Sepasang suami-istri yang selalu ribut, bahkan juga ketika berkendaraan menuju gereja, otomatis mengadakan gencatan senjata begitu sampai di lapangan parkir gereja, dan keadaan damai ini terus bertahan sampai ibadah selesai.
Namun begitu mereka masuk ke mobil mereka kembali, sang suami mulai melancarkan serangan: “Tadi kamu dengar nggak apa yang dikatakan Pak Pendeta, bahwa istri harus tunduk kepada suami? Kamu ini malah selalu melawan suami. Kamu tidur ya, waktu mendengarkan khotbah?” Dengan tangkas sang istri membalas: “Aku mendengarkan. Mungkin kamu yang tidur. Tadi Pak Pendeta bilang kalau suami harus mengasihi istri dengan sepenuh hati. Nggak kayak kamu yang selalu berpikiran negatif.”
Ini hanya salah satu contoh riak kehidupan pasangan suami-istri. Masih banyak lagi kasus lainnya yang bahkan sampai kepada perceraian.
Pasangan suami-istri adalah dua insan yang berbeda dalam gender, kebiasaan, kebudayaan, tabiat, keadaan sosial-ekonomi, dan lain-lain., sehingga masing-masing perlu mengadakan penyesuaian, bahkan perubahan. Namun, perubahan yang bagaimana dan ke arah mana?
1. Masing masing orang perlu berubah sesuai dengan kehendak Tuhan. Hanya Tuhan yang dapat mengubah kita. Karena itu dengan doa dan kuasa Roh Kudus, perubahan bisa terjadi.
2. Namun masalahnya,
- kita tidak tahu caranya;
- kita merasa tidak mampu;
- kita tidak menginginkannya;
- kita tidak sadar bahwa kita memerlukan perubahan.
3. Menjadi pasangan berarti mempunyai kesempatan untuk berubah. Tuhan menunggu undangan kita untuk membantu kita berubah.
4. Kita tidak bisa mengubah orang, tetapi Tuhan dapat mengubah kita, dan ini adalah pekerjaan dari Roh Kudus. Tuhan membuat masing-masing kita sesuai dengan citra-Nya, dan Ia tidak ingin kita mengubah pasangan kita sekehendak hati kita.
Tugas kita adalah menerima pasangan kita seperti apa adanya, dan berdoa pada Tuhan untuk mengubah pasangan kita dan kita sendiri sesuai dengan kehendak-Nya.
Sebagai Pasangan Kita Tidak Terlepas Dari Masalah
Tuhan tidak pernah berkata bahwa kita tidak akan menghadapi masalah. Ketika seseorang menikah, ia harus siap untuk tidak saja menghadapi masalahnya sendiri, tetapi juga masalah pasangannya. Namun jika kita mengundang Tuhan dalam doa dan sungguh-sungguh berserah kepada-Nya, Ia akan membantu kita mengatasi masalah-masalah kita atau melewatinya dengan baik karena Ia sungguh mengasihi kita (Roma 8:37-39).
Konflik di Antara Suami-Istri Bisa Saja Terjadi Karena Tidak Adanya Komunikasi yang Baik
Pernikahan tanpa keintiman akan mati. Di antara pasangan suami-istri perlu ada rasa kedekatan.Tanpa komunikasi yang baik, kita tidak akan mengetahui perasaan dan pikiran pasangan kita, sehingga kita sulit membangun kehidupan bersama yang harmonis. Kita tidak boleh membuat asumsi sendiri dengan menganggap bahwa diri kita sudah tahu tanpa perlu mengadakan komunikasi dengan pasangan kita. Filipi 2:4 mengingatkan agar setiap orang tidak memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.
Berdoa Agar Kita Selalu Jujur dan Dapat Dipercaya
Pernikahan mutlak harus berdasarkan kepercayaan satu sama lain. Kalau suami-istri tidak saling percaya, siapa lagi yang bisa dipercaya?
Membohongi pasangan kita adalah perilaku yang sangat buruk karena menyebabkan rusaknya hubungan dengannya (Kolose 3:9) dan membuat kita semakin jauh dari Tuhan. Mazmur 102:7 mengatakan bahwa “orang yang melakukan tipu daya tidak akan diam di dalam rumah-Ku, orang berbicara dusta tidak akan tegak di depan mata-Ku.” Orang yang tidak berkomunikasi baik dengan pasangannya tidak bisa sepenuhnya jujur kepadanya, karena kejujuran membutuhkan komunikasi yang baik.
Untuk itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Jujur dalam perasaan terhadap pasangan kita
Kita harus mengatakan kepada pasangan kita kalau ada hal yang mengganjal atau sangat mengganggu di dalam perbuatan pasangan kita. Kalau kita tidak mengatakannya, pasangan kita mungkin tidak akan menyadarinya. Sebaliknya, kita menjadi sakit hati, marah, bahkan pada akhirnya tidak dapat mengampuninya. Meskipun demikian, menyampaikan teguran memang tidak mudah. Kita perlu memohon kepada Tuhan untuk membantu kita menyampaikannya dengan bijaksana, pada saat yang tepat, ketika emosi kita tidak meluap-luap, dan dengan tutur kata yang baik. Efesus 4:15 mengatakan, “…Dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih, kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus, yang adalah Kepala.” Pengkhotbah 3:7 juga memperingatkan. “…Ada waktu untuk diam dan ada waktu untuk bicara.” Janganlah kita meniru seorang ibu cerewet yang tidak memberi kesempatan kepada suaminya untuk berbicara, sehingga suaminya hanya bisa mengurut dada sambil bernyanyi “Haleluya.”
