Sejak anak saya mengikuti berbagai kursus, ada banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakannya, tetapi juga menjadi pekerjaan rumah orangtuanya. Tidak heran bahwa setiap malam atau pagi, terjadilah negosiasi antara dia dengan papi atau maminya.
Menurut Wikipedia bahasa Indonesia, negosiasi adalah sebuah bentuk pertemuan antara dua pihak yang bertujuan untuk menghasilkan suatu persetujuan bersama dengan menggunakan langkah-langkah negosiasi seperti strategi, taktik, dan persyaratan.
Mengapa ada teori mengenai negosiasi? Sebenarnya negosiasi merupakan salah satu jalan penyelesaian secara damai melalui perundingan antara pihak-pihak yang tidak sepaham atau sependapat. Hasil dari negosiasi itu sendiri adalah perjanjian yang dapat memenuhi kepuasan semua pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini, bukan hanya pihak orangtua yang berhak puas dalam menyelesaikan sebuah konflik, melainkan anak-anak pun berhak untuk mengalami perasaan yang sama dengan orang dewasa.
Bahkan melalui konflik yang mereka alami bersama orangtua, justru anak secara alami dapat belajar mengasah emosinya agar menjadi semakin cerdas. Alasan lain, dalam negosiasi kita juga sedang melatih anak untuk mengembangkan “win-win solution” (jalan keluar sama-sama menang) sebagai bekal kehidupannya kelak.
Tentu saja diperlukan ketrampilan dari pihak pengendali untuk mendinginkan situasi konflik, bersikap tegas, tetapi juga menampung seluruh gagasan dengan tujuan agar solusi yang disepakati bermanfaat bagi semua pihak. Dalam hal ini, “manfaat” yang dimaksud adalah agar orangtua dan anak tetap hidup bertanggungjawab secara Kristiani. Untuk itu, dalam “Raise Them Right”, orangtua haruslah menjadi “master” atau ahli dalam seni negosiasi dengan anak.
Salah satu keahlian negosiasi yang diperlukan, menurut Ludlow dan Gergus Panton, adalah memerhatikan sikap kita terhadap perselisihan itu sendiri. Sikap positif dengan memandang bahwa konflik adalah sesuatu yang normal dan konstruktif merupakan sikap awal yang baik dalam menjalankannya, sehingga orangtua tidak hanya berpikir bahwa anaknyalah yang harus belajar dan melakukan yang baik, tetapi orangtua juga akan bertumbuh semakin dewasa, semakin sabar, semakin berhikmat dan semakin bergantung kepada Tuhan.
Adapun negosiasi yang efektif dengan anak adalah: Pertama, anak dapat ikut dalam diskusi verbal untuk menemukan kemungkinan solusi. Berarti dalam negosiasi, kita sekaligus melatihnya untuk mengembangkan kemampuan diskusi, dan bukan menerima mentah-mentah perintah dari orangtuanya. Kedua, anak secara cerdas dapat memahami perjanjian yang diberikan. Dengan demikian, ia juga secara alami dilatih untuk mengasah logikanya ke arah penyelesaian konflik, penerimaan pendapat dan bukan menciptakan atau menghindari konflik. Ketiga, anak menjadi semakin dewasa untuk memelihara hasil kesepakatan yang dibuat bersama. Di sinilah anak juga belajar menjadi orang yang bertanggungjawab dengan bersikap konsisten dan konsekuen.
Beberapa langkah untuk melakukannya:
1. Definisikan masalah yang dialami antara orangtua dengan anak.
Mark adalah anak yang sulit sekali makan sayur. Setiap kali ibunya menukannya, Mark memberontak dan membuangnya. Sekalipun ia dipaksa untuk memasukkannya ke dalam mulut, ia tetap akan membuangnya di sebuah kertas atau tissue. Dalam mendefinisikan masalah, katakanlah demikian, “Mark, sayur dapat mempermudahmu untuk buang air besar (BAB). Jika kamu tidak makan sayur, maka BAB-mu akan sulit. Dan tentu saja perutmu tidak sehat sehingga Mama harus membawamu ke dokter. Untuk berobat ke dokter, kita akan mengeluarkan banyak uang. Semakin kamu tidak makan sayur, kita akan sering ke dokter dan mengeluarkan banyak uang. Menurutmu, apa yang harus kita lakukan supaya tugas penting ini dilakukan?”
2. Diskusikan bersama mengenai kemungkinan solusi.
Jika Mark tidak makan sayur, beberapa kemungkinan yang Mark perlu tahu: Mark tidak dapat makan makanan kesukaannya yang lain (snack) karena makanan utama belum dimakannya dan mereka harus menabung untuk pergi ke dokter, dengan tidak membeli snack. Mark sebenarnya dapat memilih beberapa pilihan menu makanan sayur yang disukainya. Mark dapat memilih sendiri sayur yang disukainya di supermarket saat berbelanja bersama Mama. Mark juga dapat ikut masak bersama Mama di dapur. Jika Mama harus makan 10 sendok sayur, Mark dapat makan hanya 5 sendok sayur dan mereka akan makan di waktu bersamaan. Tentu saja jika Mark selama 1 minggu makan sayur tanpa absen, Mark dapat membeli snack kesukaannya dalam daftar snack yang menyehatkan.
