Suatu hari seorang ayah dari keluarga kaya mengajak anak lelakinya ke daerah pedesaan untuk memperlihatkan kepadanya bagaimana kehidupan masyarakat miskin. Mereka menghabiskan beberapa waktu untuk bermalam di sana.
Dalam perjalanan pulang, sang ayah bertanya kepada anaknya, “Apa yang dapat kaupelajari dari kehidupan mereka?” Jawab si anak, “Saya perhatikan, mereka punya empat anjing, sedangkan kita punya satu. Kita punya kolam renang, mereka punya danau yang indah. Kita punya lampu taman buatan luar negeri, mereka punya bintang di langit pada waktu malam. Kita punya kaveling yang dibatasi pagar tembok, mereka punya alam semesta yang dibatasi cakrawala. Kita punya banyak pembantu yang melayani kita, tetapi mereka saling melayani. Kita punya dinding tembok untuk melindungi harta benda kita, mereka punya teman untuk melindungi mereka. Sang ayah hanya terdiam terpaku. Lalu sang anak menambahkan: “Terima kasih. Ayah telah menunjukkan seberapa miskinnya kita.”
Kisah di atas menyadarkan kita untuk lebih bersyukur atas apa yang kita miliki, ketimbang hanya mengkhawatirkan apa yang tidak kita miliki. Bersyukur atas segala sesuatu yang sedang kita jalani, apa pun itu. Merasa “kaya” akan jauh lebih baik dibandingkan merasa “miskin.” Kaya itu dari hati, bukan dari sesuatu yang kita miliki.
Saya pernah berbincang dengan Tukul Arwana, “Si Bukan Empat Mata” yang sekarang sangat kaya raya dibandingkan beberapa tahun sebelumnya. Saya berharap bahwa ia belajar dari semut, yang bekerja di waktu musim panas, dan menyimpan sebagian makanan untuk musim penghujan, ketika semut tidak bisa mencari makan. Tukul menjawab sambil berkelakar, “Saya terlalu kaya untuk miskin.”
Apakah benar bahwa ia terlalu kaya untuk miskin? Mungkin benar, tapi mungkin juga tidak. Sebetulnya perkataan itu lebih cocok ditujukan kepada bangsa Indonesia. Negara Indonesia sebetulnya terlalu kaya untuk miskin. Sebagai bangsa Indonesia, kita seharusnya bersyukur. Betapa tidak? Tuhan bermurah hati kepada kita, dengan memberi berbagai kekayaan, sumber alam, laut dan segal
a isinya. Tetapi mengapa sebagian besar rakyat Indonesia miskin? Ironis bukan? Masalahnya ialah karena sebagian orang terlalu serakah, sehingga memperkaya diri sendiri dengan tidak mengindahkan hukum, dengan korupsi, dan juga dengan merusak lingkungan hidup. Mereka memperkaya diri sendiri sehingga mengakibatkan banyak orang menjadi sengsara karena kemiskinan. Yang kaya terlalu kaya, yang miskin terlalu miskin. Jurang yang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin ini pun terjadi di zaman Tuhan Yesus. Oleh karena itu, Ia sangat mengecam ketamakan. Ia menebarkan kasih, karena kasihlah yang bisa memperkecil jurang itu. Salah satu buah kasih adalah kemurahan hati. Dengan demikian, yang kaya akan berbagi.
Bukankah pesan Paska yang setiap tahun kita peringati mengatakan bahwa, “Yesus yang kaya menjadi miskin, supaya kita yang miskin menjadi kaya?” Maksudnya ialah agar kita menjadi kaya dalam kemurahan hati. Memiliki kepekaan terhadap sesama. Apakah kita tega membeli tas bermerek puluhan juta rupiah bahkan ratusan juta rupiah, sementara sesama kita membeli pakaian puluhan ribu rupiah saja tidak bisa? Apakah kita tega makan di restoran mewah bintang lima yang menghabiskan jutaan rupiah sekali makan, sementara sesama kita makan nasi putih dengan garam saja tidak bisa? Apakah kita melihat Tuhan di dalam diri sesama kita yang miskin, kelaparan, telanjang, terpenjara? Bukankah apa yang kita lakukan terhadap yang paling hina, telah kita lakukan kepada Yesus? Ajakan Pemazmur untuk “Menegakkan yang hina dan mengangkat orang yang miskin” (Mazmur 72:4), perlu disambut oleh seluruh elemen bangsa ini.
Kaya yang sesungguhnya adalah jika kita bisa bersyukur atas apa yang kita miliki. Kekayaan tidak diukur dari seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa banyak yang dapat kita bagi.
Selamat bersyukur dengan berbagi!
Eddy Nugroho
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.