Perawakannya termasuk kecil untuk seorang perempuan. Kurus, agak bungkuk, tetapi masih bisa berjalan dengan cepat, berkacamata tebal dan sangat sehat. Beliau mempunyai kebiasaan yang waktu itu saja sudah aneh bagi kami anak-anak, yaitu makan pinang, yang ditutup dengan mengunyah tembakau. Usianya sudah tujuhpuluhan, walau tidak ada seorang pun di dalam keluarga yang mengetahuinya dengan tepat. Kami selalu memanggilnya: Mbah Ineng, sebutan akrab dari panggilan yang lebih resmi: Mbah Siner. Menurut Ibu saya, nama Siner berasal dari pekerjaan almarhum suaminya di zaman Belanda sebagai “ziener” atau pengawas di perkebunan tebu di Jawa Tengah. Nama almarhum suami Mbah Ineng adalah Hardjowasito, sehingga beliau juga secara resmi dikenal sebagai Ibu Hardjowasito.
Beliau adalah kakak dari nenek saya dari Ibu. Sepanjang pengetahuan saya beliau selalu tinggal bersama keluarga kakak ibu saya (Bu De), yang suaminya adalah seorang diplomat. Biasanya beliau selalu menyertai keluarga Bu De ke manapun Pak De ditugaskan oleh Departemen Luar Negeri. Namun ketika saya duduk di Sekolah Menengah Pertama, beliau sudah terlalu tua untuk mengikuti keluarga Bu De ke Miami kalau tidak salah. Sejak itu beliau tinggal bersama keluarga kami di jalan Cilandak 1, Jakarta Selatan.
Mbah Ineng adalah seorang yang sangat rapi dan pembersih. Bila saya berkunjung ke kamarnya, hampir selalu dengan galak dan dengan segumpal tembakau di mulutnya, beliau berkata:
“Jangan duduk di tempat tidur Pungky! Kamu kan baru duduk entah di mana… Ha! Kamu sebelum masuk tadi sudah kesed belum…?”
“Sudah Mbah..!”
“Ya sudah…. bagus… sebaiknya kamu lepas saja sepatumu…”
Mbah Ineng juga amat ketat menjaga kamarnya dari serangan nyamuk. Konon beliau sendiri atau suami beliau pernah mengidap malaria ketika kecil. Betapapun kami mencoba meyakinkannya bahwa di Cilandak tidak ada nyamuk malaria, beliau bergeming.
“Kalian belum pernah kena penyakit itu sih…?”
Oleh karena itu pintu kamarnya dilengkapi dengan pintu kasa. Dan di luar kamar di kusen pintu kasa itu Mbah Ineng menggantungkan sebuah sapu lidi. Setiap orang yang hendak masuk kamar beliau harus mengusir nyamuk yang kelihatan maupun tidak, lalu membuka kedua pintu, menggantungkan sapu lidi di tempatnya kembali dan cepat-cepat masuk serta menutup pintu-pintu itu. Di dalam kamar di pintu kamar tergantung sapu lidi serupa. Setiap orang yang hendak keluar kamar, begitu membuka pintu kamar dan pintu kasa harus mengayun-ayunkan sapu lidi, menggantungkannya kembali, keluar dan menutup kedua pintu itu.
Mbah Ineng nyaris tidak pernah kelihatan tidak necis. Setiap pagi dan sore, walaupun belum tentu keluar rumah, sesudah mandi beliau selalu berpakaian amat rapi, berkain dan kebaya.
“Memang mau dijemput pacar ya Mbah…?” tanya saya menggodanya.
“Ah tidak…” jawabnya dengan serius.
“Lalu kenapa pagi-pagi sudah rapi?”
