Masih Ada Asa…

Masih Ada Asa…

Belum ada komentar 51 Views
1

Pada suatu kali, dalam rangka memenuhi undangan untuk memimpin kebaktian, saya menginap di rumah seorang rekan pendeta di Bandung. Rekan itu pernah bersama saya melayani di GKI Malang, tahun 1980-an. Bahkan ia, Pdt. Budiono Adi Wibowo, adalah pendeta yang menahbiskan saya pada tahun 1984. Bersama istrinya ia menjemput saya di stasiun kereta api.

Walau sudah lebih dari sepuluh tahun tidak berjumpa, saya masih dengan mudah mengenalinya. Ia kelihatan sedikit lebih gemuk, rambutnya memutih. Tetapi pandang mata serta senyumnya masihlah dia. Begitu pun istrinya, walau kelihatan lebih tua, masih tetap cantik dan ceria.

“Hai Pungky…! Wah… kamu kok jadi gemuk begitu…?” seru Budiono sambil menjabat erat tangan saya.
“Iya lo…” sambung Santi, istrinya, dengan logat Magelang yang kental. “Kalau berpapasan di jalan, aku pasti pangling…”
“Kalian juga lumayan berubah… tapi masih ganteng dan cakep…”

Setelah memasukkan kopor ke bagasi, kami pun naik mobil dan bergerak meninggalkan tempat parkir stasiun. Sambil bercakap-cakap membangkitkan berbagai kenangan ketika masih tinggal di Malang, saya memperhatikan sekitar, berusaha mengenali arah.

“Kita mau ke manakah?” tanya saya, karena sepengetahuan saya kami tidak menuju ke daerah pastori Pdt. Budiono.
“Kita makan dulu… Masih suka bakmi kan?” tanya Budiono.
“Tentu saja…”
“Si Pungky mana bisa hidup tanpa bakmi.. He he he,” tukas Santi. “Kita ke Mie Naripan ya?”
“Wah enak tuh…”

Tanpa terasa kami sudah tiba di pusat kota, di mana lalu-lintas cukup padat. Di sebuah perempatan kami berhenti cukup lama menunggu lampu berganti hijau. Begitu kami berhenti, tiga orang anak kecil mendekati mobil kami meminta-minta. Santi dengan sigap membuka sebuah tas besar. Setelah membuka jendela, Santi memberi setiap anak sekantong plastik yang berisi sekotak susu manis, buah dan kue-kue. Anak-anak itu agak heran menerimanya, tetapi kemudian kelihatan senang.

“Terima kasih Bu…” seru mereka hampir berbarengan.

Setelah menutup jendela dan memberesi tasnya yang besar, Santi menjelaskan bahwa ia dan Budi telah melakukan hal ini selama beberapa bulan. Mereka iba melihat anak-anak kecil yang dieksploitasi entah oleh orangtua mereka sendiri, entah oleh orang lain. Tetapi mereka tidak mungkin menolong anak-anak itu secara tuntas. Memberi mereka uang juga rasanya percuma, karena pasti bukan mereka sendiri yang akan menikmatinya. Maka mereka memutuskan untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat hanya bagi anak-anak itu. Terutama mengingat bahwa anak-anak itu berjam-jam dipanggang di bawah terik matahari dan menghirup asap buang mobil atau sepeda motor.

Sebuah kantong plastik berisi sekotak susu manis, buah dan kue-kue, adalah bukti bagi anak-anak jalanan itu, bahwa betapa pun masih ada orang yang memedulikan mereka.

2

Kartika namanya, tetapi hampir tiap orang mengenalnya sebagai Tika. Ia tinggal bersama ibunya yang secara kejiwaan tidak sehat. Ibunya terobsesi oleh rasa takut kehilangan orang-orang yang memperhatikannya. Dalam kenyataannya hanya kedua putrinya yang peduli padanya, yaitu, Priska dan Tika. Berkat bantuan gereja, sang ibu berada dalam perawatan seorang psikiater dan mendapatkan obat-obatan yang diperlukannya.

Sejak perceraiannya, Priska tinggal dengan putrinya, di sebuah rumah kontrakan di bilangan Jakarta Barat. Tika tinggal dengan ibunya dan merawatnya di sebuah kamar sewaan di bilangan Jakarta Pusat. Tika yang hanya lulus SMP, tadinya bekerja di sebuah toko sepatu. Semula semua berjalan dengan cukup baik. Tika mengalami kemajuan di tempat kerjanya. Bermula dari “SPG”1 lambat-laun ia kemudian diangkat menjadi tenaga administratif, setelah dengan prakarsa sendiri ia belajar mengoperasikan komputer dan menggunakan beberapa perangkat lunak.

