Saat ini sudah banyak sekali dipasang timer di lampu lalu-lintas di Jakarta. Sebuah teknologi sederhana yang sangat membantu kita sebagai pengguna jalan raya. Kita dapat memperkirakan kapan kita bersiap-siap untuk jalan atau kapan kita bersiap-siap untuk berhenti. Kita juga bisa mempunyai pengharapan, berapa lama lagi kita akan berjalan dari tempat itu. Di satu sisi, pemasangan timer ini dapat mengurangi kemacetan, tetapi di sisi lain malah bisa membuat kemacetan.
Orang Indonesia, khususnya orang Jakarta dan lebih khusus lagi para pengendara sepeda motor, sekarang istilah kerennya para bikers, dan juga beberapa pengendara mobil, adalah orang-orang yang sangat “efisien” memanfaatkan waktu yang ada. Mereka bisa memanfaatkan momen antara lampu merah yang masih menyala dan lampu hijau yang belum menyala, padahal di pihak lain lampu hijaunya masih menyala. Mereka memanfaatkan timer dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Kalau sudah begini, maka sering kali kemacetan menjadi tidak terhindarkan.
Situasi yang berbeda ketika ada pak polisi yang berjaga di lampu lalu-lintas. Semua pengendara bersikap manis dan tertib, tetapi begitu pak polisi pergi, maka para bikers menunjukkan sifat asli mereka kembali. Ternyata lampu merah saja tidak cukup untuk menertibkan para pengguna jalan raya.
Teknologi lain lagi adalah alat komunikasi yang sudah hampir dimiliki oleh semua orang, tidak terkecuali para balita, yaitu telepon genggam, atau handphone, mulai dari yang sederhana sampai yang paling canggih. Hampir semua jenis alat ini bisa men-download berbagai macam fitur, termasuk Alkitab. Jadi sekarang banyak sekali Alkitab elektronik. Sebagian jemaat yang datang ke gereja untuk mengikuti kebaktian, tidak lagi menenteng buku Alkitab yang tebal itu, tetapi “Alkitab”nya sudah bisa dikantongi.
Alkitab elektronik ini, sama seperti timer di lampu lalu-lintas. Di satu sisi baik, namun di sisi lain bisa berdampak buruk. Kita menjadi sulit untuk membedakan, apakah seseorang itu sedang membaca Alkitab, mencatat khotbah, sedang ber-sms ria, atau sedang membaca email atau chatting.
Tidak sedikit jemaat kita yang sedang mengikuti kebaktian, sekaligus ber-sms atau ber-email ria. Mungkin ini juga salah satu cara untuk memanfaatkan waktu dengan efisien. Bahkan ada yang melihat-lihat koleksi foto yang ada di blackberry-nya, dan yang lebih parah lagi, foto-foto tersebut di”diskusi”kan dengan teman yang duduk di sampingnya.
Keadaan tersebut tentunya sangat mengganggu jemaat lain yang sedang mendengarkan khotbah atau sedang khusuk beribadah. Untuk sebagian orang, teknologi rupanya lebih penting daripada Firman Tuhan.
Teknologi memang canggih, kecanggihannya bisa berdampak baik, bisa juga buruk. Tentunya kita masih ingat penculikan lewat facebook beberapa waktu yang lalu. Teknologi harus didukung dengan sikap. Kalau sikap kita baik, maka teknologi akan menjadi sangat baik, tetapi kalau sikap kita buruk, teknologi bisa menjadi sangat buruk.
Sikap untuk patuh terhadap norma-norma yang umum tampaknya sudah luntur, tenggang rasa dan bela rasa kelihatannya sudah memudar, manusia sudah lebih mementingkan dirinya sendiri, bahkan terhadap Tuhan.
Sama seperti di perempatan jalan, lampu merah saja tidaklah cukup untuk menertibkan para pengguna jalan. Luar biasa…
(SSM)
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.