Perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia adalah hari yang selalu diperingati dengan penuh semangat dan kemeriahan oleh masyarakat kita. Berbagai macam acara dan permainan menarik seperti panjat pinang, balap karung, lomba karaoke, pertandingan bulu tangkis dan sepakbola diselenggarakan dengan meriah oleh masyarakat di wilayah maupun oleh masing-masing komunitas meskipun kesulitan ekonomi terus menerpa diri mereka tanpa hentinya sejak krisis moneter tahun 1998. Tetapi apakah betul bangsa kita sudah benar-benar merdeka sehingga patut dirayakan oleh rakyatnya dalam bentuk kemeriahan yang kita saksikan selama ini? Sudahkah rakyat Indonesia menikmati jaminan atas hak-hak hidup yang paling mendasar sebagai warga negara di dalam negeri yang mengaku bahwa rakyatnya telah merdeka? Sudahkah negara kita berfungsi sebagai negara yang telah merdeka bagi rakyatnya dalam kehidupan mereka sehari-hari?
Mungkin bagi sebagian besar masyarakat, penyelenggaraan beraneka ragam permainan yang menarik dalam rangka memperingati hari kemerdekaan RI merupakan upaya untuk melestarikan semangat kekeluargaan yang telah menjadi tradisi dalam aktivitas kemasyarakatan kita. Atau mungkin juga dapat ditafsirkan sebagai waktu bagi masyarakat kita untuk melarikan diri dari rutinitas sehari-hari yang melelahkan dan penuh persoalan. Namun ketika rakyat biasa kerap dikorbankan secara tidak adil selama lebih dari separuh waktu masa kemerdekaan negara kita oleh beraneka macam kebijakan yang dikeluarkan oleh dan atas nama lembaga negara demi memenuhi hasrat kepentingan segelintir penguasa politik saja, maka sudah waktunya kita mengkritisi kemeriahan yang selama ini menghiasi peringatan hari kemerdekaan RI tersebut. Kita perlu merenung dan bertanya: Apakah artinya kita merayakan hari kemerdekaan dari penjajah asing jika aparat birokrasi maupun pemimpin negeri kita sendiri berperilaku bak penjajah terhadap rakyat biasa di satu pihak, namun di lain pihak dapat berperilaku seperti orang jajahan di hadapan oknum-oknum yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi? Bukankah ini suatu ironi bagi rakyat Indonesia yang dengan penuh semangat memeriahkan hari peringatan kemerdekaan negara mereka di tengah ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib dan masa depan warganya?
Kuatnya Mentalitas Feodal dalam Birokrasi dan Politik Negara
Ada tiga indikator yang menunjukkan bahwa negara kita masih belum berfungsi sebagai negara yang telah merdeka bagi kehidupan rakyatnya. Indikator pertama dan yang paling utama adalah kuatnya mentalitas feodal di dalam jiwa aparat birokrasi dan para pemimpin politik negara kita. Aparat birokrasi di Indonesia tidak berfungsi selayaknya pihak yang bertugas melayani kebutuhan rakyat.
Kenyataan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari ialah aparat birokrasi lebih kerap “menuntut” rakyat untuk melayani mereka, bukan sebaliknya. Menurut data Kementrian Keuangan per 25 Juni 2010, 66% (sekitar 57,4 triliun) pengalokasian anggaran belanja daerah di 33 propinsi selama tahun 2009-2010 digunakan untuk kebutuhan belanja birokrasi, sementara anggaran belanja kebutuhan publik hanya mendapat jatah sebesar 34% saja (atau sekitar 29,4 triliun). Luar biasa bukan?
Melihat fenomena ini, pengamat sosial dan politik dari UGM, Ary Dwipayana berpendapat bahwa Indonesia adalah negara pejabat karena sebagian besar dana publik (yang berasal dari pajak yang dibayar oleh masyarakat kepada negara) justru dihabiskan untuk membiayai pejabat birokrasi daripada kepentingan masyarakat (Suara Pembaruan, 14/07/2010). Para anggota dewan pun tidak mau kalah menghamburkan anggaran negara. Salah satu berita yang lagi heboh saat ini adalah keinginan mereka agar anggaran dana untuk Rumah Asprirasi bagi tiap-tiap anggota DPR yang mencapai sekitar 300 juta lebih/tahun itu dapat disetujui.
