Ketika saya memulai pelayanan di jemaat GKI Pondok Indah, saya mendengar bahwa GKI Pondok Indah mempunyai program Christmas Carol. Waktu itu yang terbayang oleh saya adalah kebiasaan yang saya tahu di Belanda, yaitu sekelompok orang berdiri di perempatan jalan, atau di muka rumah seseorang, menyanyikan lagu-lagu Natal. Dan memang itu juga yang kita saksikan di mal-mal mewah di Jakarta.
Belakangan saya mengerti bahwa kegiatan itu dikoordinasikan dan dilaksanakan oleh Komisi Perlawatan bagi beberapa anggota jemaat yang berusia lanjut atau bagi mereka yang tak dapat (lagi) pergi ke gereja. Kemudian beberapa kali saya berkesempatan mengikuti kelompok-kelompok yang melaksanakan Christmas Carol di beberapa wilayah. Saya sungguh-sungguh terkesan olehnya. Amat berbeda dengan pelaksanaan di mal-mal, Christmas Carol bagi warga jemaat itu lebih merupakan kebaktian Natal kecil. Tentu saja lagu-lagu Natal dinyanyikan, tetapi dilakukan juga pembacaan Alkitab dan renungan singkat.
Bagi yang mendapatkan kunjungan Christmas Carol kesempatan ini kerap dinanti-nantikan. Terutama mereka yang tidak dapat meninggalkan rumah untuk pergi ke gereja karena usia atau karena sakit. Kunjungan Christmas Carol dialami sebagai pengganti ibadah dan perayaan Natal baginya. Bahkan dialami sebagai sesuatu yang personal dan hangat, yaitu gereja yang berkunjung ke rumahnya.
Namun yang lebih menarik lagi adalah perjumpaan dengan beberapa orang yang mendapatkan kunjungan itu. Tahun ini saya terlibat dalam kunjungan Christmas Carol ke rumah beberapa anggota jemaat di wilayah-wilayah jemaat Pondok Indah. Dari berbagai kunjungan di mana saya terlibat, perjumpaan dengan dua ibu amat berkesan bagi saya. Yang pertama adalah almarhum Bapak Sariowan beberapa tahun yang lalu dan Ibu Pitalia beberapa minggu yang lalu.
Bapak Sariowan adalah anggota jemaat GKI Pondok Indah yang tertua. Dalam usia melebihi 90 tahun beliau masih tergolong sehat. Agak rutin beliau dikunjungi oleh Seksi Perlawatan dari Komisi Senior, maupun oleh Majelis Jemaat untuk Perjamuan Kudus empat kali setahun. Memang ada saat-saat di mana beliau dalam keadaan lemah apabila malamnya tidak dapat tidur. Tetapi pada saat-saat segar beliau cukup komunikatif sehingga membuat suasana perkunjungan menyenangkan.
“Selamat pagi Oom Sariowan…” sapa saya dengan suara keras, mengingat pendengarannya yang kurang, ketika beliau didorong memasuki ruang tamu di atas kursi rodanya.
“Selamat pagi…” jawabnya lirih sambil tersenyum renyah.
Jawabannya itu kemudian menentukan suasana perkunjungan yang kemudian berlangsung dengan hangat.
“Masih ingat saya Oom…?”
“Pendeta….eh…”
“Pendeta siapa Papa…?” tanya putrinya.
“Eh… pendeta…. Rudi…?”
Rupanya sosok dan perawakan Pdt. Rudianto lekat pada ingatannya.
“Bukan Pa… Pendeta Purboyo..”
“Ya… ya…”
“Kita baca Alkitab ya Oom…?”
“Ya…” sahutnya meyakinkan, walau dengan kacamatanya yang amat tebal beliau tetap tidak dapat membaca.
Takkan terlupakan oleh saya ekspresi wajahnya ketika meresapkan lagu-lagu yang dikenalinya, ketika menikmati roti dan anggur Perjamuan Kudus, juga ketika berdoa. Bahkan pada suatu kali saya ingat betul ketika saya membacakan Mazmur 23 baginya ia turut bergumam. Ketika saya simak dengan baik, ia turut mengucapkannya di luar kepala dan hampir seluruhnya benar.
