Rasul Paulus: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1: 21)
Pagi itu masih terbaca dengan jelas sebuah pesan yang dikirimkan oleh seorang teman dan tertulis di messenger chat telepon seluler saya tentang berita kematian sahabat karib saya. Bagi saya, hal itu tidak terlalu mengejutkan. Sejak mendapat kabar dari seorang teman lain tentang sakitnya sahabat karib saya itu karena komplikasi penyakit yang diidapnya selama ini, sehingga untuk kedua kalinya perlu dirawat di Rumah Sakit Angkatan Laut Mintoharjo Jakarta, saya sudah memperkirakan bahwa ajalnya hampir tiba. Ah, kok terkesan begitu pesimis! Padahal kita semua tahu, bahwa hidup dan mati manusia, Tuhan-lah yang menentukan. Saya pun mengamini hal itu, tanpa keraguan sedikitpun akan kuasa Tuhan.
“Bro, menurut feeling-ku, kayaknya teman kita enggak bisa bertahan hidup lebih lama nih,” demikian isi balasan pesan saya kepada teman yang menginformasikan tentang sakitnya sahabat karib saya itu, tiga hari sebelum ia berpulang. “Wah, kamu sadis banget bro!” begitu bunyi balasan dari teman di seberang sana. Mungkin itu reaksi spontanitas dari kekagetannya sewaktu membaca pesan saya. Bisa dipahami bila ia tidak lagi menanggapi chatting saya selanjutnya, meskipun saya coba menerangkan alasan yang mendasari pikiran saya. Apa boleh buat.
Sesungguhnya peristiwa tadi merupakan pengulangan yang pernah saya dan istri alami dalam selang waktu berdekatan. Semuanya adalah orang-orang yang kami kenal dekat dan akrab.
Suatu siang, dalam perjalanan pulang setelah menjenguk putra saudara sepupu saya yang mengidap kanker stadium lanjut di RS International Ramsey Mitra Keluarga Jakarta Timur, saya katakan kepada istri saya, “Mam, feeling-ku kok gak enak ya. Kayaknya si Ben gak lama deh! Nanti malam kita doain dia ya…” Dua hari kemudian, saya mendapat sms dari sepupu saya, ayahnya Ben, yang memberitahukan bahwa Ben sudah kembali ke pangkuan Bapa di Surga bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-20. Saya termangu membaca pesan singkatnya. Perasaan sedih menyergap saya seketika, teringat peristiwa beberapa tahun silam manakala kami kehilangan Priya Andreas Tobing, putra kami yang hanya hidup tiga belas jam setelah kelahirannya di dunia ini.
Peristiwa berikutnya, sebelum saya menutup tulisan ini, yakni tentang seorang kolega saya yang begitu baik dan ringan tangan menolong orang. Beliau dikenal sebagai tokoh pendidik dan pemilik sebuah lembaga pendidikan swasta di daerah Pasar Minggu. Penyakit diabetes yang diidapnya selama beberapa tahun itu menyurutkan bobot tubuhnya secara drastis, dan hidupnya bergantung sepenuhnya pada obat-obatan serta diet makanan yang harus ditaatinya dari hari ke hari. Lagi-lagi sinyal di dalam diri mengingatkan saya bahwa hidup kolega saya ini tidak berapa lama lagi. Sejujurnya, saya diliputi rasa bersalah setiap kali sinyal tersebut berbunyi melalui bibir saya, dan istri saya adalah orang pertama yang selalu saya ceritakan. Sering saya bertanya dalam hati, “Tuhan, apakah ini karunia, kepekaan, atau nalar biasa?”
Bukan maksud saya untuk mendahului kehendak Tuhan. Sungguh tidak terbersit sama sekali di hati saya akan hal itu. Tapi mengapa kerap kali saya alami dan menjadi kenyataan. Dalam kegalauan hati, saya pasrahkan semuanya kepada-Nya. Bagi Tuhanlah kemuliaan sampai selama-lamanya. Haleluya!
[Nick Tobing]
Doa mengiringi kepergian orang-orang yang kami kasihi untuk melangkah bersama Yesus Kristus, Sang Juruselamat: Jimmy Paais, Benito Simanjuntak & Harry Asi Ganda Tobing.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.