Perkenalan pertama saya dengan gereja bukan melalui katekisasi, bukan pula melalui sekolah teologi. Saya pertama kali datang ke gereja pada saat berusia beberapa bulan. Dengan tubuh montok, saya dibawa orangtua saya untuk dibaptiskan di GKI Cawang dan dilayani oleh alm. Pdt. Suradji.
Kesan itu sangat mendalam bagi saya, khususnya karena sejak kecil beberapa foto baptis saya sering diperlihatkan orangtua saya sambil bercerita, “Waktu itu di gereja ada tiga ibu hamil yang selalu berlatih paduan suara bersama-sama. Lihat, ini fotonya! Lalu kami melahirkan di waktu yang berbeda-beda namun pada saat itu (sambil menunjuk foto baptis saya) kami membaptiskan anak bersama-sama.”
Itulah makna gereja yang pertama kali saya pahami. Gereja adalah tempat di mana orang-orang percaya bersikap aktif dan berinisiatif untuk menyerahkan anak-anak mereka sejak kecil kepada Tuhan. Gereja juga tempat di mana ibu-ibu hamil tetap melayani Tuhan dan di mana tak sesuatupun dapat menghalangi orang untuk beribadah dan melayani Tuhan.
Hal kedua adalah ketika saya mengajari ibu saya bagaimana mengajar di Sekolah Minggu. Seingat saya waktu itu saya berusia 5 tahunan. Ibu saya mengatakan bahwa ia akan ikut melayani sebagai guru Sekolah Minggu, tetapi belum mengenal suasana di tempat itu, kecuali bahwa ada banyak anak yang beribadah kepada Tuhan. Lalu, dengan sikap sok tahu, saya membawa sebuah kantong ke kamar dan mengandaikan ibu saya sebagai murid Sekolah Minggu, “Begini Ma, nanti ada persembahan. Semua anak memberi persembahan dan kantong ini diedarkan kepada mereka,” demikian kira-kira perkataan saya kepada ibu saya.
Bukan itu saja, dengan bangganya saya mengikuti ibu saya dalam persiapan guru Sekolah Minggu. Waktu itu persiapan tidak dilakukan pada hari Minggu atau Sabtu namun pada sore hari dan seingat saya dibagi menjadi dua atau tiga kelompok. Tidak heran, saya jadi sangat tidak suka mendengarkan cerita Alkitab di hari Minggu, saat seorang kakak tidak mampu bercerita dengan baik seperti yang saya dengar di persiapan tersebut.
Melalui pengalaman ini saya belajar, bahwa gereja adalah tempat di mana orang mempersiapkan diri untuk melayani Tuhan. Ada orang-orang yang bersungguh-sungguh dan sepenuh hati melayani, bahkan dalam keadaan lelah dan sampai jauh malam. Masih terbayang di benak saya canda tawa mereka, baik kakak-kakak remaja, pemuda atau guru-guru Sekolah Minggu.
Gereja adalah tempat di mana orang-orang senang melayani Tuhan tanpa pamrih. Tetapi juga berisi orang-orang yang menyepelekan tugas-tugas mereka dengan melakukan seadanya. Hal itu terlhat dari guru-guru Sekolah Minggu yang cepat marah, suka sekali datang terlambat dan masa bodoh saat berpapasan dengan anak kecil seusia saya.
Hal ketiga yang saya pelajari tentang gereja adalah ketika saya harus menunggui ayah saya mengikuti rapat Majelis. Rasanya lama sekali menunggu orang-orang dewasa itu berbicara. Saya ingat waktu itu, karena kaki mungil saya, gereja terasa sangat besar dan menyenangkan untuk digunakan sebagai tempat berlarian. Keringat mengucur dengan banyaknya, namun rasanya saya tidak pernah bosan berlari mengelilingi gedung gereja, baik di dalam maupun di luarnya. Sementara itu, setiap kali saya berjumpa dengan ibu saya, ia sibuk bercakap-cakap dengan beberapa ibu yang juga menunggu suami mereka. Bukan kebetulan jika setiap Minggu seorang bapak (kami menyebutnya ‘Nko’–panggilan untuk orang keturunan Tionghoa), selalu berjualan mi bakso dan pangsit. Enak sekali! Tentu saja ibu saya selalu membelikan mi jika Ayah mengikuti rapat. Itulah hadiah yang menyenangkan sebagai upah menunggu.
Melalui pengalaman itu saya belajar bahwa gereja adalah tempat di mana setiap anggota keluarga dengan senang hati dan tanpa bersungut-sungut saling mendukung untuk melayani Tuhan. Tidak heran jika saat SD, saya juga mengalami bagaimana orangtua saya mengantar dan menunggui saya mengikuti latihan ini dan itu. Beberapa latihan kadangkala dilakukan untuk acara yang berbeda di sebuah perayaan gerejawi. Ada latihan menari, drama atau paduan suara. Bukan itu saja. Hal terindah yang saya alami adalah ketika kami sekeluarga diajak menemani Ayah yang mendampingi sebuah Bible Camp. Menyenangkan sekali menjadi peserta termuda dan ikut menggunakan seragam Camp.
