Sebagai manusia, kita kerap kali meremehkan atau menganggap remeh sesuatu, apakah itu benda, pekerjaan, atau orang. Menganggap remeh adalah memandang sesuatu sebagai tidak penting, tidak berguna, atau tidak ada. Sesuatu yang kita anggap remeh baru terasa apabila barang, pekerjaan, atau orang yang mengerjakan pekerjaan itu tidak ada atau hilang. Contoh sederhana, kancing baju sering kita anggap remeh, tetapi ketika ia lepas dan tidak berada pada tempatnya, barulah kita sadar bahwa ternyata ia penting.
Demikian pula dengan seseorang yang status sosialnya berada di bawah kita, misalnya seorang asisten rumah tangga. Kita sering menganggap remeh pekerjaannya, dan baru menghargainya ketika ia pulang kampung pada waktu hari raya atau ketika ia berhenti bekerja. Ternyata pekerjaannya bukanlah sesuatu yang remeh, malahan bisa membuat kehidupan rumah tangga kita terganggu.
Remeh—menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia—artinya tidak penting, tidak berharga, kecil. Jadi kalau kita menganggap remeh sesuatu, berarti kita tidak menghargai dan tidak merasa bahwa sesuatu itu penting. Karena tidak berharga dan tidak penting, maka kita boleh mengabaikannya.
Kita juga sering mengabaikan peran jari kita. Namun ketika salah satu jari itu tidak bisa menjalankan fungsinya—entah karena luka atau sakit—barulah kita merasa terganggu karena ternyata peran jari itu sangat penting.
Hal-hal yang sering kita anggap remeh dapat menimbulkan dampak yang luar biasa. Kita tidak jarang mendengar bahwa perceraian terjadi karena hal-hal yang remeh, tidak penting, tidak berharga, kecil. Namun hal-hal kecil yang disertai ego besar ternyata menjadi kekuatan dahsyat. Mematikan kompor adalah hal yang remeh, sepele, tapi kalau kita lupa mematikannya bisa menimbulkan kebakaran hebat.
Pandemi COVID-19 sudah menyerang dunia dan negara kita selama 9 bulan dan belum ada tanda-tanda akan berakhir. Saat ini makin banyak orang atau kelompok yang tidak lagi mematuhi protokol kesehatan. Yang jelas terlihat adalah banyaknya orang yang tidak memakai masker dan tidak menjaga jarak. Bukan saja terjadi di kelompok yang sosial ekonominya rendah, melainkan juga di kelompok yang menengah. Jadi tidak heran kalau jumlah orang yang terdeteksi positif makin banyak, grafiknya naik terus. Mereka yang ditegur karena tidak mematuhi protokol kesehatan bukannya menyadari kesalahan mereka, malah bisa marah-marah. Seorang Lurah di Jakarta Selatan bahkan dikeroyok oleh pengunjung sebuah kafe, dan pelakunya wanita lagi.
Banyak yang sudah menganggap bahwa virus korona ini tidak ada. Mungkin mereka sudah bosan karena sembilan bulan memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan, tetapi tidak terjadi perubahan, sehingga menganggap remeh virus ini, menganggapnya tidak ada dan tidak berbahaya. Mereka baru sadar bahwa virus ini benar-benar ada dan berbahaya ketika saudara, kerabat atau teman dinyatakan positif terkena COVID-19.
Masyarakat kita memang unik, kalau tidak mau dibilang aneh. Di satu sisi meremehkan virus korona ini, tidak mau mematuhi ketentuan pemerintah, tidak mau memakai masker, tetap berkumpul dan hang out bersama teman-teman dan menolak kalau diingatkan mengenai protokol kesehatan. Di sisi lain, kalau ada persyaratan untuk menjalani rapid test, misalnya karena hendak bepergian dengan kereta api atau pesawat, mereka juga menolak. Tidak heran, banyak sekali calo rapid test di stasiun kereta api. Mereka bisa mengusahakan surat “bebas COVID” tanpa harus melalui tes. Aneh bukan? Padahal dengan tidak menjalani rapid test, orang sangat berpotensi menyebarkan COVID-19. Apakah mereka takut dan tidak yakin bahwa virus korona ini ada? Kalau mereka tidak percaya, ya ikuti rapid test saja.
Sebagian besar masyarakat kita egonya masih tinggi, hanya memikirkan diri sendiri. Mereka tidak memikirkan orang lain dan lingkungan. Terhadap hal-hal yang tampak nyata saja, seperti membuang sampah di tempatnya, masih belum menjadi kebiasaan. Sampah masih berserakan di mana mana, membuang sampah dari mobil ke jalan masih sering kita lihat, apalagi terhadap virus yang tidak nyata dan tidak kasat mata.
Orang yang hanya mementingkan diri sendiri, mengabaikan semua aturan dan anjuran, bersikap masa bodoh atau cuek, dan berpikir bahwa ini badan saya, ini kesehatan saya, untuk apa orang lain ikut campur. Ini adalah bentuk perilaku anti sosial, sebuah masalah kejiwaan yang perlu diperbaiki.
Masih banyak perilaku anti sosial yang dapat kita lihat sehari-hari, mulai dari membuang sampah, menyeberang jalan seenaknya, angkot yang berhenti di mana saja sehingga menimbulkan kemacetan. Diperingatkan untuk memakai masker malah marah-marah dan melawan petugas. Diminta untuk tidak berkerumun malah bikin pesta pernikahan. Semoga perilaku anti sosial ini tidak menjadi pandemi baru di negeri kita… Salam damai.•
|SINDHU SUMARGO
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.