Setelah menghamburkan uang pajak yang dibayar oleh rakyat guna memenuhi kebutuhan belanja birokrasi, kembali lagi rakyat dibebankan dengan berbagai “ongkos layanan tidak resmi” jika berurusan dengan pihak birokrasi. Mulai dari mengurus akta kelahiran, KTP, SIM, kartu keluarga, akta nikah, akta kematian, paspor, semua ada harga yang mesti dibayar oleh rakyat. Jika tidak bersedia membayar, maka pengurusan birokrasi akan dibuat menjadi berbelit-belit.
Selain itu, layanan yang diberikan oleh aparat negara kepada rakyat pun tidak disertai oleh jaminan mutu (Sulardi, 2008). Contohnya, layanan pendidikan dijalankan dengan harga mahal, tetapi tidak menjamin masa depan. Layanan kesehatan tidak murah, namun tidak menjamin kesembuhan. Layanan transportasi sangat semrawut dan tidak menjamin keselamatan. Layanan penerangan melalui PLN yang terus menuntut kenaikan tarif listrik dari tahun ke tahun dengan berbagai alasan, pun tidak menjamin bahwa listrik akan nyala terus.
Di dalam negara feodal seperti Indonesia, jaminan mutu dari pelayanan birokrasi menjadi hak istimewa (priviledge) yang hanya dapat dinikmati oleh para petinggi negara (termasuk orang-orang yang memiliki kekuatan politik dan ekonomi), bukan milik masyarakat umum. Hak istimewa ini muncul karena adanya budaya ”ABS” (Asal Bapak Senang) yang kental di dalam jiwa masyarakat yang masih feodal seperti di Indonesia.
Di dalam lingkaran kekuasaan negara, para menteri dan pejabat tinggi negara lainnya kerap bertindak “asal bapak senang” di hadapan presiden, meski mereka mengetahui bahwa kebijakan yang diambil oleh presiden kemungkinan besar salah dan dapat mengorbankan kepentingan rakyat banyak. Mayoritas wakil rakyat di Indonesia pun cenderung melakoni aktivitas berpolitik mereka bukan sebagai “penyambung lidah” konstituen di bawah mereka, tetapi lebih sebagai “pelayan” pimpinan pusat partai.
Ada hubungan feodal yang pragmatis di dalam mekanisme struktural birokrasi dan politik Indonesia, khususnya sejak memasuki era Orde Baru. Hubungan struktural yang bersifat feodal dan pragmatis di dalam kehidupan birokrasi dan politik Indonesia ini sebenarnya sudah jauh mengakar di dalam tradisi kehidupan leluhur kita. Ia merupakan warisan dari tradisi pengumpulan upeti di masa kerajaan Mataram dahulu, yang kemudian dilestarikan oleh pemerintahan kolonial Belanda ketika menjajah bangsa kita. Jadi, apa bedanya negara kita sekarang dengan di saat masa penjajahan Belanda dulu?