“Siapa tahu ada tamu…”
Salah satu dari tamu-tamu yang paling diharap-harapkannya adalah nenek saya dari Ibu, satu-satunya adik kandungnya. Beliau tinggal di rumahnya sendiri di belakang rumah Bu De yang lain di Rawamangun. Keduanya bagaikan langit dan bumi. Bila Mbah Ineng kecil dan kurus, nenek saya gemuk, tegap serta cukup tinggi. Beliau bernama Sudarmini Soemakno, tetapi biasa dipanggil Mbah Sudar, Mbah Makno, atau Mbah Dokter, karena almarhum suaminya adalah dokter di zaman Belanda. Bila Mbah Ineng adalah sosok yang rapi dan bersih, maka Mbah Dokter adalah sosok yang berpakaian seenaknya. Bila Mbah Ineng tinggal di kamar yang sangat rapi dan bersih, maka kamar Mbah Dokter adalah salah satu contoh dari kamar yang centang-perenang. Bila Mbah Ineng cenderung pendiam, Mbah Dokter sangatlah fasih dan suka berbicara.
Tak ada di antara kami yang meragukan bahwa mereka berdua saling mencintai dan merindukan. Namun bila mereka berjumpa selalu saja mereka bertengkar. Pertengkaran biasanya dimulai karena diabaikannya ritus kebersihan atau mengusir nyamuk oleh Mbah Dokter.
“Sudar…! Kamu belum mengusir nyamuk sebelum masuk tadi…”
“Ah, ini kan musim hujan…. mana ada nyamuk to Yu (Bahasa Jawa: singkatan dari Mbakyu, yang berarti kakak perempuan) …” jawab Mbah Dokter seenaknya sambil mendudukkan dirinya di tempat tidur.
“Jangan duduk di situ… pakaianmu kan kotor dari luar… Duduk saja di kursi!”
“Emoh ah. Keras kursimu…”
Namun penyebab puncak keributan di antara mereka biasanya adalah ketidaksediaan Mbah Ineng untuk ke gereja, atau tepatnya menyerahkan diri untuk percaya kepada Kristus. Pertengkaran tentang ini konon sudah dimulai sejak awal Mbah Dokter menjadi Kristen.
Mbah Dokter, nenek saya, ketika masih muda pernah mengikuti seri kebaktian kebangkitan rohani di alun-alun kota Yogyakarta, yang dipimpin oleh John Sung pekabar Injil dari Tiongkok di tahun empatpuluhan. Di situ beliau memberi diri untuk percaya dan menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Beliau kemudian selalu dengan berapi-api mengabarkan Injil kepada siapa saja. Cukup banyak orang yang berhasil diyakinkannya untuk percaya dan memberi diri dibaptiskan.
Namun yang paling membuat Mbah Dokter penasaran adalah bahwa setelah sekian lamanya beliau tetap saja belum berhasil meyakinkan Mbah Ineng untuk menyerahkan diri dan hidupnya kepada Kristus. Ada saja selalu argumentasi Mbah Ineng untuk menangkis bujukan adiknya. Dan kerapkali sang adik tidak mampu menjawab sang kakak. Beberapa di antara argumentasi jitu itu adalah ini:
“Buat apa menjadi orang Kristen? Nyatanya banyak orang Kristen yang tidak lebih baik, bahkan lebih buruk dibandingkan dengan orang-orang yang bukan Kristen…”
Atau ini:
“Kamu sejak menjadi Kristen nasibmu juga tidak lebih baik ketimbang sebelumnya…”
Maka biasanya lalu senjata pamungkas Mbah Dokter adalah seperti ini:
“Tetapi di Kitab Suci tertulis bahwa barangsiapa percaya kepada-Nya tidak binasa…” yang segera dijawab dengan ketus:
“Pokoknya aku percaya kepada Allah… mau di dalam Kristus atau tidak, itu urusanku…!”
Tidak jarang mereka berpisah dalam suasana yang masih agak panas seperti itu. Tetapi setelah beberapa lama mereka saling rindu, dan bertemu lagi walau kadang-kadang itu berarti terulangnya lagi pertengkaran di antara mereka.
