalankan secara konsisten. Misalnya saat anak-anak pulang sekolah, kita secara khusus menyediakan waktu untuk memotong apel bersama sambil berbagi cerita tentang suka-duka kita sepanjang 8 jam yang lalu. Termasuk bagi para orangtua yang sibuk bekerja, tentulah anak-anak akan merasa sangat bahagia jika orangtua mereka menyediakan “waktu berkualitas” (quality time) bagi mereka, sehingga mereka tidak kehilangan kesempatan untuk menikmati kasih melalui acara tersebut.
Memberi Hadiah Pada Hari Sabtu Sore
Tampaknya memang agak berlebihan jika setiap pekan kita memberi hadiah kepada anak atau anggota keluarga. Namun hadiah yang dimaksud tidaklah harus berupa barang-barang yang mewah atau mahal. Yang penting bagi keluarga ialah bahwa setiap anggota keluarga menyadari bahwa anggota keluarga yang lain sangat memperhatikan kesenangannya. Misalnya, ritual yang dilakukan sebuah keluarga. Sang ayah menyempatkan diri pada hari Sabtu siang untuk berbelanja dan membungkus hadiah bagi istri dan anak-anaknya. Sore itu, ketika mereka bertemu, sang ibu menyiapkan gunting untuk membuka hadiah mereka. Apa yang diberikan oleh sang ayah? Ia memberikan sekantong kecil permen kesukaan Ibu, sementara masing-masing anak menerima buah kesukaan mereka. Mereka memakannya sambil berbagi cerita dan tertawa bersama.
Ritual keluarga itu membuktikan bahwa sebuah hadiah tidak bergantung pada harganya, tetapi pada perhatian yang diberikan anggota keluarga lainnya. Dan yang terpenting, cara anggota keluarga menghargai setiap pemberianlah yang merupakan pelatihan bagi keluarga ini untuk belajar bersyukur dan berterima kasih.
Kapan Ritual Keluarga Dimulai?
Ritual keluarga dimulai oleh orangtua dan dijalankan sejak anak-anak belajar tentang nilai-nilai dan pola hidup keluarga. Ritual juga dapat dilakukan antara ibu dan anak, suami dan istri atau orangtua dengan orangtua mereka. Bagian yang bermakna dari sebuah ritual ialah ketika orang-orang yang memilihnya, menyadari bahwa ritual tersebut merupakan suatu interaksi personal yang membawa keharmonisan dalam keluarga dan membina relasi yang permanen.
Manfaat Ritual Keluarga bagi Perkembangan Anak
Bisa jadi ritual keluarga merupakan bagian dalam drama keluarga yang didesain untuk membuat anak-anak terkesan. Banyak ritual memang dirancang untuk anak-anak sehingga mereka mau berpartisipasi di dalamnya. Hal ini sangat bermanfaat untuk membekali mereka menuju usia dewasa (youthful mind), sebab dengan demikian mereka memiliki pola asuh orangtua yang positif, yang tertanam dalam naluri atau hati nurani mereka.
Adapun beberapa prinsip dalam ritual keluarga yang bermanfaat bagi anak-anak:
Ritual Kebiasaan Dalam Kelompok
Inti dari ritual ini ialah membuat anak-anak memiliki pengalaman yang permanen, sebab melalui pengulanganlah karakter mereka dibentuk. Kebiasaan juga membuat anak-anak merasa memiliki kelompok, dan merasa sebagai bagian dari keluarga mereka.
Standarisasi Respons Cinta
Anak-anak perlu tahu bagaimana menunjukkan cinta secara tulus. Misalnya melalui 3 hal yang berbeda, yaitu: Pertama, kontak fisik seperti memeluk, mencium atau mengelus. Kedua, pelayanan sesama anggota keluarga, seperti menyiapkan buah, sarapan pagi, minum untuk ayah sepulang kerja. Ketiga, hadiah, misalnya dengan memberikan apa yang dibutuhkan oleh anggota keluarga, namun tidak perlu yang mahal dan mewah.