Dalam bukunya Perjuangan Kita, Sutan Sjahrir mengutarakan kondisi sebenarnya yang dialami oleh bangsa Indonesia selama ini dan apa yang sepatutnya diperjuangkan dalam revolusi kemerdekaan bangsa:
“Meskipun kita telah berpuluh tahun berada di dalam lalu-lintas dunia modern, meskipun masyarakat negeri kita telah sangat diubah dan dipengaruhi olehnya, akan tetapi di seluruh kehidupan rakyat kita terutama di desa, alam kehidupan serta fikiran orang masih feodal. Penjajahan Belanda berpegang pada segala sisa-sisa feodalisme itu untuk menahan kemajuan sejarah bangsa kita. Begitu umpamanya pangrehpraja (birokrasi) tak lain daripada alat yang dibuat oleh penjajah Belanda dari warisan feodal masyarakat kita. Berupa-rupa aturan yang dilakukan atas rakyat kita di desa tak lain daripada lanjutan yang lebih teratur daripada kebiasaan feodal, demikian penghargaan yang begitu rendah terhadap diri orang desa, yang masih dipandang setengah budak-belian bukan saja di dalam mata kaum ningrat kita, akan tetapi juga di dalam pandangan kaum penjajah Belanda… Oleh karena itu, maka di dalam pandangan kita, revolusi kita sekarang adalah revolusi nasional dan revolusi kerakyatan yang bersangkutan dengan alam feodal di negeri dan masyarakat kita…”
Sutan Sjahrir adalah tokoh utama di antara para pendiri negara kita yang sangat menyadari bahwa meskipun Indonesia secara de jure telah memperoleh kemerdekaannya sebagai negara republik yang berdaulat, namun secara de facto belum benar-benar merdeka karena jiwa rakyatnya masih dibelenggu oleh warisan budaya feodal. Mentalitas feodal ini telah mengungkung rakyat Indonesia selama berabad-abad. Maka bagi Sjahrir, kebebasan mental dari budaya feodal sangat penting kalau bangsa Indonesia ingin mengembangkan negerinya menjadi negeri yang maju. Prof. Dr. Umar Kayam dalam artikelnya yang berjudul “Saling Mendidik dalam Pendidikan Rakyat”, mendukung analisa yang dihasilkan oleh Bung Sjahrir setelah dirinya menyaksikan bagaimana dua era kepemimpinan politik nasional yang berlangsung semasa hidupnya dilaksanakan. Beliau mengucapkan bahwa:
“Keprihatian Bung Sjahrir tentang belum bebasnya kita (rakyat Indonesia) dari mental feodalisme terbukti. Para pemimpin kita, baik sipil maupun militer, yang mendapat kesempatan memimpin pertumbuhan dan perkembangan negara menunjukkan bahwa mereka belum juga sanggup muncul sebagai pemimpin yang berjiwa bebas dari feodalisme. Sejak kita memiliki republik yang merdeka secara politik, kita sampai sekarang hanya mampu menampilkan Orde Lama dan Orde Baru, dua orde yang masih sarat dengan sisa-sisa mental feodalisme, baik dalam mengelola kekuasaan maupun dalam menumbuhkan kehidupan demokrasi rakyat. Kekuasaan ternyata masih banyak dihayati sebagai kekuasaan yang tunggal.”
Tidak Adanya Kedaulatan dalam Negara yang Merdeka
Indikasi kedua adalah negara kita semakin tidak mampu menunjukkan kedaulatannya sebagai negara yang merdeka. Ketika berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah lebih cenderung tunduk atau bahkan berpihak kepada kepentingan asing daripada kepentingan rakyat Indonesia sendiri, maka patut kita pertanyakan manfaat dari keberadaan negara ini jika pemerintah Indonesia tidak dapat menempatkan diri sebagai pihak yang harus mengutamakan dan melindungi kepentingan warganya di atas segalanya-galanya.
Sejak Reformasi 1998 hingga saat ini, terdapat sekitar 72 Undang-Undang (UU) yang pembuatannya didukung oleh konsultan asing. Salah satunya adalah UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing yang memberikan hak kepada asing untuk menguasai tanah di Indonesia selama 200 tahun (Suara Pembaruan, 07/08/2010). Masakan asing bisa menguasai tanah kita sampai 200 tahun? Ketika pemerintah bertindak meminta restu kepada suatu konsultan asing mengenai undang-undang yang ingin ditetapkannya, maka saat itulah patut kita ragukan kedaulatan dan kemerdekaan negara kita ini.
Tidak hanya tanah kita yang dijual ke swasta dan asing, tetapi seluruh cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak pun dijual ke pasar. Dengan berdalih bahwa hal ini adalah dampak dari arus globalisasi dan kekuatan pasar yang tak terelakkan, pemerintah berani mengabaikan amanat UUD 1945.
UUD 1945 pasal 33 ayat 2 yang berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” dan dilanjutkan dalam ayat 3 agar “… dipergunakan sebesar-sebesarnya untuk kemakmuran rakyat,” sebenarnya telah dilanggar oleh pemerintah kita sendiri. Seluruh kekayaan alam negeri kita yang seharusnya dikelola untuk kembali dinikmati oleh rakyat Indonesia, telah dikomersialisasikan oleh negara menjadi produk-produk komoditas dengan tujuan untuk menghasilkan keuntungan bagi pendapatan negara (salah satu contoh utamanya adalah pengelolaan minyak fosil dan gas alam).
