Ina Tanaya: Mengendalikan Kemarahan

Ina Tanaya: Mengendalikan Kemarahan

Belum ada komentar 14 Views

Kesaksian ini adalah sebagian perjalanan hidup ibu saya selama tujuh belas tahun dalam penderitaan. Saya pernah menceritakan kesaksian ini di Persekutuan Wanita Gabungan beberapa bulan yang lalu, namun saya juga ingin membagikan kesaksian ini kepada para pembaca Kasut.

Tujuh belas tahun silam, Mami menengok saya ketika saya melahirkan anak. Ketika ia akan kembali ke Semarang via Purwokerto, mobil travel yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Kedua kaki Mami patah dan harus dioperasi di Solo selama dua bulan. Setelah itu ia kembali ke Semarang dalam keadaan invalid. Mami merasa depresi dan frustrasi. Dari seorang yang aktif, menjadi invalid yang harus belajar jalan seperti anak kecil. Mami mengurung diri dan tidak mau bersosialisasi lagi. Saya datang untuk menghibur dan memberikan kekuatan kepadanya.

Dua belas tahun kehidupannya di Semarang penuh dengan kepahitan dan kegetiran karena Mami merasa tidak berguna. Sedikit demi sedikit fisik dan jiwanya mengalami kemunduran. Dari yang bisa jalan, ia harus terbaring, dari yang bisa melihat, ia menjadi buta. Rumah kami di Semarang sudah tua dan atap semua bocor, bahkan kamar Mami pun kalau hujan ikut bocor. Akhirnya saya menanyakan kepadanya apakah ia memilih untuk pindah dan tinggal bersama saya di Jakarta, atau tinggal di rumah jompo, atau tinggal di Muntilan bersama suster dan pembantu. Mami memilih opsi ketiga. Malam terakhir menjelang kepindahannya, hujan lebat turun sehingga banjir di depan rumah. Saya tidak dapat memindahkan Mami karena ia cukup berat. Puji syukur, Tuhan mengirimkan saudara sepupu saya untuk membantu. Suaminya pun bisa menggotong tubuh Mami untuk dipindahkan ke kamar lain yang tidak bocor. Sungguh pertolongan Tuhan tepat pada waktunya.

Setelah Mami tinggal di Muntilan, terjadi dua peristiwa yang dahsyat. Peristiwa pertama adalah ketika terjadi letusan lahar panas di Gunung Merapi. Sebagian besar penduduk Muntilan dievakuasi karena tidak ada aliran listrik dan air. Kota pun penuh dengan debu. Namun Mami tidak dapat dipindahkan karena jalan yang licin tidak memungkinkan ambulans pergi dari Muntilan ke Semarang. Lagi pula, tidak ada tempat bagi Mami di panti jompo Semarang yang syarat-syaratnya tidak dapat ia penuhi. Jadi Mami tetap tinggal di Muntilan bersama suster dan pembantu dengan segala keterbatasannya. Di sini saya melihat kebesaran Tuhan lagi. Ia memelihara mereka semua.

Peristiwa kedua yang sangat dahsyat adalah ketika fisik Mami mulai mengalami kemunduran yang lebih hebat. Syarafnya tidak terkendali sehingga buang air kecil tidak lagi bisa dirasakannya. Semua aktivitas dilakukan di ranjang. Pen bekas operasi keluar dan bernanah. Jika luka itu tidak segera dioperasi maka jaringan kulit akan membusuk dan Mami dapat meninggal. Akhirnya operasi dilakukan dalam keadaan fisik Mami yang sangat lemah. Sungguh luar biasa pertolongan Tuhan. Sekali lagi Ia menyelamatkan nyawa ibu saya.

Di sinilah saya marah kepada Tuhan. Saya mempertanyakan apa makna hidup Mami bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Jika memang Tuhan itu baik dan telah menunjukkan banyak mukjizat kepada Mami, mengapa penderitaan itu terus berlangsung dan kapankah semuanya ini akan berakhir?

Pertanyaan saya timbul dengan berbagai kecaman kepada Tuhan: “Apa yang Kau kehendaki dari seorang ibu yang sudah tua dan menderita sekian lamanya? Apakah dia harus berpaling dari-Mu atau sayalah yang harus berpaling dari-Mu karena dalam doa dan pergumulan saya, sama sekali tidak menemukan jawaban?”

Saya membaca Alkitab mengenai Ayub. Saya pikir bahwa Ayub itu bukan saya dan bukan pula Mami. Ayub bisa bertahan dalam kesusahannya, tetapi tidak demikian dengan saya dan Mami. Rasanya penderitaan itu cukup lama buat kami.

