Dalam kwartal akhir tahun 1983 saya diundang oleh GKI Malang untuk datang berkhotbah di jemaat GKI Malang, serta untuk berbincang-bincang dengan Majelis Jemaat dan Komisi-komisi di sekitar rencana pemanggilan saya untuk menjadi pendeta GKI Malang. Dari Jakarta, saya naik bis malam ke Surabaya menjenguk dua orang teman baik saya, Pdt. Agus Susanto yang waktu itu melayani jemaat GKI Diponegoro dan Pdt. Andreas Agus Susanto yang melayani GKI Residen Sudirman di Surabaya. Dengan mereka berdua dan teman-teman pendeta lain di Surabaya, saya bercakap-cakap tentang jemaat dan Majelis jemaat GKI Malang, yang nyaris tidak saya kenal, kecuali salah satu pendetanya, yaitu Pdt. B.A. Abednego. Keesokan paginya baru saya naik bis ke Malang.
Pada surat undangan tertera bahwa saya diinapkan di jalan Merapi, di rumah keluarga Penatua Hadi Gunawan. Turun di terminal saya naik becak. Perjalanan yang berlangsung sekitar seperempat jam, saya gunakan untuk menyerap suasana kota Malang yang saat itu pertama kali saya kunjungi.
“Ini jalan apa Pak?” tanya saya kepada pengemudi becak.
“Jalan Celaket… tadi Glintung, dan kalau diteruskan sesudah lampu merah di depan itu, namanya ganti jadi Kayu Tangan…”
“Oh…” desah saya tidak terlalu mengerti.
Di lampu merah yang disebutkan sang pengemudi becak kami belok kanan.
“Kalau ini jalan apa?”
“Oro-oro Dowo…”
“Kok tulisannya lain…?”
“Itu nama yang baru… saya hapalnya nama yang lama.”
Di Oro-oro Dowo hanya sejenak lalu belok kiri agak menanjak menyusuri jalan Buring. Maka mulailah saya memasuki kawasan yang dikenal di Malang sebagai daerah gunung-gunung yang elit. Banyak rumah dengan gaya kolonial masih tegak dan megah berdiri, tidak kalah dibandingkan dengan rumah-rumah moderen. Setelah menyusuri jalan Buring beberapa saat, akhirnya kami berbelok kiri masuk ke jalan Merapi. Kami lalu berhenti di depan rumah keluarga Hadi Gunawan. Sebuah bangunan lama, dengan gaya kolonial, putih bersih, apik dan asri. Saya amat menyukainya.
Pembantu yang membukakan pintu mempersilakan saya masuk ke ruang tamu yang amat bersih dan teratur rapi, dengan perabot yang tua tetapi kokoh dan indah. Seraya menyuguhkan minum dan kue-kue, sang pembantu memberitahukan bahwa Bapak dan Ibu sedang ke Surabaya, sehingga saya akan dijemput untuk diantar ke rumah penatua Indra dan menginap di sana. Bapak Hadi Gunawan akan mengunjungi saya nanti malam bersama beberapa penatua yang lain.
Malamnya tiga penatua, termasuk Pak Hadi Gunawan yang menjabat sebagai Ketua Bidang Penatalayanan, beserta Pdt. Abednego, datang mengunjungi saya untuk mempersiapkan pertemuan esok malamnya dengan para penatua, aktivis dan wakil anggota jemaat. Penatua Hadi Gunawan menjabat tangan saya dengan kuat, sambil tersenyum simpul beliau memperkenalkan diri.
“Selamat datang di kota Malang Saudara Purboyo…”
“Terima kasih, Pak.”
Penatua Indra beserta istri menyambut para tamu, dan secara khusus menyalami Pak Hadi Gunawan.
“Selamat malam Oom… Nggak capek habis dari Surabaya?”
“Ah sudah biasa kok. Apalagi menyambut tamu penting dari Jakarta ini…”
Sejak saat itu sayapun memanggil Penatua Hadi Gunawan dengan “Oom”, karena memang usianya lebih tua ketimbang ayah saya. Namun saya tidak pernah bisa merasa akrab dengan beliau. Karena beliau adalah sosok yang sangat serius bahkan cenderung kaku, walau senyum simpulnya jarang meninggalkan wajahnya. Tetapi terkadang di saat tak terduga beliau bisa berkelakar, dan saya biasanya terlambat memahaminya. Pada suatu saat seusai sebuah kebaktian rumah tangga, beliau bertanya:
“Pak Pur mau pulang atau mau ke gereja… he he he…?”
