Dulu, rumahku setiap Jumat pagi didatangi oleh seorang pengemis. Pukul enam dia sudah duduk bersila di depan pintu ruang tamu. Pengemis itu seorang bapak tua yang kurus. Ia cukup tinggi, tetapi bungkuk. Ia selalu mengenakan baju polos yang lusuh dan celana pendek selutut, sehingga memperlihatkan tungkainya yang kurus. Sebuah ikat kepala berwarna hitam dan tongkat kayu menjadi bagian dari seragam wajibnya.
Aku tak ingat ia membawa kaleng untuk wadah koin atau tidak. Yang aku ingat, dia setiap kali menadahkan tangan dan berkata, “Nyuwun, Den… sak paring-paring” (Minta, Tuan… terserah mau memberi berapa). Kadang-kadang jika tak ada seorang pun yang muncul, dia akan berseru lebih keras sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya. Seruannya itu akan terdengar sampai dapur, saat kami sedang sibuk mempersiapkan sarapan dan mengantri kamar mandi. Seruannya yang semakin keras dan ketukan tongkatnya itu selalu membuat kami tergopoh-gopoh ke depan untuk memberinya receh. Terus terang suaranya yang keras itu agak mengganggu. Semakin cepat kami memberikan uang receh, ia semakin cepat pergi.
Biasanya aku yang disuruh untuk memberi receh kepada pengemis itu. Paling sering ia kuberi lima puluh rupiah. Tetapi kalau aku sedang berbaik hati, aku memberikan seratus rupiah. Tentu saja uang itu bukan uangku sendiri, tetapi kuambil dari dompet Ibu atau Mak’e–tukang masak di rumahku sekaligus pengasuh aku dan kakakku ketika orang tuaku sedang bekerja. Seingatku, pengemis itu tak pernah tersenyum setiap kali mendapat uang. Ia hanya bergumam, “Nuwun” (Terima kasih). Lalu perlahan-lahan bangkit dan melanjutkan perjalanan.
Suatu kali bapakku bercerita bahwa kawannya pernah memberi pengemis itu sebuah baju batik yang masih layak pakai. Tak lupa, ia dipesan supaya baju itu dipakai. Tetapi beberapa hari kemudian, ketika pengemis itu muncul lagi, ia tak memakai baju batik itu, dan kembali mengenakan baju polosnya yang lusuh. “Tentu saja baju batik itu tak dipakai. Nanti tak ada orang yang mau memberinya uang,” begitu kata Bapak.
Suatu hari, aku menceritakan pengemis ini kepada suamiku. Lalu aku bertanya apakah ada seorang pengemis yang sering datang ke rumahnya. “Pengemis? Di tempatku tidak ada pengemis. Pengamen juga tidak ada. Paling-paling hanya ada orang gila. Itu pun tidak banyak.”
Dia lalu melanjutkan bahwa di kampungnya, meskipun ada orang miskin, orang itu tidak sampai mengemis. Mereka masih punya rumah, dan untuk makan, mereka masih bisa mengandalkan hasil ladang seperti tanaman singkong atau mengambil tanaman di hutan yang bisa dimasak. Untuk lauk, mereka bisa menangkap ikan di sungai atau di laut. Barang-barang yang sulit mereka nikmati di antaranya beras, garam, gula, dan bumbu-bumbu dapur.
Aku awalnya tak percaya dengan cerita suamiku. Masak sih sama sekali tak ada pengemis atau pengamen? Mungkin waktu dia masih kecil memang tak ada. Tapi sekarang apakah masih belum ada juga?
Beberapa waktu lalu aku ikut pulang ke kampung halaman suamiku, di Tanjung Pandan. Dan rupanya memang benar, di sana tak ada pengemis atau pengamen. Aku hanya menjumpai satu orang yang tampaknya kurang waras berkeliaran di jalan raya. Ia seorang perempuan tua, dengan rambut awut-awutan, dan ke mana-mana membawa kantong yang cukup besar, yang tampaknya penuh dengan barang-barang bekas.
Kupikir, memang wajar jika di sana tidak ada pengamen atau pengemis. Bagaimanapun, di sana lahan masih sangat luas dan masih banyak pula lahan kosong. Jika orang sampai tak punya rumah, itu mustahil. Kurasa jika mau sedikit berusaha, orang miskin masih bisa hidup layak.
Aku tidak tahu bagaimana dengan pulau lain di Indonesia (selain Jawa dan Belitung), apakah ada pengemis atau tidak? Bagaimanapun, dibutuhkan “keberanian” untuk tidak malu menjadi peminta-minta. Bagaimanapun orang yang miskin, tidak serta-merta menjadi pengemis, kan? Atau… jangan-jangan, mengemis itu termasuk salah satu budaya (di) Jawa saja ya? Adakah yang tahu?
(http://blognyakrismariana.wordpress.com- 8 Juli 2010)
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.