Jawaban dari Tuhan tak kunjung saya dapatkan, bahkan seorang teman di gereja mengatakan bahwa mungkin Mami menyimpan suatu benda tertentu atau jimat yang diberikan oleh orangtuanya atau yang dulu pernah dipakainya.

Saya mencoba menggali kebenaran tersebut di dalam Alkitab, namun tidak menemukannya, sehingga akhirnya datang untuk berkonsultasi kepada Pdt. Joas. Apakah benar bahwa seseorang tidak dapat dipanggil Tuhan jika ia masih menggunakan benda-benda yang tidak diperkenan oleh-Nya?

Pdt. Joas mengatakan bahwa pernyataan itu mengandaikan bahwa Tuhan tidak dapat memanggil orang yang memakai benda-benda (jimat) semacam itu. Tentunya hal ini berarti menyangkali keyakinan bahwa hidup setiap manusia sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Seolah-olah ada yang memisahkan Mami dari kasih Allah di dalam Yesus.
Paulus pernah menegaskan prinsip pemeliharaan dan kedaulatan Kristus di dalam Roma 8:28-29, “Sebab aku yakin, bahwa maut, maupun hidup, malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”

Saya meyakini apa yang diuraikan oleh Pdt Joas, namun saya tidak berpikir dengan iman saya. Saya masih marah kepada Tuhan: “Tuhan, jika Engkau memang benar baik dan saya tidak meragukan lagi kebaikan-Mu, kapan penderitaan Mami akan berakhir karena setiap kali saya datang ke Muntilan, saya makin sedih dengan kemunduran fisiknya, luka dekubitus-nya, dan keadaannya yang tidak sadarkan diri serta tidur terus tanpa bisa berkomunikasi.”

Tujuh bulan setelah kemarahan saya, Tuhan baru memberikan jawaban ketika Mami dipanggil pulang kepada-Nya.
Saya ingin mengakhiri kesaksian ini dengan mengatakan bahwa saya mendapat pelajaran yang sangat berharga dari Tuhan.

Jika kita marah dan bertanya kepada-Nya, “Di manakah Engkau saat aku menderita?” Yang pertama harus kita lakukan adalah menyediakan diri untuk menenangkan diri, melembutkan hati, mempersilakan Allah menyapa melalui segala apa yang kita lihat, kita dengar dan kita alami. Jejak kehadiran Allah bertebaran di sekeliling kita. Kemudian kita juga harus terus beriman kepada-Nya dan berusaha mempertahankan iman kita dari segala bentuk tantangan dan tekanan. Kita harus berusaha untuk menjaga kemurnian iman kita dari segala cobaan dan perbuatan tercela.

Hidup bukan berakhir setelah kematian, tetapi hidup dimulai setelah kematian, karena ada pengharapan hidup lain yang lebih baik dan sempurna, yang menanti kita di seberang sana.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Sudut Hidup
  • Aku mencari wajah-mu, Tuhan…
    Kesaksian Dapot Parulian Pandjaitan
    Berharga di mata Tuhan (kematian) semua orang yang dikasihi-Nya (Mazmur 116:15) Oops… Kematian? Suatu kata yang sering dihindari orang...
  • Kasih-Nya Mengalir
    Namanya Helen Jayanti, biasa dipanggil Helen. Saat ini sedang menjalani Praktek Jemaat 1 di GKI Pondok Indah. Lulusan dari...
  • Jalan Pagi Lagi di Antara Jiwa-Jiwa
    perjumpaan dengan inspirasi kehidupan lain yang juga mendatangkan syukur
    Upaya Menjaga Kebugaran Sungguh tak mudah memulai kembali sebuah rutinitas, terutama yang menyangkut fisik, apalagi kalau memang pada dasarnya...
  • Jalan Pagi di Antara Jiwa-Jiwa
    Perjumpaan-perjumpaan yang menginspirasi kehidupan dan mendatangkan syukur.
    Jalan Pagi Untuk menjaga kondisi dan kesehatan jasmani di masa yang menekan ini sehingga tidak banyak aktivitas yang bisa...
  • In-Memoriam: Pdt. (Em.) Timotius Setiawan Iskandar
    Bapak bagi banyak anak yang membutuhkan kasih: yang kukenal dan kukenang
    Mencari Tempat Kos Setelah memutuskan untuk mengambil kuliah Magister Manajemen pada kelas Eksekutif (kuliah pada hari Sabtu-Minggu) di Universitas...