Saya sempat terdiam tidak mengerti, lalu setelah sesaat baru saya tersenyum lebar. Di Malang kami memang menempati pastori yang terletak tepat di belakang gedung gereja, sehingga pulang berarti juga ke gereja.
Penatua Hadi Gunawan juga adalah seorang yang sangat berprinsip. Beliau selalu berpegang pada Tata Gereja, keputusan Rapat Majelis Jemaat dan prinsip kepantasan dalam kehidupan bergereja. Misalnya saja, sejak saya ditahbiskan menjadi pendeta, beliau mengubah sapaannya terhadap saya.
“Pak Pur…”
“Kok ‘pak’, Oom…?”
“Kan sekarang sudah pendeta… Malahan kalau setia dengan tradisi GKI Malang, mestinya saya panggil Pak Pur dengan ‘Do’…”
“Do…?”
“Ya ‘Do’, kependekan dari ‘Dominee’ dalam bahasa Belanda yang berarti pendeta… Oke Do…?”
Namun di rapat Majelis Jemaat lain lagi ceritanya. Dalam rapat Penatua Hadi Gunawan adalah seseorang yang amat jelas dan tegas berpendirian. Beberapa teman pendeta di Surabaya menyebutkan namanya di antara beberapa anggota Majelis Jemaat yang keras dan sulit, yang kerap menentukan suasana dan arah rapat Majelis Jemaat GKI Malang. Dan memang tidak jarang kami bersilang pendapat bahkan bertabrakan dengan keras.
Namun beliau tidak pernah membawa perbedaan pendapat dalam rapat ke ranah relasi pribadi. Bahkan pernah setelah malam sebelumnya kami berdua beradu argumentasi sehingga muka kami masing-masing menjadi merah, keesokan paginya beliau mengunjungi saya di rumah. Saya menyambut beliau dengan sedikit bertanya-tanya apakah beliau hendak melanjutkan percakapan alot kami sebelumnya. Namun selama lebih dari setengah jam kami hanya bercakap-cakap tentang hal-hal yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kemajelisan. Baru ketika beliau berpamitan dan saya menghantarnya di pintu, beliau tersenyum simpul dan berkata:
“Do… saya cocok dengan Do…”
“Oh…?”
“Do benar-benar pendeta GKI… Selamat pagi.”
Saya mengangguk-angguk walau kurang mengerti. Tetapi setidaknya itulah barangkali cara beliau untuk mengatakan bahwa di antara kami tidak ada masalah walau kami kerap berbeda pendapat. Dan tidak hanya sampai di situ kebesaran jiwa beliau.
Pernah pada suatu kali, sebagai ketua Bidang Penatalayanan, beliau memutuskan untuk menebang sekitar lima batang pohon palem raja di halaman gereja, demi memudahkan anggota jemaat memarkir mobil mereka. Saya amat suka dan bangga dengan pohon-pohon palem itu. Lagipula beliau sama sekali tidak berunding dahulu dengan anggota Majelis Jemaat yang lain, atau setidaknya dengan Badan Pimpinan Harian.
“Oom… butuh puluhan tahun sehingga palem-palem itu begini besar. Dan Oom hanya membutuhkan beberapa jam untuk membunuh mereka…!” tegur saya dengan marah.
“Do… saya melakukannya demi kepentingan jemaat, bukan kepentingan saya…!” jawab beliau, juga dengan nada tinggi.
Saya terdiam dan dalam hati membenarkannya. Namun saya masih merasa sayang dengan pohon-pohon palem yang indah itu. Lagipula saya agak jengkel dengan keputusannya untuk menebangi pohon-pohon palem itu tanpa berunding dengan Majelis Jemaat.
“Begini Oom… Kalau sebelumnya Oom mengajukan ini dalam rapat majelis Jemaat atau merundingkannya dengan Badan Pimpinan Harian, maka saya akan mengerti, walau saya tetap amat menyayangkannya. Tetapi sekarang, protes atau argumentasi apapun tidak ada gunanya… Pohon-pohon yang indah ini sudah Oom tebang…!”
Oom Hadi Gunawan terdiam dan menghela napas dalam-dalam beberapa kali. Kelihatan betapa beliau berusaha untuk mengendalikan emosinya. Akhirnya dengan mengangguk-angguk beliau mengulurkan tangannya kepada saya.
