Demikianlah perempuan itu berangkat dan pergi kepada abdi Allah di gunung Karmel. (2Raj. 4:25)
Martin Avdeitch seorang pembuat sepatu yang sangat baik. Namun, ia hidup dalam kesedihan karena telah kehilangan istri dan semua anaknya. Dalam keputusasaannya, ia berdoa agar Tuhan mengambil saja nyawanya, apalagi ia sudah tua. Tanpa harapan, ia pun tidak lagi ingin pergi ke gereja. Namun, pada suatu hari, seorang biarawan tua singgah di rumahnya dan membuat hatinya kembali tercerahkan. Kisah itu terdapat dalam cerpen Leo Tolstoy “Where Love is, God is.” Tokoh Martin mungkin mewakili kita yang putus asa, bahkan melupakan Tuhan serta orang lain, ketika kita berhadapan dengan penderitaan.
Perempuan Sunem tampaknya berbeda. Ia kaya, tetapi belum mempunyai anak. Itu penderitaan besar, terutama bagi seorang perempuan pada waktu itu. Namun, ia tetap berbuat kebaikan kepada Elisa. Ia menyediakan ruangan khusus dan menjamunya dengan sangat baik tiap kali Elisa datang. Elisa pun membalas kebaikan perempuan ini dengan membuatnya mempunyai anak. Sayangnya, setelah anak itu besar, ia sakit dan meninggal. Perempuan Sunem itu kembali menderita, bahkan lebih dari sebelumnya. Namun, ia tetap percaya bahwa Allah yang telah memberikan kepadanya seorang anak, dapat juga mengembalikan kehidupan anaknya saat itu.
Bagaimana dengan kita? Apakah penderitaan yang kita alami akan melumpuhkan kita atau membuat kita tetap mampu bertindak baik? [Ibu Yessy Sutama]
REFLEKSI:
Karakter dan kepercayaan kita teruji lewat penderitaan.
Ayat Pendukung: Mzm. 30; 2Raj. 4:18-31; 2Kor. 8:1-7
Bahan: Wasiat, renungan keluarga.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.