Ibrani 12:1-2 menasihatkan kita untuk berlomba dengan tekun, sehingga iman kita mencapai kesempurnaan, dan kita menjadi serupa dengan Yesus. Untuk itu kita perlu melatih rohani kita. Sama seperti di dalam olah raga, di mana orang perlu terus berlatih fisik untuk memenangkan perlombaan, kita juga tidak akan menang dan mencapai target yang diinginkan bila kita tidak melatih rohani kita.
Program latihan rohani ini harus dilakukan dengan penuh kedisiplinan. Tiger Wood harus memukul 2000 bola golf setiap hari untuk dapat mempertahankan kejuaraannya. Memang pada mulanya, disiplin tidak mudah dilakukan, tetapi pada akhirnya kita dapat merasakan manfaatnya (Ibr. 12:11). Disiplin harus dilakukan dengan perencanaan yang baik, dan bukan kalau kita ada waktu sisa. Ada 10 latihan rohani:
1. Membaca Alkitab
Dengan membaca dan mempelajari Alkitab, kita mengenal siapa Tuhan yang kita sembah, apa yang diinginkan-Nya dari kita dan bagaimana kita dapat menyenangkan-Nya. 1 Tim 4:13 mengatakan, “Sementara itu, sampai aku datang, bertekunlah dalam membaca kitab-kitab suci, dalam membangun dan mengajar.” Beberapa gereja lebih mengutamakan puji-pujian dan penyembahan ketimbang mendengar dan membaca firman Tuhan, padahal Roma 10:17 dengan jelas mengatakan bahwa “iman timbul dari pendengaran dan pendengaran firman Kristus.” Disiplin mempelajari firman Tuhan ditunjukkan orang-orang Yahudi di Berea (Kis 17:11). Setelah membaca firman Tuhan, kita juga perlu merenungkan dengan baik.
2. Berdoa
Berdoa adalah napas rohani kita. Kalau kita berhenti berdoa, maka kehidupan rohani kita tidak akan memiliki kekuatan. Yesus berpesan agar kita berdoa dengan tidak jemu-jemu (Luk. 18:1). Berdoa bukan merupakan pilihan yang boleh dilakukan atau tidak kita lakukan, tetapi suatu kewajiban. Berdoa bertujuan agar kita lebih dekat dengan Tuhan. Dalam doa, terkadang permintaan kita kepada Tuhan langsung dijawab, namun ada juga yang harus menunggu jawaban-Nya. Namun Tuhan selalu mendengarkan doa-doa kita. Janji Allah di dalam Yes. 65:24 berkata, “Sebelum mereka memanggil, Aku sudah menjawabnya; ketika mereka sedang berbicara, Aku sudah mendengarkannya.” Karena itu kita harus yakin bahwa Tuhan akan memberi yang terbaik untuk kita, sehingga dalam berdoa, kita pun menyertainya dengan ucapan syukur (Fil. 4:6). Di dalam berdoa, hendaknya kita tidak mencari waktu, tetapi membuat waktu (merencanakannya). Memang kita bisa berdoa kapan saja, di mana saja, dan dalam situasi apa saja, namun spontanitas dalam berdoa sesungguhnya merupakan tambahan dari doa-doa kita setiap hari.
3. Penyembahan
Penyembahan berarti meninggikan Tuhan dan memandang-Nya layak menerima puji-pujian, hormat dan kuasa (Wah. 4:11). Dan karena Allah itu Roh, maka kita perlu menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran (Yoh. 4:24). Kita menyembah-Nya, karena Ia Mahakuasa dan Pencipta seluruh bumi dan isinya.
Ada perbedaan antara doa dan penyembahan. Doa adalah komunikasi kita dengan Tuhan (komunikasi dua arah), sedangkan penyembahan adalah pujian kepada Tuhan dan pada sifat-Nya yang kasih, kudus, adil, berkuasa, setia, dsb.
4. Menyendiri
Di dalam Luk. 4:42, Yesus mengajar kita untuk meninggalkan kesibukan dan aktivitas dan mencari tempat sunyi, bukan untuk bersantai, tetapi untuk mendekatkan diri dengan Tuhan dan mendengarkan suara-Nya dengan lebih jelas.Tempat itu bisa di rumah, tetapi juga bisa jauh dari rumah, supaya kita lepas dari kesibukan sehari-hari. Menyendiri juga memberikan kita kepekaan untuk lebih memperhatikan sesama kita.
5. Penatalayanan
Penatalayan adalah orang yang dipercayai untuk mengelola waktu, harta, tetapi juga talenta. Kita harus menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki hanyalah titipan Tuhan yang harus kita kelola dengan sebaik-baiknya. Daud sangat mengerti akan hal ini ketika ia membantu Salomo mengumpulkan sumbangan bagi pembangunan Bait Suci (1 Taw. 29:16). Karena itu iapun berdoa agar anaknya ini mendapat hati yang tulus dan taat kepada Tuhan (1 Taw. 29:19).
