Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana pasti mengetahui apa maknanya mempelajari konteks dalam berteologi. Yahya Wijaya tinggal dan bekerja di Yogyakarta, sebuah kota yang dikenal karena kekayaan sejarah dan keberagaman agamanya.
Dengan gelar Master dalam etika kristiani dari Princeton, Amerika Serikat, dan gelar Doktor dalam bidang teologi ekonomi dari Leeds, Britania Raya, Yahya Wijaya adalah seorang pengamat konteks kebudayaan pemuda masa kini dan dunia bisnis.
Kemampuan Wijaya untuk menempatkan studi teologi dalam konteks lokal, regional dan global menjadikannya orang yang tepat untuk mengatur pelaksanaan Global Institute of Theology yang ketiga, yang akan dilaksanakan di Universitas Kristen Duta Wacana pada tanggal 8 Juni sampai 1 Juli 2012, di bawah pengawasan akademis universitas tersebut.
Reformed Communiqué berbicara dengan Wijaya di bulan Januari ketika ia berada di Jenewa, Swiss, untuk berpartisipasi dalam proses seleksi peserta bagi program Global Institute of Theology (GIT).
Wijaya menyampaikan kepada Reformed Communiqué bahwa para peserta akan menerima program yang menggabungkan proses belajar di dalam kelas dengan pengalaman bertemu dengan komunitas beragam yang dikenal oleh UKDW. Para peserta dapat memilih untuk mengikuti kegiatan menginap di pesantren, mengunjungi pusat agama Buddha di dekat Candi Prambanan atau hidup bersama sebuah komunitas Kristen di pedesaan selama dua hari. Pilihan lain lagi adalah bertemu dengan para sukarelawan yang membantu pemulihan daerah yang terkena bencana gempa pada tahun 2006 dan meletusnya gunung Merapi pada tahun 2010. Pertemuan langsung ini dapat menantang, mentransformasi dan memperkaya teologi dan pandangan kehidupan para peserta, demikian menurut Wijaya.
“Pengalaman intelektual para peserta dalam berteologi akan diperkaya melalui interaksi internasional antara peserta dan juga dewan pengajar GIT. Mereka akan melihat kehidupan nyata dalam konteks agama dan kebudayaan yang berbeda-beda,” demikian Wijaya. “Interaksi ini akan mengubah pendekatan yang mereka miliki terhadap misi, pelayanan pastoral, spiritualitas dan metodologi.”
Penduduk di sekitar Yogyakarta yang mengalami bencana alam seperti gempa bumi dan gunung meletus akan mengejutkan peserta GIT dengan apa yang disebut oleh Wijaya sebagai “teologi bencana.” Mereka yang mengalami bencana dan kini membangun kembali kehidupan mereka ini memiliki sensitivitas tersendiri terhadap lingkungan hidup. Wijaya percaya bahwa, “mereka memiliki cara tersendiri untuk bertahan. Mereka memahami letusan gunung berapi sebagai bagian alamiah kehidupan. Mereka tidak menganggap alam sebagai musuh. Mereka menganggapnya sebagai bagian dari lingkaran kehidupan kita, sama seperti tetangga dan keluarga.”
Wijaya bercerita bagaimana sikap penuh penerimaan ini mengejutkan sukarelawan dari Amerika Serikat yang datang untuk membantu, pasca gempa bumi tahun 2006. Pemuda ini sebelumnya menjadi sukarelawan di Florida setelah badai Katrina. Di sana, ia melihat bagaimana penduduk yang menjadi korban marah terhadap kejadian alam. Sebaliknya di Indonesia, ia melihat bagaimana penduduk tersenyum dan memberikan air minum kepadanya, bahkan ketika mereka sendiri hidup dalam kekurangan dan tinggal di penampungan.
“Pengalaman seperti ini memberikan inspirasi bagi teolog untuk membangun teologi bencana,” gumam Wijaya. “Ini merupakan sebuah teologi penciptaan dan kerusakan alam berdasarkan pengalaman nyata menghadapi bencana.”
Pertemuan orang-orang Kristen dan orang-orang dari kepercayaan lain di sebuah wilayah yang rawan bencana merupakan kesempatan emas bagi mereka yang berasal dari negara lain untuk merefleksikan bagaimana teologi mereka memengaruhi perilaku seseorang ketika bencana menimpa mereka. Apakah para peserta GIT dapat pulang ke negara mereka masing-masing dengan semakin diperlengkapi untuk melayani melalui pengalaman mereka di Indonesia? Inilah yang diharapkan mereka yang mempersiapkan GIT.
GIT merupakan program yang diorganisasikan oleh World Communion of Reformed Churches (WCRC). Program ini memberikan kepada teolog-teolog muda sebuah pengalaman langsung yang intensif untuk terlibat dalam studi kontekstual dan ekumenis. Dewan pengajar GIT yang dipilih secara khusus dan telah lama terlibat dalam gerakan ekumene akan mengajar dengan menempatkan teologi dalam konteks lokal, regional dan global.
Douwe Visser, Sekretaris Eksekutif WCRC untuk program Teologi, Aruna Gnanadason, seorang teolog feminis dari India yang berperan sebagai dekan urusan kemahasiswaan untuk GIT, dan Wijaya, telah memilih 43 orang peserta dari 100 orang yang mendaftar untuk mengikuti program ini. Sepuluh orang teolog muda dari Indonesia juga akan bergabung dengan 43 orang ini.
Selain Wijaya, Ghanadason dan Visser, dewan pengajar GIT juga termasuk Bas Plaisier dari Belanda sebagai presiden GIT dan Peter Wyatt dari Kanada yang menjadi dekan untuk urusan akademis. Joan Wyatt, juga dari Kanada, akan menyediakan pelayanan pastoral bagi peserta selama kegiatan ini. Beberapa orang dosen dari Duta Wacana dan juga STT Jakarta juga akan terlibat dalam proses belajar mengajar.
Ditulis oleh Kristine Greenaway, Sekretaris Eksekutif bidang Komunikasi World Communion of Reformed Churches. Diterjemahkan dari buletin Reformed Communiqué edisi Maret 2012. Reformed Communiqué merupakan buletin berkala terbitan World Communion of Reformed Churches.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.