Pada waktu kepadanya dilakukan kunjungan Christmas Carol Pak Sariowan dalam keadaan segar. Wajahnya cerah senyuman tersungging di bibirnya. Ia turut menyanyi ketika kami melantunkan lagu-lagu Natal, walau yang keluar hanyalah gumaman. Dan setiap pelawat yang hadir dapat menyaksikan betapa apa yang kami lakukan sungguh-sungguh menyentuh beliau. Dan dada kami hangat melihatnya. Dari putrinya kami mendengar bagaimana sesudah kepada beliau diberitahukan bahwa dari gereja akan datang berkunjung, beliau mengharap-harapkannya dan hampir setiap hari menanyakannya.
Bulan Juni 2007 beliau dipanggil Tuhan dalam usia 96 tahun. Usia yang indah mengakhiri kehidupan yang juga indah. Kehidupan dengan anak, menantu, cucu dan cicitnya dalam damai dan sukacita. Kehidupan dalam Tuhan yang mencintai dan dicintainya, yang dipercayainya hingga akhir.
Kisah Ibu Pitalia hampir sama. Beliau adalah seorang perempuan yang kokoh. Dalam usia hampir 97 tahun beliau masih bisa berjalan walau harus menggunakan alat bantu (walker). Ini mencengangkan, mengingat sekitar dua tahun lalu beliau dioperasi kakinya untuk dipasangkan “pen” setelah beberapa bulan sebelumnya beliau jatuh. Namun yang lebih mengagumkan adalah daya ingatnya yang masih amat baik untuk seorang dalam usia yang begitu lanjut. Hanya pendengarannya yang sudah amat kurang.
Ketika kami melakukan kunjungan Christmas Carol kepadanya, beliau didampingi oleh putrinya yang tinggal bersamanya dan putranya yang datang berkunjung dari Australia. Dengan apik ibu Pitalia duduk tegak di samping putrinya. Wajahnya berseri-seri. Pandang matanya ramah. Tangannya sedikit gemetar memegangi kertas nyanyian yang digunakan dalam kunjungan Christmas Carol itu.
“Selamat pagi Tante…”
“Mami, Pak Pendeta bilang ‘Selamat pagi’…” seru putrinya di telinganya.
Ibu Pitalia langsung tersenyum manis dan menyahut:
“Selamat pagi…”
“Apa kabar Tante… Sehat kan?” tanya saya lagi, yang rupanya kurang keras sehingga putrinya kembali mengulangi pertanyaan saya di telinganya.
“Oh ya…. baik…. terima kasih.”
Dengan riang kemudian kami bernyanyi dengan iringan gitar. Dan ibu Pitalia mengikuti kami bernyanyi dengan mengeja teks lagu-lagu yang kami nyanyikan. Ketika saya bacakan sebuah teks Alkitab, beliau mengangguk-angguk walau saya tidak yakin beliau memahaminya atau tidak. Saya duduk di sebelahnya dan berusaha sekeras mungkin membaca dan kemudian menyampaikan renungan singkat. Dan ketika kami menyanyikan lagu penutup yaitu lagu “Muliakanlah” dalam bahasa Belanda, kelihatan beliau mengenalinya dan berusaha turut bernyanyi. Dan waktu kami berdoa di bawah pimpinan salah satu dari kami, tiba-tiba ibu Pitalia dengan suara cukup keras mengucapkan Doa Bapa Kami dalam bahasa Inggris.
“Our Father who art in heaven…”
sehingga sempat pemimpin doa berhenti sejenak memberikannya kesempatan. Namun di tengah-tengah, ibu Pitalia macet:
“Lead us not into temptation…. but… but… but… Amen…!”
Seusai berdoa kami semua memandanginya dengan takjub. Setengah berkelakar salah satu dari kami berkata:
“Kalau kita sudah berumur 80 belum tentu kita masih bisa melakukannya…”
Ia benar. Sungguh berbahagia mempunyai ibu yang sudah berusia begitu lanjut tetapi sama sekali belum pikun. Dan juga begitu kokoh. Takkan terlupakan betapa sedihnya beliau ketika salah satu putrinya meninggal di tahun 2004. Namun ia tetap tabah menerimanya. Waktu itu dengan mata berlinang-linang dan dengan suara lirih beliau berkata:
“Memang sudah jalannya… kehendak Tuhan…”
Setelah beramah-tamah dan minum teh, kamipun pulang. Masing-masing dengan pikirannya sendiri-sendiri. Tetapi saya yakin masing-masing dengan perasaan yang nyaman dan dada yang hangat. Tidak sia-sia, bahkan berkesan melakukan kunjungan Christmas Carol seperti ini. Sungguh perasaan dan suasana hati yang pas untuk Natal.
Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.