Belas kasihan menjadi tema yang banyak digaungkan dalam ruang ruang berkomunitas. Tanpa kecuali, Gereja juga sering mendiskusikannya dalam perannya sebagai misi Allah di tengah dunia. Namun, banyak orang kerap keliru memahami makna belas kasihan. Tulisan ini akan menjelaskan arti dari belas kasihan dan perbedaannya dengan kasihan, serta pentingnya belas kasihan dalam hidup Gereja.
Belas Kasihan vs Kasihan
Belas Kasihan (compassion) dan kasihan (pity) kerap dipakai bergantian, seakan-akan memiliki arti yang sama. Padahal ada perbedaan yang cukup signifkan ketika kita melihat arti keduanya lebih jauh. Keduanya sama-sama merujuk pada perasaan simpati dan kepedulian kepada orang yang sedang menderita. Namun, keduanya hadir dalam bentuk yang berbeda.
Belas kasihan berasal dari bahasa Latin compati yang berarti “menderita bersama”. Di dalamnya terkandung perasaan empati dengan orang yang menderita. Perasaan ini melebihi rasa kasihan pada penderitaannya. Belas kasihan berujung pada tindakan untuk meringankan penderitaan, dan menunjukkan kebaikan secara nyata. Ia mendorong kita untuk secara aktif bertenggang rasa dengan orang lain dan bertindak untuk mendukung dan menolong. Lazarus (1991) mendefnisikan belas kasihan sebagai “menjadi tergerak karena penderitaan orang-orang lain dan berkeinginan untuk membantu mereka.”
Di sisi lain, kasihan berasal dari bahasa Latin pietas yang dalam bahasa Inggris berarti duty. Selain merujuk pada makna bertanggung jawab, kata tersebut juga menghadirkan makna merendahkan (condescending) dan memandang rendah (patronizing). Oleh karena itu, ada semacam superioritas antara pihak yang mengasihani dan pihak yang dikasihani. Dalam konsep kasihan, penderitaan dilihat sebagai sebuah kelemahan dan kerap menyudutkan orang yang sedang menderita. Lebih jauh, tidak ada tindakan nyata yang hadir sebagai tindak lanjut dalam konsep kasihan.
Belas kasihan pada dasarnya merupakan perasaan bersama dan untuk orang lain (yang menderita). Secara singkat, berikut perbedaan antara belas kasihan dan kasihan:
1. Aktif vs Pasif
Belas kasihan merupakan dorongan bagi seseorang untuk secara aktif bertindak untuk ikut meringankan penderitaan orang lain. Di sisi lain, kasihan bersifat pasif karena hanya berhenti pada perasaan sedih tanpa tindak lanjut apapun.
2. Empati vs Simpati
Terdapat empati dalam belas kasihan. Empati merupakan kemampuan untuk bertenggang rasa terhadap penderitaan orang lain. Di sisi lain, terdapat simpati dalam kasihan. Simpati merupakan perasaan sedih terhadap penderitaan orang lain, tanpa benar-benar memahami penderitaan yang dialaminya.
3. Kesetaraan vs Hierarki
Terdapat kesetaraan dalam belas kasihan. Pihak yang berbelas kasihan tidak memandang rendah pihak yang sedang dalam penderitaan. Inilah alasan belas kasihan dikatakan sebagai perasaan bersama dan untuk orang lain. Kata ‘bersama’ menunjukkan adanya relasi kesetaraan, sehingga muncul solidaritas dalam belas kasihan untuk bersama-sama menanggung penderitaan. Berbeda dengan kasihan yang mengandung unsur hierarki di dalamnya.
4. Menghargai vs Merendahkan
Belas kasihan ditandai dengan penghargaan kepada orang yang menderita, termasuk segala keterbatasan sekaligus penderitaannya. Tidak ada penghakiman dalam belas kasihan. Tujuan dari berbelas kasihan adalah untuk memberdayakan pihak yang menderita. Di lain pihak, kasihan merupakan perasaan yang mengandung keinginan untuk sepenuhnya mengatur kehidupan pihak yang menderita.
5. Jangka Panjang vs Jangka Pendek
Belas kasihan biasanya bersifat jangka panjang dan disertai komitmen. Hal ini disebabkan tujuan belas kasihan adalah pemberdayaan bagi pihak yang menderita. Karena itu, target utama yang akan diselesaikan adalah masalah yang terjadi secara sistematis. Di sisi lain, kasihan biasanya terjadi pada waktu yang singkat dan tidak disertai usaha untuk menyelesaikan masalah hingga ke akar.
