Sudah dua tahun ini aku bergulat dengan kesibukan mengurus adik-adik asuh. Apa yang paling berat dalam kegiatan ini? Berjuang untuk memeluk anak-anak jalanan itu? Berjuang untuk menyayangi mereka yang berbeda keyakinan denganku? Berjuang untuk memberikan waktu dan pikiranku bagi mereka? Itu semua memang tidak mudah, tapi yang paling berat bukan itu…
Ada rasa tak suka saat seorang anak kecil ikut bergabung dengan kami, duduk, makan dan mengobrol bersama kami. Tinggal menyuruhnya pergi, maka semuanya beres. Tapi, it’s not that easy, apalagi yang membawanya untuk bergabung dan melayaninya adalah teman sepelayananku sendiri. Lalu apa salahnya anak kecil itu? Masalahnya hanya satu, dia adalah adik sepupuku.
Dalam ketidaktahuannya kalau kami bersaudara, temanku dengan sangat baik telah menghadapi anak kecil itu, sedangkan aku malah sudah bertahun-tahun tidak melakukan apa-apa untuknya. Aku tidak membantunya belajar dan berjuang untuk sekolahnya, membiarkannya tumbuh sendiri setelah sebuah kisah tragis merampas kebahagiaan hidupnya, bahkan juga tidak berbicara kepadanya. Saat itu juga, di dalam hati terdalamku, aku ingin menanggalkan status kakak asuh itu. Aku enggan berurusan dengannya dan memilih untuk diam dan tidak mengacuhkannya. Namun perlahan-lahan, bersama dengan bergulirnya waktu, aku mulai terbiasa dengan kehadirannya dan sedikit melibatkannya dalam kegiatan ini. Aku mulai berbicara dengannya dan memberinya dorongan semangat untuk terus berprestasi. Aku tahu, apa yang kulakukan masih jauh dari cukup….
Lalu datang anak kecil kedua. Ia hadir dengan wajah yang berbeda. Entah sejak kapan, aku mulai menyadari bahwa ia tersingkir dari zona nyamannya ketika keluarganya tidak lagi bersatu dan orang-orang mulai enggan menjaganya. Mulai kulihat wajah-wajah acuh tak acuh di sekelilingnya, dan belaian serta kasih sayang tidak lagi diterimanya. Apa yang salah dengannya? Bukan, bukan dia yang salah, tapi orang-orang yang seharusnya membinanya agar menjadi pribadi yang santun, tidak menjalankan tugas mereka dengan baik. Akupun terkadang sulit mendekati dan menyayanginya karena sikapnya yang suka menjengkelkan.
Suatu hari, aku memberinya sebuah tugas untuk bertanggung jawab terhadap adik sepupunya yang lebih kecil. Saat si kecil mulai rewel, pandangan mataku sudah cukup baginya untuk menyadari tugasnya. Segera ia membujuk dan mengalihkan perhatian si kecil. Betapa menyenangkan melihat mereka duduk berdampingan dan makan bersama. Ia begitu cepat menjadi dewasa dalam kesendiriannya. Aku merasa tak berdaya karena tak sanggup terus menjaganya.
Mengapa aku sulit mencintai anak-anak Tuhan ini? Mengapa mereka harus tmengalami luka batin? Mengapa tidak ada taman-taman Firdaus yang melindungi mereka dari kejahatan orang dewasa? Mungkinkah suatu hari nanti aku akan kehilangan mereka, jika aku tidak serius menjalankan perintah Kristus dan bersembunyi di balik dalih keterbatasan? Aku mohon pimpinan Tuhan untuk memberikan kesabaran dan kasih dalam melayani anak-anak ini.
Irvinia Margaretha
1 Comment
ade tanesia
Februari 14, 2011 - 1:18 pmSebuah pengakuan yang luar biasa. Tuhan akan membimbing anda untuk mencintai anak-anak. syalom