Ketika hal ini terjadi, maka cabang-cabang produksi yang penting bagi negara tidak lagi difungsikan pada kodratnya untuk mengelola kekayaan alam negara demi melayani kebutuhan hidup warganya, tetapi murni demi meningkatkan anggaran pendapatan negara, meskipun pada ujungnya pembelanjaan anggaran negara tersebut jelas-jelas lebih banyak digunakan untuk membiayai kehidupan para pejabat negara dan birokrasi yang berlimpah, boros dan penuh korupsi. Bukankah menurut Aristoteles, tujuan utama pembentukan negara adalah untuk manusia yang menjadi warganya, bukan untuk meningkatkan pendapatan negara?
Saat ini, kedaulatan negara dapat dikalahkan atas nama “efisiensi” dan “pengejaran laba”. Kata “subsidi”–meski bertujuan untuk membantu menopang kehidupan rakyat secara temporer–menjadi suatu kata yang haram di mata pemerintah kita yang berpandangan ekonomi liberal dan mesti dikikis apapun alasannya karena dianggap menghambat minat investor asing untuk masuk ke Indonesia. Ketika cabang-cabang produksi milik negara dianggap tidak lagi bekerja secara “efisien“ di dalam menghasilkan laba bagi negara, maka menurut hukum mekanisme pasar yang dianut oleh pemerintah kita akhir-akhir ini, pihak-pihak lain yang dinilai dapat bekerja secara lebih “efisien” di dalam menghasilkan laba (apakah itu perusahaan swasta lokal maupun asing) berhak diikutsertakan dalam proses pengelolaan kekayaan alam negara dan penggunaan fasilitas publik.
Artinya, Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak lagi memiliki kendali sepenuhnya di dalam seluruh proses pengelolaan kekayaan alam negara dari hulu ke hilir. Contoh utama adalah PLN dan Pertamina. Kedua BUMN ini sudah tidak lagi memiliki kendali tunggal dari hulu ke hilir di dalam pengelolaan energi listrik, minyak fosil dan gas. Ketika hak tunggal pengelolaan kekayaan alam negara kita dari hulu ke hilir tidak lagi dikuasai oleh Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka konsekuensinya korporasi-korporasi swasta–baik lokal maupun asing–turut memiliki akses yang luas di dalam menentukan harga, menjual dan mengomersialisasikan segala sumber daya alam dan fasilitas publik yang sepatutnya kembali dinikmati hasilnya oleh rakyat Indonesia.
Namun ketika cara pandang kapitalisme yang cenderung melegitimasi keserakahan di dalam berdagang menjadi mitos yang menguasai cara pandang pemimpin negara kita, maka janganlah heran ketika sekarang ini daya tawar setiap anggota masyarakat Indonesia dalam menentukan pilihan-pilihan ekonominya cenderung dibiarkan makin melemah dari hari ke hari akibat berbagai kebijakan pemerintah yang bersifat liberal, bukan saja di bidang pendidikan, kesehatan, transportasi, urusan birokrasi dan fasilitas publik, tetapi juga di dalam menikmati kelimpahan kekayaan alam negaranya sendiri.
Pembiaran Berlakunya Hukum Rimba oleh Negara
Indikator ketiga adalah pemerintah sebagai satu-satunya pemegang otoritas di dalam memimpin negara, tidak mampu menjalankan tugasnya (jika tidak boleh dikatakan mengabaikan) memberi jaminan atas hak-hak dasar yang sepatutnya dinikmati oleh warga negaranya sendiri di dalam negara yang mengaku sudah merdeka. Penegakkan hukum positif dan norma-norma umum yang disepakati oleh suatu masyarakat yang beradab–suatu fungsi yang wajib dipenuhi oleh pemerintah manapun di dalam memimpin suatu negara–cenderung diabaikan oleh negara kita karena kesibukan para pemimpin dan aparat birokrasinya di dalam memperkaya diri dan memperebutkan kekuasaan.