Segala sesuatu yang dipercayakan pada kita hendaklah kita tujukan bagi kemuliaan Tuhan dan kita pergunakan dengan bijak (tidak boros dan dengan tujuan yang tepat). Tanggung jawab kita kepada Tuhan tidak boleh dilakukan dengan sembarangan. Dalam membantu orang, kita jangan hanya sekadar memberi uang, tetapi juga harus yakin bahwa uang tersebut dipergunakan dengan tepat guna. Beasiswa misalnya, tidak diberikan untuk dipakai berfoya-foya, tetapi untuk memungkinkan siswa meraih prestasi akademis sebaik mungkin.
Demikian juga talenta kita hendaknya dipakai untuk melayani sesama. Apakah kita dokter, pebisnis, ilmuwan atau ibu rumah tangga, kita selalu bisa berguna bagi orang lain apabila kita menyediakan diri untuk dipakai oleh Tuhan.
6. Berbagi Iman Kepada Orang Lain
Apa yang dapat kita bagikan kepada orang lain adalah kasih karunia Allah dalam pengalaman hidup kita bersama-Nya. Jangan menunda untuk menyaksikannya, karena kesempatan mungkin tidak akan terulang kembali. Seorang pekerja pertambangan sedang menggali di bawah tanah dengan seorang temannya yang masih muda. Temannya ini sangat ingin mengetahui apa yang diimani oleh seniornya, tetapi pekerja tua itu enggan bercerita. Lima menit kemudian tanah di atas mereka longsor dan pemuda itu tertimbun batu-batuan sehingga meninggal. Pekerja tua itu terguncang hatinya dan sangat menyesal karena telah melewatkan waktu yang berharga itu dengan begitu saja.
7. Kesederhanaan
Hidup bersahaja ditunjukkan oleh Tuhan Yesus yang lahir di kandang domba, lalu membantu Yusuf sebagai tukang kayu sebelum Ia mulai mengajar. Di dalam mengajar pun Ia menggunakan kata-kata sederhana yang mudah dimengerti oleh orang banyak, berbeda dengan orang Farisi yang mementingkan berbagai aturan dalam beribadah dan dalam kehidupan sehari-hari.
Mat. 18:3 mengatakan, “…sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.”
Manusia sering mempersulit dirinya sendiri. Ada yang pergi ke gereja seperti mau pergi ke peragaan busana. Ia selalu ingin tampil prima di depan orang banyak. Karena itu, apabila ia mau ke gereja, ia berdandan habis-habisan. Sebenarnya berpakaian rapi dan menarik itu tidak salah, asalkan didasarkan pada motivasi yang benar, yaitu untuk beribadah dan memberi yang terbaik kepada Tuhan. Bukankah para imam Lewi juga berpakaian indah ketika melayani Tuhan di Bait Allah? Namun jangan orang batal ke gereja hanya karena dandanan yang kurang rapi atau wajah yang berjerawat!
8. Berpuasa
Mat. 6:16 memperingatkan agar ketika kita berpuasa, kita jangan seperti orang munafik yang mengubah air mukanya supaya semua orang tahu bahwa kita berpuasa.
Puasa bisa dilakukan untuk mengurangi berat badan. Puasa juga bisa dilakukan dengan tidak melakukan sesuatu yang sangat kita senangi, misalnya: menonton sinetron, main bola, golf, berbelanja, dsb. Yang penting adalah motivasi di balik puasa itu, yaitu untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan dan menjadikan Tuhan terpenting di dalam kehidupan kita dibandingkan dengan kepentingan kita pribadi.
9. Mengaku Dosa dan Mengampuni
Ketika kita menyadari dosa kita, maka kita harus mengakuinya di hadapan Tuhan dan bertobat. Kita juga harus berdoa agar diberi kekuatan untuk tidak melakukannya lagi. Dengan demikian kita bisa bersukacita kembali.
Segala dosa yang kita lakukan pada Tuhan maupun kepada manusia, pertama-tama harus kita akui di hadapan Tuhan, karena kita melanggar perintah-Nya dan melukai hati-Nya. Setelah itu, kita harus memohon ampun dari orang yang telah kita sakiti. Kalau kita mengakui dosa dengan sepenuh hati, kita tidak hanya merasa lega, tetapi juga terlepas dari beban dosa.