Namun kemudian ibunya terganggu lagi oleh obsesinya, terutama sejak petengkarannya dengan Priska. Ia tidak mau lagi meminum obatnya. Pasalnya dipicu oleh Priska yang menawari Tika dan ibunya untuk tinggal di rumah kontrakannya. Mereka pun meninggalkan kamar sewaan mereka. Induk semang mereka dan istrinya yang amat ramah, sempat mengingatkan Tika, apakah hal itu sudah dipikirkannya matang-matang. Namun mengingat bahwa menerima tawaran Priska berarti menghemat uang sewa kamar, Tika membulatkan tekad untuk pindah.

Namun setelah beberapa bulan, ternyata terjadi ketidakcocokan antara ibunya dengan Priska. Pada suatu hari pertengkaran di antara mereka itu memuncak pada diusirnya Tika dan ibunya dari rumah Priska. Karena tak sempat mencari tempat tinggal dalam waktu yang begitu singkat, Tika dan ibunya menuju ke rumah induk-semangnya yang lama. Ternyata semua kamar penuh disewa orang. Namun dengan tangan terbuka, sang induk semang dengan penuh pengertian tetap menerima mereka. Mereka diperbolehkan sementara tinggal di sebuah kamar yang sebenarnya disediakan untuk keluarga sendiri, hingga ada kamar yang kosong.

Sejak itu hampir setiap hari ibu Tika menunggu di depan toko hingga jam kerja Tika usai. Menurut penjelasannya sendiri, ia kuatir terjadi hal-hal yang tidak baik pada Tika. Tika merasa cukup terganggu karenanya. Selain setiap kali harus menjawab pertanyaan teman-teman kerjanya, pikirannya menjadi bercabang, karena mau tak mau ia mesti sesekali memperhatikan ibunya. Di tempat tinggal mereka, tidak jarang ibunya membuat keributan. Untung induk semang mereka bisa memahami dan menerimanya. Dan ketika ada kamar yang kosong, mereka diperbolehkan menempatinya, sesuai kesepakatan di antara mereka.

Akhirnya karena tidak tahan dengan suasana kerja yang seperti itu, Tika menerima tawaran majikannya untuk dipindahkan ke bagian distribusi, di bilangan Jakarta Utara. Beberapa bulan lamanya semua berjalan dengan baik. Hingga kemudian terjadilah perbedaan paham antara kepala bagiannya dengan kepala bagian yang lain, karena kehadiran Tika yang dianggap dipaksakan dari atas. Dan dalam konflik itu Tikalah yang menjadi korban. Sehingga akhirnya karena tidak ada pilihan lain, Tika terpaksa mengundurkan diri.

Tika pulang ke kamar sewaannya dengan gundah, disambut oleh ibunya yang marah-marah mendengar penjelasan Tika. Akhirnya Tika tidak kuat lagi. Ia berlari ke luar kamar dan menangis tersedu-sedu di beranda. Melihat Tika menangis, istri induk semangnya menghampirinya dan berusaha menghiburnya. Tika yang telah sekian lama menahan berbagai tekanan dalam hatinya, kemudian tanpa dapat ditahan lagi mencurahkan isi hatinya di antara isak-tangisnya.

Sore harinya, induk-semang mereka memanggil Tika. Dengan ramah ia menyampaikan kepada Tika bahwa sementara belum mendapatkan pekerjaan, Tika tak perlu menguatirkan uang sewa. Nanti bila sudah mendapatkan pekerjaan, ia dapat mengangsur uang sewa yang ditunggaknya. Bukan hanya itu. Terkadang induk semangnya mengajak Tika dan ibunya untuk makan bersama mereka. Dan setelah dua bulan berselang, Tika mendapat pekerjaan, walau pemasukannya tidak selalu dapat dipastikan. Tika bekerja menjadi konsultan kecantikan, dengan jam kerja berdasarkan panggilan pelanggan.

Sang induk semang lagi-lagi menunjukkan hati emasnya. Ia bukan hanya menunda kewajiban Tika mengangsur uang sewa yang ditunggaknya, tetapi dengan berbisik-bisik ia menyampaikan kepada Tika bahwa uang sewa yang harus dibayarnya dikorting tigapuluh persen. Dengan mata berkaca-kaca Tika mengucapkan terima kasih. Tak henti-hentinya ia bersyukur kepada Tuhan, yang menuntunnya untuk tinggal di kamar sewa dengan induk-semang yang begitu baik hati.

Ternyata betapa pun kerasnya kehidupan di Jakarta, masih ada kelembutan dan kemurahan hati.