Apakah pengalaman seperti itu juga dialami oleh anak-anak di gereja mula-mula? Saya sendiri tidak tahu jawabnya. Yang saya ketahui melalui Kisah Para Rasul 2:42-47 adalah bahwa jemaat dalam gereja mula-mula itu selalu berkumpul dan bertekun dalam pengajaran.
Ada beberapa kata yang menarik untuk kita pahami dan teladani:
Pertama, mereka bersatu.
Apa yang mereka lakukan? Mereka menjual harta mereka dan membagikan kepada orang-orang sesuai dengan keperluan mereka, karena mereka terjepit sebagai kaum minoritas. Ada yang harus meninggalkan pekerjaan mereka, bukan saja karena pekerjaan itu bertentangan dengan iman mereka, tetapi juga karena majikan mereka tidak suka kepada mereka akibat agama Kristen yang mereka anut.
Di zaman ini, persatuan belum tentu atau bahkan tidak dilakukan dengan cara yang sama dengan jemaat mula-mula. Memang ada sebagian orang yang meneruskan tradisi itu secara harfiah. Misalnya, para pemimpin Essena dari Komunitas Qumran di Timur Yerusalem berkomitmen untuk sama-sama memiliki harta mereka. Namun pesan yang lebih penting dari dari persatuan ialah persatuan jemaat Tuhan untuk memenuhi kebutuhan bersama.
Kalau Yesus sengaja memanggil para murid-Nya dalam kemiskinan total agar mereka saling bergantung dan mendukung, di zaman ini bisa jadi kemiskinan total yang Tuhan izinkan terjadi ialah kemiskinan pengalaman hidup rohani, termasuk kemiskinan anak-anak generasi penerus kita dalam menikmati pengajaran kristiani.
Itulah sebabnya, salah satu persatuan yang dilakukan di gereja kita sejak beberapa bulan terakhir ini adalah persatuan para ibu rumah tangga. Pada setiap hari Selasa, kami bersatu untuk memikirkan kebutuhan anak-anak pada masa kini. Melalui persatuan itu, kami memimpikan hadirnya “Bina Iman Anak.”
Jika di jemaat mula-mula, orang-orang percaya tercerai-berai dan “kering” dalam spiritualitas tanpa persatuan, demikian juga tanpa adanya gereja orang-orang percaya zaman ini, orang akan semakin individualistis dan mati rasa terhadap kehidupan beriman.
Apakah Saudara termasuk orang-orang yang telah menjauh dari gereja atau merasa jauh dari kehidupan bergereja? Ingatlah, diperlukan tindakan aktif dan inisiatif dari kita untuk menyambut gereja Tuhan, yang disediakan untuk kita di zaman ini.
Kedua, mereka bertekun.
Dalam bahasa lainnya dikatakan mereka listening (mendengarkan). Orang percaya dalam jemaat mula-mula tekun mempelajari firman Tuhan. Mereka sangat menikmati berkat Tuhan sehingga mereka tidak putus-putusnya menggali dan mempelajari firman Tuhan. Sebaliknya, orang percaya yang tidak pernah belajar hal baru tentang firman Tuhan, adalah orang Kristen yang kehilangan berkat yang Tuhan sediakan bagi dirinya.
Banyak orang hanya ingin belajar secara kognitif dari khotbah yang mereka dengar pada kebaktian Minggu. Akhirnya ibadah Minggu tidak lebih dari duduk di bangku kuliah. Kita mengeluh saat dosen tidak mengajarkan hal-hal yang menarik untuk kita catat dan tidak menyampaikan kuliahnya dengan metode yang menakjubkan. Padahal pembelajaran yang sesungguhnya, terjadi ketika kita dengan tekun menantikan pesan dari Tuhan melalui berbagai cara. Tuhan dapat memberi pesan kepada kita saat kita berelasi dengan rekan sepelayanan kita, Tuhan juga dapat memberi pesan saat kita ramah kepada warga jemaat lainnya ketika minum teh sepulang kebaktian Minggu. Bahkan Tuhan mau memberi pesan saat kita terbuka untuk dibina, bersekutu dan ikut ambil bagian dalam panggilan untuk melayani-Nya.
Ketiga, mereka bersekutu.
Tahukah Saudara bahwa kualitas sebuah relasi hanya dapat diperoleh dengan adanya kuantitas dari pertemuan itu sendiri? Di zaman ini, kita dapat bertemu melalui handphone. Berbagai layanan telekomunikasi menawarkan pembicaraan dalam bentuk kelompok sehingga sekalipun tanpa tatap muka dengan orang-orang yang kita ajak bicara, kita sudah dapat tersenyum geli membaca ide dan pendapat mereka. Apakah hal itu merupakan persekutuan yang kontekstual di zaman ini? Tentu saja pertemuan secara fisik diperlukan, karena melalui pertemuan secara fisiklah kita diperkaya dengan berbagai perasaan yang menghidupkan jiwa kita.