Mat. 6:15 mengatakan “Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” Pengampunan juga perlu disertai dengan kesediaan untuk mengampuni. Pengampunan jangan diberikan dengan setengah hati, misalnya dengan mengatakan, “Saya dapat mengampuni tetapi tidak dapat melupakan.” Janganlah kita menjadi kolektor kesalahan orang.
Pada masa Perang Dunia kedua, ada sebuah pesawat Amerika yang jatuh dekat kepulauan Jepang. Banyak korban yang meninggal, tetapi Louis termasuk yang diselamatkan tentara Jepang. Ia dimasukkan ke dalam penjara dan disiksa. Setelah perang usai, ia dikembalikan ke Amerika, tetapi hatinya penuh dengan kepahitan. Ia bercita-cita untuk kelak membalas sakit hatinya kepada orang-orang yang telah menganiayanya. Rasa dendam dan amarah itu membuatnya tidak merasa damai, sehingga ia menjadi pemabuk. Pernah dalam keadaan mabuk ia mencekik leher Cynthia, istrinya, yang sedang mengandung. Untunglah istrinya dapat melepaskan diri dan lari dari rumah.
Pada suatu hari Cynthia menghadiri seminar di gereja yang dipimpin oleh Pendeta Billy Graham yang masih muda. Ia sangat tersentuh pada apa yang didengarnya tentang kasih karunia dan pengampunan dari Tuhan, sehingga ia mengampuni suaminya. Ia kemudian mengajak suaminya untuk hadir di seminar itu. Pada mulanya Louis menolak, tetapi akhirnya ia datang juga dan mau menerima Yesus sebagai Juru Selamatnya. Hidupnya pun berubah.
Louis lalu mendapat kesempatan untuk pergi ke Jepang, dan di sana ia bertemu dengan orang-orang yang dulu menganiayanya. Ternyata mereka berada di penjara. Kini Louis datang bukan untuk membalas dendam, tetapi membagikan apa yang telah diterimanya dari Tuhan, yaitu kasih karunia dan pengampunan. Akhirnya mereka berpelukan sambil menangis dan tertawa, karena sudah berdamai kembali.
Menurut penelitian, orang yang hatinya damai memiliki pencernaan yang baik, tetapi pencernaan orang yang marah akan terganggu. Oleh karena itu dokter menyarankan agar orang menunda makan dulu kalau sedang marah. Banyak penyakit yang berhubungan dengan perasaan marah dan dendam, tetapi pengampunan akan memberikan rasa damai di dalam hati.
Sekarang marilah kita mengintrospeksi diri kita. Dalam peran kita sebagai kepala keluarga, ketua komisi di gereja, pendeta, manajer, dll., apakah kita sering menolak atau marah kepada orang yang memberikan kritik atau saran, karena kita merasa sebagai yang paling hebat, paling tahu, paling pintar atau paling berkuasa?
Kita perlu merenung sebentar dan berpikir positif bahwa orang yang memberi kritik atau saran itu mungkin bermaksud baik dan sayang terhadap kita, dan bermaksud agar kita bisa lebih baik lagi menjalankan tugas kita. Untuk itu kita pertama-tama harus minta ampun kepada Tuhan dan berbesar hati untuk minta maaf kepada orang yang sudah kita lukai hatinya.
10. Ketekunan
Ketekunan yang terus-menerus akan mencapai tujuan yang diharapkan. Paulus menghadapi banyak tantangan di Korintus, namun ia tetap gigih karena banyak pekerjaan besar yang harus dilakukannya.
Yak.5:11 mengatakan, “Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan Maha penyayang dan penuh belas kasihan.” Roh Kudus akan melatih kita untuk menjadi orang yang berkenan di hadapan Tuhan. Ia akan membantu kita untuk tetap bertekun dan memberi kita kekuatan melakukannya, asalkan kita bersedia membuka diri diajar oleh-Nya. “Ia yang memulai, akan meneruskan sampai hari Tuhan datang” (Fil. 1:6).
Sebagai umat Kristen, kita tidak terlepas dari badai dan ombak besar di dalam hidup kita. Oleh karena itu kita harus sepenuhnya berserah kepada Yesus. Ia akan mendampingi kita melalui semua prahara itu dengan baik. Kemajuan di dalam pertumbuhan iman kita diperoleh melalui perpaduan antara kasih karunia Allah dan kesediaan kita untuk terus dibentuk oleh-Nya. “…tiap-tiap orang kami ajari dalam segala hikmat, untuk memimpin tiap-tiap orang kepada kesempurnaan dalam Kristus. Itulah yang kuusahakan dan kupergumulkan dengan segala tenaga sesuai dengan kuasa-Nya, yang bekerja dengan kuat di dalam aku” (Kol. 1:28-29).
Semoga kita bisa sehat secara rohani dengan tekun melakukan latihan-latihan ini.
// Nugroho Suhendro
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.