Dapat disimpulkan bahwa memang ada perbedaan yang cukup signifkan antara belas kasihan dan kasihan. Pertanyaannya bagi kita saat ini adalah, “Apakah yang mendasari kita untuk berbelas kasihan?” Penting bagi kita untuk mengetahui motivasi serta alasan kita dalam menyatakan belas kasihan, khususnya bagi Gereja.
Allah yang Berbelas Kasihan
Kita dapat melihat secara nyata Allah yang berbelas kasihan dalam peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir. Allah begitu berbelas kasihan sehingga Ia membebaskan bangsa Israel dari Mesir, bahkan menyebut bangsa Israel sebagai umat-Nya (bdk. Kel. 8:23; Yer. 32:27,38; 1 Sam. 9:17). Bangsa Israel beberapa kali menunjukkan perlawanan kepada Allah dengan bersungut-sungut tentang kebutuhan sehari-hari mereka hingga melakukan penyembahan kepada anak lembu emas. Allah tetap menegur mereka secara tegas, meskipun pada akhirnya ada pemeliharaan nyata dari Allah kepada mereka (lih. Kel. 13:21-22, 35).
Dalam rangkaian peristiwa tersebut, kita dapat melihat bahwa Allah secara nyata berbelas kasihan kepada bangsa Israel. Allah berempati, memahami penderitaan yang dialami oleh bangsa Israel dan melakukan tindakan nyata untuk menolong mereka. Allah secara aktif berelasi dan memenuhi kebutuhan sehari hari mereka. Allah tetap memberi ruang bagi mereka untuk mandiri, dan meskipun akhirnya banyak perilaku mereka yang melenceng, Allah tetap menghargai mereka. Allah pun menjaga dan menemani perjalanan mereka dari keluarnya mereka dari Mesir hingga ke tanah yang dijanjikan-Nya. Pertolongan Nya terjadi dalam jangka waktu yang panjang.
Belas kasihan merupakan karakter yang dimiliki Allah. Inilah yang akhirnya menjadi dasar para nabi mengumandangkan bahwa belas kasihan merupakan hal yang harus dimiliki oleh umat-Nya. Belas kasihan ini akhirnya diwujudkan dalam bentuk perilaku adil, setia, dan kasih (bdk. Ams. 19:17; Hos. 6:6; Mi. 6:8). L. Walker menulis bahwa belas kasihan Allah secara nyata hadir lewat keselamatan yang diberikan kepada seluruh manusia melalui pengorbanan Anak-Nya yang Kudus. Inilah belas kasihan yang bersifat universal tanpa pandang bulu (lih. Mat. 5:43-48; Luk. 10:30-37). Belas kasihan sejati inilah yang mendasari kita untuk ikut berbelas kasihan. Tidak heran jika Allah sering disebut sebagai Allah yang penuh belas kasihan. Kekristenan bahkan sering dikenal sebagai agama belas kasihan.
Belas Kasihan: Menyadari, Merasakan, dan Merespon
Sebagai milik Allah dan hidup di dalam Allah, Gereja kini dipanggil untuk juga berbelas kasihan. Ada tiga langkah yang dapat kita lakukan sebagai bagian dari berbelas kasihan, yaitu: menyadari, merasakan, dan merespon.
Menyadari berarti kita paham dan peduli tentang beragam penderitaan di sekitar kita. Gereja kemudian dipanggil untuk membuka mata pada keadaan “di dalam” dan “di luar” Gereja. Isu ketidakadilan, kekerasan, kemiskinan, dan lainnya menjadi target utama Gereja untuk menyatakan belas kasihan. Mereka yang dalam penderitaan sesungguhnya membutuhkan pemberdayaan dari kita. Gereja juga perlu merasakan penderitaan, dalam arti sepenuhnya memahami realitas yang terjadi. Perlu kita ingat bahwa tidak ada penghakiman dalam belas kasihan. Karena itu, dalam memahami penderitaan orang lain, Gereja pertama-tama perlu menghargai pihak yang sedang menderita dan mengakui kemandirian dari pihak tersebut. Kesetaraan tetap menjadi bentuk relasi yang terjadi antara kedua belah pihak. Terakhir, merespons berarti Gereja perlu menindaklanjuti perasaan belas kasihan dengan tindakan nyata. Aksi apakah yang akan dilakukan Gereja sebagai partisipasi dalam bertenggang rasa sekaligus meringankan penderitaan orang tersebut?
Pada akhirnya, marilah kita menginstrospeksi diri kita. Sejauh mana kita sudah melakukan panggilan kita dalam berbelas kasihan? Apakah kita sudah berbelas kasihan atau hanya merasa kasihan?•
|Eunice Abigail Sitanggang
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.