Tata Cara Keluarga
Setiap keluarga memiliki aturan dan nilai-nilai kesopanannya sendiri. Menunjukkan tata cara kesopanan sebagai standarisasi keluarga juga diperlukan sebagai konsep dasar yang akan dipegang anak-anak sampai mereka besar nanti. Misalnya, kita dapat mengajarkan anak-anak untuk mencium tangan tamu yang lebih tua saat mereka berjumpa atau dikenalkan kepadanya. Atau pada saat makan malam, anak-anak diminta untuk mengambilkan makanan untuk ayah atau ibu mereka terlebih dahulu, sebelum ayah atau ibu mereka mengambilkan makanan bagi anak-anak. Saya teringat pada seorang teman yang pada Tahun Baru Imlek makan bersama keluarga tante dan omnya. Sementara semua orang makan dan minum, ia sibuk mengambilkan lauk yang ada di meja untuk om dan tantenya dengan ujung sumpitnya yang tidak digunakan untuk makan. Saya bertanya kepadanya, “Mengapa kamu melakukan hal itu?” Jawabnya, “Saya diajarkan oleh orangtua saya untuk melayani orang tua di meja makan sebagai bentuk kesopanan seorang anak.”
Rekreasi Bersama
Anak-anak juga perlu tahu bahwa ada saat-saat belajar dan bekerja, tetapi ada juga saat bagi keluarga untuk menikmati hidup dengan berekreasi. Leisure-time dapat membuat masalah yang ada dalam keluarga terselesaikan dengan cara yang lebih mudah daripada melalui pembicaraan formal.
Tindakan Spiritual
Hal yang tidak kalah pentingnya, bahkan sangat berguna bagi anak-anak, adalah ketika mereka mengenal Tuhan melalui keluarga mereka. Sebagian keluarga mengadakan ibadah atau doa bersama setiap malam, tetapi sebagian lagi melakukannya pada saat-saat santai mereka. Saya teringat bahwa ketika saya masih kanak-kanak, setiap malam Minggu Ayah mengajak kami jalan-jalan untuk makan bersama sebelum atau sesudah berkunjung ke rumah Kakek dan Nenek. Dalam perjalanan yang sangat panjang itu, Ayah selalu menyanyi lagu-lagu rohani, lalu sedikit mengulas arti dari lagu-lagu tersebut. Kini sebagian lagu yang saya ingat hari ini adalah lagu-lagu yang diperkenalkan oleh ayah saya. Dan ketika masalah-masalah dalam hidup singgah di benak saya, lagu-lagu itu sering terngiang sebagai arahan jawabannya. Hal yang perlu dilakukan untuk membangun ritual spiritual keluarga adalah waktu yang spesifik, tujuan yang terarah, dan peran yang jelas dari masing-masing anggota keluarga.
Keberlangsungan Dalam Keluarga
Dalam sebuah studi mengenai Family Continuity dari 400 keluarga, ditemukan bahwa tujuan utama kebiasaan yang dilakukan oleh keluarga adalah meneruskan tanggung jawab yang dilakukan dari generasi ke generasi. Ritual ini juga yang dilakukan di keluarga-keluarga Yahudi. Dari generasi ke generasi, sang ayah bertugas membacakan (mengingatkan) Taurat kepada anak-anaknya. Melalui family continuity ini anak-anak juga memiliki kejelasan bahwa dalam sebuah keluarga ada seorang yang dituakan atau yang dapat diteladani. Apalagi kita menyadari bahwa ada kesenjangan dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Itu berarti, adakalanya anak-anak dari generasi baru kurang dapat menangkap maksud komunikasi yang disampaikan oleh generasi tua. Melalui ritual inilah simbol-simbol yang dilakukan dengan makna yang dikomunikasikan dapat lebih dimengerti oleh generasi berikutnya.
Pertanyaannya kini bagi kita, apakah nilai-nilai yang hendak kita ajarkan kepada anak-anak kita? Mari kita rancang nilai-nilai ritual keluarga kita sehingga siklus pengajaran itu dapat diteruskan dari generasi ke generasi dan memperkaya anak-anak kita dalam kehidupan sosial mereka.
Pdt. Riani Josaphine
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.