Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama di satu sisi dan orang lain (liyan) di sisi yang lain. Kita ini samasama ciptaan Tuhan dan mempunyai sebutan manusia. Sama-sama manusia, kenapa timbul istilah ‘liyan’? Membahas topik ini tidak akan habis sepanjang perjalanan manusia, akan terus ada, dan tanda-tanda akan meruncing sudah tampak di depan mata. Fenomena ini di Indonesia terlihat kasat mata, bahkan sejak pilkada DKI Jakarta dua tahun lalu makin muncul wajah aslinya dan membuat hati miris. Kebencian dan ketidaksukaan terhadap yang berbeda terpampang nyata di permukaan. Melabeli ‘kafir’ bagi yang beda agama terlihat biasa, mengharamkan sesuatu muncul dengan gampangnya. Saya yang tinggal di Jakarta, hidup sebagai minoritas bahkan dobel minoritas, dibuat miris dan khawatir akan generasi anak cucu kita.
Rasanya saya merindukan suasana di desa pada masa kecil saya. Walau saya minoritas, tetapi tidak ada rasa risi dan takut bergaul dengan warga sedesa. Kami tidak pernah membahas SARA. Walau berbeda, tetapi kami merasa sama, sesama warga desa yang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk bergaul, sekolah, bekerja dan seterusnya. Saya sekolah dari SD sampai SMA selalu di sekolah negeri, tetapi tidak pernah terjadi penindasan dari mayoritas terhadap minoritas. Sungguh suasana yang benar-benar saya rindukan karena telah hilang. Teman SMA saya yang dulu toleran tetapi sekarang berubah, mengucapkan selamat ulang tahun saja haram baginya. Awalnya intoleran, kemudian radikal, dan menjelma menjadi teroris yang tega menghalalkan darah dan nyawa sesama demi apa yang diyakininya untuk meraih tiket surga.
Bahkan partai politik bukannya prihatin dan mencari solusi untuk menanggulangi fenomena ini. Saya malah menyaksikan partai politik memanfaatkan isu agama untuk meraih kemenangan. Miris bukan? Fenomena ini tidak terjadi di negeri ini saja, tetapi juga di Amerika Serikat yang katanya negara yang menghormati HAM. Terjadi kejadian rasis di sana, yang kita saksikan videonya di sosial media akhir-akhir ini. Mengapa hal ini bisa merebak di seantero dunia? Saya juga tidak bisa menjawabnya.
Menganggap sesama manusia sebagai liyan tidak saja terjadi saat ini. Di zaman Yesus pun sudah terjadi, sehingga muncullah perumpamaan “Orang Samaria yang baik hati”. Yesus juga prihatin menyaksikan fenomena ini sehingga Dia menghajar secara telak dan mengajar orang Farisi yang menguji Yesus tentang sebutan “sesama” bagi mereka. Kisah ini menempelak mereka, karena selama ini mereka menganggap orang non Yahudi sebagai kafir, termasuk orang Samaria, padahal orang Samaria pun mempunyai darah keturunan Yahudi.
Sebagai orang percaya yang minoritas dan ‘tertindas’ di negeri ini, lalu apa yang harus kita perbuat? Tidak perlu berpikir yang canggih-canggih atau merancang program yang luar biasa, cukuplah kita meneladani ‘orang Samaria yang baik hati’. Kita sebisa mungkin berbuat baik kepada siapa pun yang berinteraksi dengan kita di mana pun. Tidak perlu melihat atau menghitung-hitung atau meneliti apakah dia sesama atau liyan. Sepanjang mereka manusia anggaplah sebagai sesama, perlakukanlah sebagai sesama, karena itulah yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus.
Tulisan ini akan saya akhiri dengan cerita tentang ‘Balon hitam’.
Seorang anak berkulit hitam melihat penjual balon di tempat keramaian. Untuk menarik perhatian orang banyak, penjual balon itu melepaskan sebuah balon merah sehingga membubung tinggi ke angkasa. Kemudian ia melepaskan balon biru, lalu kuning, kemudian putih. Semuanya lepas naik membubung tinggi ke langit sampai tidak terlihat lagi.
Anak kecil berkulit hitam itu berdiri, terus memandang balon hitam yang tidak ikut terbang, lalu bertanya: “Pak, kalau balon hitam itu dilepaskan, apakah juga akan naik membubung tinggi seperti balon-balon yang lain?” Penjual balon itu tersenyum penuh arti kepada anak itu. Ia memutuskan benang yang mengikat balon hitam dan balon itu pun terbang tinggi ke angkasa. Ia pun kemudian berkata: “Anakku, bukan warna, melainkan yang ada di dalamnya yang membuat balon itu terbang.”
Perkataan penjual balon tersebut begitu membekas pada diri si anak berkulit hitam, yang setelah dewasa kita kenal sebagai Martin Luther King, Jr, yang termasyhur karena pidatonya yang fenomenal di Lincoln Memorial Washington DC pada tahun 1963, yang antara lain mengatakan: ”Aku bermimpi keempat anakku kelak akan hidup di sebuah negeri di mana mereka tidak diukur berdasarkan warna kulit, melainkan berdasarkan kepribadian asli mereka.”
Martin Luther memperjuangkan persamaan hak antara kulit putih dan kulit hitam, sampai ajalnya menjemput tahun 1968, karena dibunuh. Robert Kennedy di dalam peringatan satu tahun kematiannya mengatakan: “Negeri ini seharusnya dilandasi dengan saling mengasihi dan saling membutuhkan, bukan balas dendam dengan kekerasan.”
BC Gorbes, seorang penulis terkenal pernah mengatakan: “Ukuran tubuhmu kurang penting, ukuran otakmu agak penting, ukuran hatimu adalah yang terpenting, karena ukuran hati inilah yang menentukan kualitas seorang manusia.”
|EDDY NUGROHO
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.