Akibatnya, negara ini eksis bagaikan kapal besar yang berjalan mengarungi laut tanpa seorang nahkoda yang mengendalikan arah perjalanannya. Dalam situasi seperti ini, apapun bisa terjadi dan siapapun dapat melakukan apa saja yang dapat merusak keharmonisan hubungan sesama anggota masyarakat yang telah bersepakat untuk hidup sebagai satu bangsa. Ketika para pemimpin negara dan elit politik tidak mampu lagi menunjukkan dengan tegas kepada masyarakat mana norma atau nilai-nilai yang benar dan mana yang salah, mana hukum yang sesuai dengan dasar negara kita dan mana yang tidak, melainkan malah menyerahkan seluruh hal tersebut kepada penilaian masing-masing anggota masyarakat, maka pada saat itulah negara mengizinkan berlakunya hukum rimba mengatur kehidupan sosial warganya.
Semakin pudarnya kesadaran masyarakat untuk taat pada rambu-rambu lalu lintas muncul akibat adanya pembiaran pelanggaran lalu-lintas selama bertahun-tahun oleh aparat penegak hukum sehingga apa yang dulu tidak berani dilanggar oleh para pengemudi kendaraan bermotor, sekarang dengan enteng dilanggar tanpa ada rasa takut dan bersalah. Ketidakmampuan para pemimpin negara, elit politik dan aparat penegak hukum sendiri di dalam memberi teladan untuk taat pada hukum yang telah disepakati bersama, baik yang tertuang di dalam Pancasila, UUD 1945 dan produk-produk hukum positif lainnya, merupakan faktor utama penyebab ketidakpedulian masyarakat di dalam mematuhi hukum, termasuk di dalam menjalankan ketertiban lalu-lintas.
Akibatnya, hukum rimba-lah yang berlaku di jalanan kita saat ini. Dengan berlakunya hukum rimba, maka seorang atau sekelompok masyarakat yang merasa memiliki posisi yang lebih kuat dapat bertindak sewenang-wenang menuntut pihak yang lemah untuk tunduk pada kemauannya. Aparat birokrasi dengan semena-mena dapat menaikkan tarif pelayanannya karena merasa memiliki posisi tawar yang lebih kuat dibandingkan masyarakat umum yang tidak memiliki pilihan selain menurutinya.
Selain itu, kerapnya pemerintah membiarkan suatu kelompok mayoritas bermain hakim sendiri menutup paksa dan membakar tempat ibadah yang dimiliki oleh sekelompok kalangan minoritas dari tahun ke tahun seolah-olah menunjukkan bahwa penegakkan hukum tidak lagi menjadi wewenang aparatur negara sepenuhnya, tetapi mesti dibagikan dengan organisasi-organisasi dari kalangan mayoritas. Ketika ini terjadi (dan memang sudah terjadi), maka pemerintah telah menunjukkan kepada masyarakat bahwa negara tidak mampu (jika tidak mau dikatakan tidak bersedia) memberi jaminan perlindungan yang semestinya menjadi milik seluruh warga negara Indonesia menurut Pancasila dan UUD 1945, termasuk kalangan masyarakat Indonesia yang paling minoritas sekalipun.
Kenyataan yang berlaku sekarang ini di Indonesia adalah kaum minoritas yang lemah dipaksa untuk menerima nasib bahwa dirinya mesti patuh pada segala keinginan yang dituntut oleh tirani mayoritas, meski kehendak tersebut menyeleweng dari ajaran Pancasila dan UUD 1945. Jika tidak dituruti, maka tirani mayoritas merasa berhak dan bebas mengambil tindakan apapun di dalam menegakkannya, termasuk dengan cara-cara kekerasan. Lalu, di manakah letak kemerdekaan yang semestinya turut dinikmati juga oleh kalangan minoritas di Indonesia jika negara sudah tidak mampu (atau tidak bersedia) memberi jaminan perlindungan atas hak-hak dasar mereka sebagai anggota warga negara?