“Do benar… seharusnya saya mengkonsultasikannya dulu dengan Majelis Jemaat. Saya minta maaf…”
Saya menjabat tangan Oom Hadi Gunawan dengan erat dan dengan terharu. Di tempatnya, saya belum tentu dapat melakukan apa yang ditunjukkan beliau kepada saya yang jauh lebih muda daripadanya. Sesudah insiden itu Oom Hadi Gunawan berusaha sebisanya untuk menjadikan halaman gereja tetap hijau walau tak ada lagi pohon-pohon palem yang indah itu. Dan sejak saat itu hampir selalu beliau mengajak saya berunding tentang rencana-rencana beliau di sekitar sarana dan prasarana gereja serta banyak hal lainnya. Dan saya berkesempatan untuk mengenal beliau dengan lebih baik.
Di tengah kesibukan beliau di pabrik permen yang dimiliki dan dipimpinnya, Oom Hadi Gunawan hampir setiap hari mampir ke gereja. Sekali dalam beberapa bulan beliau mampir ke pastori-pastori empat pendeta dengan menaiki jip Toyota hardtop abu-abu kesayangannya, untuk memeriksa apakah semuanya dalam keadaan baik. Saya teringat kepada keadaan rumah beliau yang juga sangat rapi dan terpelihara. Rupanya itulah juga yang diupayakannya pada seluruh aset GKI Malang, yang terbaik.
Beliau juga selalu bersedia bila saya ajak mengunjungi anggota jemaat yang sakit di luar kota. Terutama bila ke Surabaya beliau hampir pasti turut karena pulangnya beliau bisa mampir sebentar menengok putri beliau dan keluarganya yang tinggal di bilangan Rungkut. Dalam perundingan-perundingan kerjasama antara GKI Malang dengan Gereja Kristen Tuhan dan gereja-gereja lain, beliau selalu bersedia dilibatkan. Motivasi beliau amatlah gamblang: yang terbaik bagi gereja Tuhan, khususnya GKI Malang. Itu pula sebabnya mengapa beliau sempat ragu bahkan skeptis atas rencana mengembangkan GKI Malang menjadi GKI Tumapel dan GKI Bromo. Tetapi begitu Majelis Jemaat memutuskannya, beliau menerimanya dan turut mewujudkannya.
Teman-teman pendeta di GKI Jatim terkadang menanyakan apakah saya mengalami kesulitan dalam pelayanan bersama para penatua yang “sulit”, termasuk Oom Hadi Gunawan.
“Ah…. memang mula-mula agak kaget, tetapi lama-lama kami saling menyesuaikan diri dan belajar…” jawab saya dengan jujur.
Dan memang dari Oom Hadi Gunawan saya banyak belajar. Mengenai GKI Malang dengan segala latar belakangnya. Mengenai pelayanan Majelis Jemaat pada umumnya dan pelayanan seorang penatua pada khususnya. Dan mengenai diri saya sendiri. Tak akan pernah saya lupakan apa yang beliau katakan kepada saya menjelang keberangkatan saya ke Belanda untuk studi:
“Do, saya sangat menyayangkan Do pergi, sementara rencana pengembangan GKI Malang belum terlaksana…”
“Kan ada Pak Abed dan rekan-rekan yang lain, Oom…?”
Oom Hadi Gunawan memasang senyum simpulnya yang khas itu.
“Oke Do, goede reis (Selamat jalan) … ini pada akhirnya selain demi kebaikan Do sendiri, juga demi kebaikan GKI Malang, bahkan demi kepentingan Sinode GKI Jatim… God zegent (Tuhan memberkati) …”
Bagi saya mengenang masa pelayanan di Malang tak bisa tidak mengingatkan saya pada Oom Hadi Gunawan. Sekarang beliau dan Tante Bwee, istri beliau, sudah tiada. Tetapi mereka tetap hidup dan menempati tempat yang khusus di hati saya.
Dulu, di Malang, di ruang tamu Oom Hadi Gunawan di jalan Merapi, tergantung beberapa foto keluarga. Oom Hadi Gunawan, Tante Bwee, tiga putra, yang waktu itu sedang studi di luar negeri, dan satu putri, yang tinggal di Surabaya. Sekarang, di GKI Pondok Indah, ketiga putra Oom Hadi Gunawan adalah anggota-anggota jemaat yang aktif beserta keluarga masing-masing, dalam berbagai pelayanan di GKI Pondok Indah: Hindra Tjahjadi, Chris Wibisono dan Singgih Tjahjono.
Melihat mereka saya serasa mengalami kembali pelayanan bersama Oom Hadi Gunawan.
Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
1 Comment
kaleb
Januari 29, 2012 - 11:24 pmwah wah waaaaah andai semua pelayan TUHAN seperti Om Hadi Gunawan, betapa indahnya Gereja kita….
tp knapa ya sdh mo sethn kq g ada yg komentari tulisan ini?