Selain itu, persekutuan merupakan cara agar kemurahan hati kita muncul satu sama lainnya. Dalam jemaat mula-mula, mereka sampai menjual tanah milik mereka. Rupanya persekutuan membuahkan kemurahan hati. Roh Kudus bekerja sehingga saat mereka bertemu muka dengan muka dalam kumpulan orang percaya, hati mereka digerakkan untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing.
Terakhir
Tetapi bukan yang terburuk, justru sebuah gereja seharusnya menjadi gereja yang memberitakan Injil Tuhan. Di dalam Kisah Para Rasul 2 tadi dikatakan bahwa Tuhan menambah jumlah mereka setiap hari (ayat 47). Dan dengan jelas disebutkan bahwa penambahan jumlah mereka bukan karena mereka ingin makan bersama atau mendapatkan jatah hasil penjualan tanah yang dibagi-bagikan, tetapi karena mereka memberi diri sebagai orang yang diselamatkan.
Saya kira, makna pekabaran Injil di dalam konteks hidup bergereja kita tidak melulu harus mengkristenkan seseorang yang bukan Kristen. Tetapi tugas kita adalah mengupayakan dan mendoakan agar di satu sisi, banyak yang memberi diri mereka kepada Tuhan dan di sisi lain, mereka menyadari bahwa mereka adalah orang-orang yang diselamatkan.
Pertanyaannya, siapakah mereka? Beranjak dari pengalaman saya yang mungkin saja sangat subjektif, saya kira kita harus segera mulai dengan memberitakan Injil kepada anak-anak dan cucu-cucu kita. Mereka adalah generasi penerus, generasi yang dapat hilang dari gereja dan meninggalkan gereja. Kitalah yang bertanggungjawab, kitalah yang mendapat tugas dari Tuhan untuk memberi diri bagi generasi kita selanjutnya, agar mereka mengenal gereja, bersatu, bertekun dan bersekutu bersama generasi mereka di gereja kita. Siapkah kita mendukung dan mengantar mereka?
[Pdt. Riani Josaphine]
4 Comments
timoty.shores
November 1, 2010 - 10:05 amMembaca tulisan ibu Pdt.Riani Josaphine untuk menjadikan gereja tempat bersatu,bertekun dan bersekutu sangatlah baik namun perlu dicermati bahwa kegiatan-kegiatan pada Kisah Rasul pasal 2 ini didahului oleh pencurahan Roh Kudus akibatnya ,(a)khotbah Petrus berkuasa dan (b) serta tanda-tanda ajaib dan mujizat menyertai para Rasul dan inilah yang membuat jemaat mula-mula termotivasi bersatu,bertekun,bersekutu..dsb.
Phenomena pada Kis.2-ini tidak lagi ada pada gereja sekarang ini,karena pengajaran gereja tertutup untuk hal-hal yang “Supranatural” (Kis.2) dan menerima pengajaran “Rasionalism” yang membuat gereja tampil tidak berbeda dengan lembaga-lembaga sosial yang di luar Kristus yang tanpa “Kuasa” apa-apa. walaupun setiap ibadah Minggu mengucapkan “Aku percaya akan Roh Kudus “
Tidak perlu heran kalo ada orang yang ingin belajar kognitif dari khotbah yang mereka dengar bukan lagi khotbah yang penuh “Kuasa” tapi khotbah yang intelektualistik yang akhirnya ibadah-ibadah kering dan ibadah Minggu tidak lebih duduk di bangku kuliah.
Semoga tulisan ibu Pdt.Riani Josaphine ini mendorong kita berdoa agar Tuhan Yesus bersedia menghadirkan “Kuasa-kuasa Roh Kudus” dalam gereja dan gereja bersedia membuka diri untuk hal-hal itu dan tidak perlu khawatir adanya generasi yang meninggalkan gereja karena “Kuasa Roh Kudus”Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.…………Tuhan Yesus memberkati ibu Pdt.Riani Josaphine……………………..Amin
Martinus
November 1, 2010 - 2:52 pmDear Ibu Riani,
Terima kasih atas tulisan ibu di atas. Gereja adalah tempat untuk mempersiapkan diri
kita melayani Tuhan. Namun disamping itu, gereja juga menjadi tempat bersejarah
bagi masing-masing dari kita. Itulah pengalaman rohani yang dialami sejak dari kecil.
Sekali lagi terima kasih.
Tuhan Yesus memberkati pelayanan ibu.
Pdt Riani Josaphine
November 18, 2010 - 7:32 amPak TImoty dan Pak Martinus terima kasih untuk komentarnya. Selamat melanjutkan hidup bergereja, bertumbuh dan mendorong kemajuan iman orang lain. GBU
shui kim hong
April 18, 2014 - 1:15 amTuhan Yesus memberkati ibu
Pdt Riani josaphine
Selalu
Amin