2. Jujur dalam mengutarakan pandangan atau pendapat (falsafah hidup)
Sangat penting bahwa setiap pasangan bertukar pikiran tentang rencana, kekuatiran, harapan/cita-cita ataupun mimpinya bagi masa depan. Di dalam Ayub 32:20, Elihu ingin mengemukakan pendapatnya, sehingga ia berkata, “Aku harus berbicara, supaya merasa lega, aku harus membuka mulutku dan memberikan sanggahan.”
Pasangan juga perlu terus-menerus melakukan penyesuaian satu sama lain, sebab masing-masing diproses dan berkembang secara berbeda dan perlu saling memahami.
3. Jujur tentang masa lalu kita
Masing-masing pasangan perlu memohon pertolongan Tuhan untuk bisa menerima pasangannya apa adanya. Untuk itu diperlukan kejujuran untuk mengungkapkan masa lalu dengan bijaksana dan pada saat yang tepat.
4. Jujur tentang apapun juga
Setiap kebohongan akan merusak kepercayaan yang sudah ada, dan itu berarti bahwa kita tidak menempatkan Tuhan sebagai prioritas di dalam hidup kita dan pasangan kita di tempat kedua.
Berdoa Kepada Tuhan Untuk Pasangan Kita
Kita mohon kepada Tuhan agar kita mempunyai telinga untuk mendengar dan hati yang mau memahami apa yang dikatakan oleh pasangan kita. Dalam Galatia 6:2 dikatakan, “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Demikian juga Roma 12:15 menasihatkan, “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita dan menangislah dengan orang yang menangis.”
Tuhan kiranya memberi kita hati yang bijaksana, dengan menunjukkan apresiasi kepada pasangan kita untuk segala hal positif yang dilakukannya, dan hati yang mendengar sehingga kita bisa merasa empati dan meringankan kepedihannya.
Marilah kita cepat untuk mendengar dan lambat untuk bicara.
Pengampunan
Di dalam kehidupan berumah tangga, kita tidak luput dari berbuat kesalahan, baik sengaja maupun tidak sengaja. Hendaknya kita tidak menjadi kolektor kesalahan pasangan kita, dan mau membebaskan diri dari memori-memori yang buruk untuk melihat ke masa depan yang penuh harapan. Tanpa kesediaan untuk saling mengampuni, ancaman perceraian sudah ada di ambang pintu.
Efesus 4:32 mengajarkan, “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagai Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” Yesus mengampuni kita secara utuh, tidak melihat kesalahan masa lalu kita dan mengingat-ingatnya lagi. Namun pengampunan tidak mungkin kita lakukan kalau Tuhan tidak membantu kita melakukannya setiap hari.
Pengampunan tidak berarti membiarkan pasangan kita berulang kali melakukan kesalahan yang sama atau serupa. Pengampunan juga tidak berarti membenarkan seluruh tindakan pasangan kita.
Ada seorang suami yang selalu marah-marah sepulang kerja. Istrinya yang heran melihat sikap suaminya, mencari waktu yang tepat untuk mengajaknya pergi bersama ke sebuah restoran, tanpa disertai oleh anak-anak mereka. Dari pembicaraan santai itu, si istri akhirnya mengetahui penyebab stres suaminya, yang tertekan oleh pekerjaan di kantor yang berat. Ia mendengarkan cerita suaminya dengan sabar dan penuh empati. Dan tiba-tiba si istri juga menyadari kesalahannya yang terlalu sibuk mengurus anak-anak sehingga kurang memberi perhatian kepada suaminya. Percakapan di antara kedua suami-istri ini berakhir dengan saling mengampuni dan tekad untuk semakin membuka diri satu sama lain.
Kalau kita merasa tidak bisa mengampuni pasangan kita, mintalah kepada Tuhan untuk membantu kita. Di dalam Zakaria 4:6 dikatakan, “…‘Bukan dengan keperkasaan dan bukan dengan kekuatan, melainkan dengan Roh-Ku,’ firman Tuhan semesta alam.” Kiranya Tuhan memampukan kita.
Di samping hal di atas, suami-istri juga perlu mencari waktu luang untuk berduaan (bulan madu kedua, ketiga…), baik pada waktu usia perkawinan masih muda, menengah maupun ketika keduanya sudah kakek-nenek. Hal ini dimaksudkan agar hubungan di antara mereka selalu terpelihara, bahkan semakin lama semakin baik, dan keintiman suami-istri dapat dipertahankan di tengah-tengah kesibukan masing-masing. Dengan pertolongan Tuhan, apa yang sudah dipersatukan Tuhan tidak diceraikan oleh manusia.
Nugroho Suhendro
Melbourne, April 2011
1 Comment
Pdt. Trisnanto
Maret 28, 2012 - 1:35 pmInilah kenyataan hidup termasuk pada pasangan suami/istri Kristiani, tidak dapat memegang kejujuran., padahal kejujuran sangat penting dalam sebuah pernikahan. Marilah membangun umat Tuhan dengan kejujuran.