3

Pada suatu kali saya harus bepergian dengan pesawat terbang ke Surabaya untuk menghadiri sebuah rapat kerja gerejawi. Saya beruntung karena mendapatkan tiket promosi Garuda, sehingga perjalanan kali itu sedikit bergengsi, setidak bagi saya sendiri. Sejak pukul 4.30 saya sudah tiba di bandara, karena penerbangan saya adalah yang paling awal, pukul 6.00. Satu jam sebelum keberangkatan saya sudah “check-in” dan menunggu sambil melihat-lihat di toko buku.

Beberapa menit di toko buku, tiba-tiba diumumkan bahwa penerbangan saya ditunda selama 3 jam. Membayangkan harus menunggu saja sudah membuat saya kesal, belum lagi perut saya nanti pasti akan protes meminta diisi di restoran bandara yang cukup mahal. Sementara berjalan kian-kemari tanpa arah karena kesal hati, saya melihat beberapa ruang tunggu eksekutif (“lounge”). Praktis tidak pernah saya memasukinya, karena untuk itu diperlukan kartu kredit “platinum” yang tidak saya miliki.

Namun kemudian saya melakukan perhitungan sederhana dan cepat. Bila saya masuk restoran, saya setidaknya akan mengeluarkan uang 50 hingga 75 ribu rupiah untuk makan dan minum. Bila saya memasuki “lounge,” karena kartu kredit saya kurang sakti, saya akan ditagih sekitar 50 hingga 75 ribu rupiah. Namun di “lounge” saya dapat memilih berbagai makanan dan minuman. Lagi pula saya dapat duduk dengan nyaman, bahkan bekerja dengan komputer jinjing saya. Maka saya putuskan untuk masuk ke salah satu “lounge” di situ.

Untuk memasukinya, ternyata saya harus mengantri walau tidak terlalu panjang. Rupanya cukup banyak orang yang punya gagasan sama dengan saya. Ketika tiba giliran saya, saya pun mengeluarkan kartu kredit saya. Gadis yang melayani saya tersenyum seadanya, namun dengan tegas berkata:

“Bapak, kartu kredit Bapak hanya ‘gold,’ jadi akan kena ‘charge’ 75 ribu rupiah… Bapak mengerti dan bersedia membayarnya…?”
“Tentu. Saya mengerti,” jawab saya dengan sedikit kesal oleh ketidakramahannya.
“Baik.” kata sang gadis singkat dan hendak menggesek kartu kredit saya.

Tiba-tiba dari belakang saya seorang laki-laki setengah umur menepuk pundak saya.

“Maaf,” katanya kepada saya sambil melewati saya dan mengacungkan kartu kreditnya.
“Pakai kartu saya saja,” katanya kepada sang gadis yang tidak ramah itu. “Setahu saya kartu ini bisa untuk 2 orang.”
“Oh iya Pak… Bisa…” jawab si gadis dengan senyum lebar dan dengan suara yang sangat ramah. Setelah mengembalikan kartu kredit saya tanpa berkata apa-apa, ia menggesek kartu kredit laki-laki yang kini berdiri di sisi saya.
“Selamat datang di ‘lounge’ kami… Silakan Pak..”

Laki-laki dengan kartu kredit yang sakti itu tidak menjawabnya. Ia menoleh kepada saya dan tersenyum dengan ramah.

“Mari Pak… silakan…”
“Wah… Terima kasih sekali…”
“No problem, Pak…”
“Bapak ke Surabaya juga…?” tanya saya.
“Tidak.. saya ke Medan…”

Kami memasuki ‘lounge’ bersama-sama. Ia kemudian mempersilakan saya untuk duduk dan menikmati semua kemudahan di situ, sementara ia menuju arah yang berlawanan dan memilih tempat duduk yang menyendiri. Saya mengerti bahwa ia tidak menghendaki percakapan lebih lanjut dengan saya. Maka saya pun memilih tempat duduk yang nyaman di dekat jendela, dengan pandangan ke landasan.

Sambil duduk menikmati kopi, dan kemudian makanan, baik lumayan berat maupun ringan, saya memandang berkeliling. Saya melihat si laki-laki yang menolong saya sedang minum kopi dan asyik membaca koran. Ternyata, betapa pun, masih ada orang yang seperti dia. Orang yang begitu saja mengulurkan tangan, peduli, kepada orang yang sama sekali tidak dikenalnya.

4

Banyak orang tidak lagi percaya kepada orang lain, sehingga bersikap pesimistik terhadap kehidupan. Bagi mereka itu kiranya jelas, bahwa masih ada orang yang peduli pada sesamanya. Betapa pun, masih ada asa…

 

Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...