Meskipun selalu dengan ketus menolak adiknya yang mencoba meyakinkannya untuk percaya, sebenarnya ada celah-celah pada pertahanan Mbah Ineng yang tidak diketahui sang adik. Setiap hari Minggu rumah kami digunakan untuk dua kelas Sekolah Minggu. Di ruang tamu untuk kelas anak kecil dan di ruangan samping untuk kelas anak besar, dekat dengan kamar Mbah Ineng. Sesekali Mbah Ineng berdiri di pintu ruang samping memerhatikan ibu saya yang sedang memimpin, atau dengan mengangguk-angguk mengikuti irama anak-anak menyanyi.
Setiap kali, Mama yang melihatnya berdiri, menyapanya:
“Bu Siner…” begitu ibu dan ayah saya selalu memanggilnya, “…daripada berdiri mbok lenggah (Bahasa Jawa: duduk) dengan anak-anak di sini…”
Mbah Ineng tersenyum, menggelengkan kepalanya dan masuk ke kamarnya. Begitu terjadi setiap kali selama entah berapa lama. Tetapi pada suatu hari terjadilah yang tak di sangka-sangka. Seperti biasa Mbah Ineng berdiri di pintu, setelah beberapa saat Mama menyapanya:
“Bu Siner… mau lenggah di sini…?”
Tanpa menjawab Mbah Ineng memasuki ruangan Sekolah Minggu dan duduk di kursi yang ditunjukkan Ibu. Sejak saat itu, Mbah Ineng biasa mengikuti kebaktian Sekolah Minggu, bila beliau sedang menginginkannya. Ibu dan ayah saya mensyukuri perkembangan ini. Dan berniat untuk kembali mengajak beliau mengikuti kebaktian keluarga yang sesekali diadakan di rumah kami, walau selama ini beliau menolaknya.
“Bu Siner…” sapa ayah saya pada suatu sore di ruang tamu. “Sabtu depan, jam 5 sore, ada kebaktian keluarga yang diadakan di rumah kita. Bu Siner kerso (Bahasa Jawa: berkenan) hadir…?”
Mbah Ineng menatap Bapak beberapa saat lalu menghela nafas panjang dan menjawab lirih:
“Mungkin lain kali…”
“Bu Siner tidak perlu melakukan apa-apa kok, seperti kalau di sekolah Minggu itu lho…” kata ibu saya penuh harap.
Mbah Ineng tersenyum, untuk beberapa saat kelihatan berpikir, tetapi kemudian menggelengkan kepalanya. Maka mengertilah ibu dan ayah saya bahwa beliau tidak bersedia, sehingga percakapan tentang hal itu dihentikan. Begitulah terjadi beberapa lamanya.
Pada suatu kali, seminggu sebelum kembali diadakan kebaktian keluarga di rumah kami, Bapak bertanya lagi kepada Mbah Ineng:
“Bu Siner, Sabtu depan jam 5 sore, ada kebaktian keluarga lagi di rumah kita. Bagaimana…?”
Seperti biasa, Mbah Ineng menatap Bapak beberapa saat lalu menghela nafas panjang dan menjawab lirih:
“Mungkin lain kali…”
Bapak mengangguk-angguk dan Mama kelihatan amat kecewa. Tetapi begitulah Mbah Ineng. Tidak banyak bicara tetapi amat jelas apa yang dikehendakinya atau yang tidak dimauinya. Kamipun mulai mempersiapkan diri untuk kebaktian keluarga itu. Biasanya tugas saya adalah menyebarkan undangan kepada keluarga-keluarga Kristen di lingkungan kami, yang berasal dari berbagai gereja. Jadi sebenarnya kebaktian keluarga di lingkungan kami (Cilandak) waktu itu adalah cikal-bakal kebaktian-kebaktian ekumenis yang kini biasa dikenal.
