Konon, masyarakat kita dianggap sebagai masyarakat yang “kepo”. Misalnya, kalau ada kecelakaan di jalan tol maka terjadi kemacetan di jalur tersebut. Namun anehnya, kemacetan juga terjadi di jalur yang berlawanan, karena kendaraan yang lewat memperlambat jalannya lantaran ingin tahu dan ingin melihat apa yang terjadi. Contoh lain, kalau ada kebakaran, maka masyarakat berbondong bondong datang hanya untuk menonton, ingin tahu apa penyebabnya dan tentunya menonton cara petugas pemadam kebakaran beraksi. Contoh lain lagi, pada waktu terjadi penembakan pos polisi di jalan Thamrin beberapa tahun yang lalu, alih-alih menyelamatkan diri dan menjauh dari TKP, masyarakat malah mendatangi tempat tersebut, bahkan berfoto-foto di sana walaupun sudah diberi garis polisi.
Dalam percakapan sehari- hari, kata kepo juga sering diucapkan, misalnya, “Kepo banget sih kamu” dan sebagainya. Kata kepo ini baru muncul setelah penggunaan media sosial makin ramai. Dari beberapa sumber dikatakan bahwa semula kata kepo ini diduga berasal dari singkatan ala internet atau bahasa gaul, seperti OTW (On The Way), BRB (Be Right Back) atau LOL (Laugh Out Loud) dan masih banyak lagi. KEPO dalam singkatan bahasa Inggris adalah Knowing Every Particular Object. Artinya seseorang yang mengetahui dan memahami sesuatu dengan sangat mendalam, bukan sekadar ingin tahu atau penasaran. Sangat berbeda dengan perilaku yang selalu penasaran atau ingin tahu segala sesuatu, bahkan yang bukan urusannya sekalipun. Knowing itu berbeda dengan want to know.
Ivan Lanin, seorang pengamat bahasa, melakukan penelusuran mengenai asal-usul kata “kepo” ini. Ia mendapatkan bahwa kata “kepo” yang sering kita gunakan sehari-hari bukanlah yang diserap dari bahasa Inggris, melainkan dari bahasa Hokkian, yaitu “Kay Po” atau “Kaypo”, yang artinya seseorang yang selalu ingin ikut campur masalah orang lain, punya rasa penasaran yang besar dan ingin tahu segala hal.
Dari sini jelas bahwa kata “kepo” yang sering kita gunakan itu lebih cocok kalau dikatakan diserap dari bahasa Hokkian Kay Po atau Kaypo, ketimbang dari Knowing Every Particular Object.
Dahulu, para tukang obat kaki lima menjual obat dengan memanfaatkan “ke-kepo-an” banyak orang. Sebelum menjual obat, mereka melakukan berbagai atraksi, apakah itu sulap atau akrobat dengan memamerkan kekebalan tubuh dan sebagainya. Karena kepo, maka banyak orang yang berdatangan untuk mengetahui dan menonton apa yang terjadi. Nah, setelah banyak orang datang dan ingin tahu apa yang mereka lakukan, setelah sulap atau akrobat itu selesai, mereka mulai menawarkan obat yang mereka jual kepada orang-orang yang sudah berkumpul tadi. Uniknya, kalau sudah sampai acara menawarkan obat, maka sedikit demi sedikit orang akan meninggalkan tempat itu, karena pada dasarnya mereka hanya kepo saja.
Belajar dari contoh-contoh di atas, kita tentunya tidak ingin disebut sebagai orang “kepo” versi Hokkian, yaitu Kay Po atau Kaypo, yaitu orang yang ingin ikut campur atau ingin tahu urusan orang lain. Karena bisa saja, rasa ingin tahu atau ingin ikut campur dalam urusan orang lain itu dikemas dalam bentuk yang sifatnya lebih “spiritual”. Misalnya, melakukan pendampingan atau perkunjungan kepada keluarga atau orang yang sedang kesusahan, apakah itu berduka, sakit atau karena hal-hal lain. Kemudian dalam obrolan dengan yang bersangkutan kita mulai bertanya macam-macam untuk memenuhi rasa “kepo” kita. Atau, untuk memenuhi rasa “kepo”, kita pura-pura menunjukkan belas kasih atau empati.
Yang paling baik adalah kita menjadi KEPO dalam versi bahasa Inggris, yaitu menjadi seorang yang Knowing Every Particular Object, sehingga kita menjadi seorang yang memiliki pengetahuan tentang suatu hal secara mendalam, bukan rasa penasaran atau ingin tahu terhadap urusan orang lain.
Kehidupan kita saat ini, terutama sejak masa pandemi, sangat dikuasai oleh teknologi sehingga kita sangat tergantung padanya, bahkan teknologi memegang peranan yang sangat penting dalam setiap aspek kehidupan kita. Bayangkan apa yang terjadi kalau saat ini kita tidak menggunakannya. Dari pesan makanan sampai mengirim barang, dari belanja sampai bayar tagihan, dari membayar pajak sampai membeli tiket pesawat, bisa dilakukan dari rumah. Dan masih banyak lagi kegiatan keseharian kita yang bergantung pada teknologi.
Karena itu kita harus menjadi seorang yang KEPO, paling tidak untuk urusan pribadi kita sendiri. Kalau mau menjadi KEPO untuk banyak hal, saat ini peluangnya sangat terbuka, asal kita mau belajar dan mempelajari hal hal yang baru.
Jadi, mau menjadi seorang yang “kepo” atau KEPO? Itu adalah pilihan. Salam damai.•
|SINDHU SUMARGO
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.