Selain ketidakmampuan di dalam menegakkan hukum positif guna menjaga keharmonisan masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk, pemerintah pun cenderung membiarkan harga-harga terus melambung naik tanpa memikirkan dampaknya terhadap daya beli masyarakat. Akibatnya, harga-harga bahan pokok dan biaya-biaya kebutuhan yang bersifat mendasar bagi anggota masyarakat di negara yang merdeka, seperti biaya sekolah dan pengobatan, semakin sulit dijangkau oleh sebagian besar masyarakat kelas bawah. Bukankah UUD 1945 mengamanatkan pemerintah untuk memberikan jaminan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak kepada seluruh rakyat Indonesia, termasuk kepada kalangan miskin? Namun bagaimanakah amanat ini dapat dilaksanakan jika pemerintah kerap membiarkan biaya pendidikan dan kesehatan ditentukan oleh hukum rimba yang kapan saja bisa dinaikkan secara sepihak? Bagaimanakah anak-anak dari kalangan miskin dapat berharap untuk masa depan yang lebih baik jika masa depan kehidupannya ditentukan oleh hukum rimba?
Negara yang Merdeka Eksis untuk Memanusiakan Manusia
Salah satu lirik dari lagu ”Battle Hymne of the Republic” yang berbunyi: “Seperti Kristus yang telah mati untuk menyucikan manusia, marilah kita juga hidup untuk memerdekakan manusia” (As He died to make men holy, let us live to make men free) mengungkapkan apa yang menjadi tugas kita sebagai orang Kristen yang hidup di tengah bangsa Indonesia saat ini, yakni memerdekakan bangsa yang sebetulnya masih belum merdeka dengan menyuarakan kebenaran Firman Tuhan. Kebenaran Firman Tuhan tentang makna kemerdekaan bagi masyarakat yang hidup di suatu negara dapat kita raih secara utuh hanya jika kita dilengkapi juga oleh pengertian yang benar tentang fungsi dan tugas dari negara itu sendiri, yang menurut Aristoteles adalah untuk memanusiakan manusia.
Aristoteles menyatakan dengan tegas bahwa manusia hanya memanusia apabila ia hidup di dalam negara, karena di luar negara, hanya ada makhluk hidup yang di bawah manusia (hewan) atau yang di atas manusia (dewa). Di dalam dan melalui hidup bernegara, manusia dimampukan untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan yang semaksimal mungkin. Itu berarti bahwa di dalam negara, manusia seyogyanya dapat mencapai tingkat kebajikan yang tertinggi. Keberhasilan manusia mencapai tingkat kebajikan tertinggi itu, haruslah terlihat lewat moralitas yang terpuji karena hanya moralitas yang demikianlah yang membedakan manusia dengan makhluk hidup lainnya (Rapar, 2001).
Melalui uraian Aristoteles ini, jelaslah bagi kita bahwa negara ada dan terbentuk untuk memanusiakan manusia, bukan semata-mata untuk tempat kediaman atau tempat mempertemukan antar sesama manusia guna menjalin persahabatan. Jika kita perbandingkan dengan apa yang terjadi di negeri kita sejak meraih kemerdekaan, jelas bahwa negara Indonesia telah dikelola jauh dari kodrat berdirinya suatu negara, yakni untuk memanusiakan manusia yang menjadi warga negaranya. Kapankah negeri kita yang tercinta ini dapat dikelola secara ideal sesuai kodratnya? Semua ini menjadi tanggung jawab kita sebagai anak bangsa yang telah menikmati kebaikan dari anugerah Allah Bapa yang telah memerdekakan kita dari belenggu dosa melalui kebenaran Firman-Nya. Selamat berjuang !!
[Randy Ludwig Pea]
1 Comment
Martinus
Oktober 5, 2010 - 11:52 amThanks Pak Randy, untuk share perenungannya.
Secara religi, saya berharap agar kemerdekaan itu juga dimulai terlebih dulu dari gereja kita.
Mungkin gereja dapat menjadi contoh suatu negara yang baik dengan tidak mementingkan
birokrasi dan mementingkan keinginan atau kehendak pihak tertentu.
Saya masih sering menjumpai gereja tertentu, mungkin dalam lingkungan GKI juga demikian,
lebih mementingkan tata gereja dan tata laksana daripada kasih Tuhan yang besar.
Terima kasih dan selamat melayani Tuhan lewat tulisan-tulisan bapak.