Pada Sabtu siang dilaksanakannya kebaktian keluarga itu, kami semua sibuk. Mama mempersiapkan hidangan bersama beberapa ibu. Bapak memilih dan mengetik lagu-lagu yang akan dinyanyikan. Saya dan adik saya laki-laki mengatur kursi-kursi, sedangkan adik saya perempuan yang masih kecil turut sibuk bermain-main di dekat kami.
“Ayo mulai mandi, gantian… sudah jam setengah 4 lho…” kata ayah saya yang memang selalu disiplin dengan waktu.
Kami, anak-anak langsung berebutan memasuki kamar mandi, tak ketinggalan adik saya yang kecil.
Sekitar jam 16.30 kami selesai mempersiapkan diri dan dengan takjub kami melihat Mbah Ineng dengan pakaiannya yang indah dan rapi duduk di ruang tamu. Kami tak mampu berkata-kata kecuali tersenyum kepadanya. Beliau pun membalas senyuman kami, juga tanpa mengatakan apapun. Dan sejak itu Mbah Ineng selalu hadir dalam setiap kebaktian keluarga yang diadakan di rumah kami.
Sementara itu bujukan dan dorongan Mbah Dokter kepada beliau untuk percaya dan menyerahkan diri kepada Kristus tetap berlangsung. Terlebih-lebih sejak Mbah Ineng kerap mengikuti kelas Sekolah Minggu dan secara rutin mengikuti kebaktian keluarga di rumah kami. Tetapi Mbah Ineng bergeming, sambil mengunyah pinang beliau berkata:
“Sudahlah Sudar… aku tidak mau…”
“Tidak mau atau belum mau…?” tukas Mbah Dokter.
“Mungkin… belum… “
”Jadi pada suatu hari mau?”
“Sudahlah Sudar….”
Pada suatu sore, ayah saya yang baru kembali dari kantor, duduk membaca koran ditemani ibu saya yang membaca sebuah buku. Mbah Ineng yang seperti biasa sudah rapi setelah mandi, memasuki ruang tamu membawa perlengkapan makan-pinangnya. Sejenak mereka bertiga sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Lalu tiba-tiba Mbah Ineng berkata:
“Apakah yang harus saya lakukan bila saya ingin dibaptis…?”
Untuk beberapa saat ayah dan ibu saya tak mampu berkata apapun. Akhirnya ayah saya yang mampu lebih cepat menguasai dirinya, berkata:
“Maksud Ibu…. Bu Siner mau dibaptis…?”
“Ya…”
Ibu saya langsung memeluknya dengan terisak-isak. Setelah itu rasanya semuanya bergulir begitu cepat. Mengingat usianya yang telah lanjut maka alih-alih katekisasi reguler, katekisasi bagi beliau diadakan dalam bentuk beberapa kali percakapan dengan Pdt. Wirakotan yang datang ke rumah kami. Dan tentunya ada beberapa “pelajaran tambahan” dari Mbah Dokter yang amat bersemangat itu. Dan pada hari yang telah direncanakan, dengan disaksikan oleh kami semua, Mbah Ineng dibaptiskan dalam sebuah kebaktian Minggu di jemaat GKI Kebayoran Baru.
Apa yang menyebabkan Mbah Ineng akhirnya memutuskan untuk percaya dan menyerahkan dirinya kepada Tuhan, tidak ada seorang pun yang tahu. Mungkin usaha Mbah Dokter yang gigih tak kenal putus asa. Mungkin apa yang disaksikan dan didengar beliau di sekolah Minggu, atau di kebaktian-kebaktian keluarga yang dihadiri beliau. Mungkin ajakan-ajakan ayah dan ibu saya. Atau mungkin karena semuanya itu. Yang pasti, Tuhan bekerja, tangan-Nya menggamit tangan Mbah Ineng. Dan akhirnya, setelah sekian tahun, Mbah Ineng menjabat tangan Tuhan itu.
Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.