Diskusi juga dapat dilakukan dengan menceritakan kisah anak-anak yang mau makan makanan sehat, sehingga anak dapat meneladani tokoh-tokoh tersebut. Misalnya tentang Popeye yang suka bayam. Atau Brownie yang tidak suka makanan sehat sehingga ia tidak kuat mengikuti teman-temannya berlari.
3. Putuskan bersama solusi yang disepakati kedua belah pihak.
Mark dapat memilih beberapa alternatif di atas dan memberikan alternatif lain sejauh hal itu merupakan kesepakatan bersama. Lalu, berikanlah kode saat Mark harus makan sayur atau berikan apresiasi setelah Mark selesai makan sayur. Seperti: “Sekarang… Mark sekuat Popeye!”
4. Sepakati kapan hal itu akan dilakukan.
Berjabat tanganlah dengan anak atau tulislah kesepakatan itu di sebuah kertas yang ditempel di pintu kamar dan ditandatangani kedua belah pihak. Jangan lupa peluklah anak dan ciumlah dia untuk kesepakatan yang telah dibuat bersama.
5. Evaluasi kesepakatan.
Jika perjanjian tidak disepakati, duduklah lagi bersama dan ulangi kesepakatan.
Beberapa kemungkinan yang dapat terjadi adalah solusi KALAH/KALAH. Berarti anak makan sayur tetapi mengeluarkannya sambil tampak menderita karenanya, sementara kita sebagai orangtua tidak berdaya menghadapinya. Solusi MENANG/KALAH berarti anak tidak mau makan sayur sama sekali dan kita tidak berdaya menghadapinya. SERI berarti anak tidak makan sayur dengan berbagai alasan, sedangkan kita sebagai orangtua memberikan hukuman kepada anak–sementara anak merasa bebas dari makan sayur dan lebih menyukai hukuman yang diberikan kepadanya. Sedangkan solusi MENANG/MENANG berarti anak makan dengan senang hati dan orangtua melihat anak sehat.
Masalahnya, jika anak selalu memberontak dan kita menjadi orangtua selalu tidak berdaya menghadapi anak, tentu kita perlu melakukan negosiasi sebagai salah satu solusi yang menyenangkan kedua belah pihak.
Beberapa saran dalam bernegosiasi:
- Pusatkan perhatian bukan pada anak tetapi pada konflik yang harus diselesaikan, sebab jika kita melihat anak kita melawan, tentu kita akan berpikir bahwa ia bersikap kurang ajar. Dengan demikian, kita akan mencari tahu mengapa ia tidak menyukai sayur yang kita hidangkan. Bisa jadi ia memiliki trauma tertentu terhadap sayuran karena pernah memakan sayuran pahit atau pedas. Atau ia tidak bisa menikmati rasa dari masakan sayur yang tersaji. Bantulah anak untuk menemukan alasannya selogis mungkin.
- Ajarkan anak untuk mengungkapkan pendapatnya tanpa menggunakan ekspresi perasaan negatif seperti marah, berteriak, menangis keras-keras, bahkan diam. Katakan, “Mama tahu Mark tidak suka melihat sayur ini.” Atau “Mama mengerti Mark geli melihat sayur ini.” Tapi kita harus menemukan jalan keluarnya.
- Mengetahui apa yang hendak orangtua capai dalam kesepakatan tersebut. Banyak anak tidak sepakat, bukan karena mereka tidak memahami manfaatnya, tetapi karena mereka tidak menyukai cara orangtua memaksa anak untuk mengikutinya. Tetapi juga ada banyak anak yang tidak menyukai penampilan makanan yang tersaji.
- Jangan menanggapi pertanyaan-pertanyaan retoris. Misalnya, “Memangnya semua orang harus makan sayur? Bibi tidak makan sayur setiap hari!”
- Ada kalanya anak mempertahankan posisinya dengan keras tanpa memberikan alasan. Apa yang harus kita lakukan?
- Tetaplah sopan saat bernegosiasi;
- Jangan membalas tindakan kurang ajarnya, simpan di akhir negosiasi sebagai pembelajaran yang berbeda. Namun ucapkanlah kalimat singkat atas tindakannya, misalnya: cobalah belajar sopan kepada Mama;
- Saat anak bertahan dalam keputusan atau pendapatnya, perlihatkanlah secara logis (masuk akal) kelemahan dari pendiriannya. Misalnya, jika kamu tidak mau makan sayur napasmu tidak segar. Atau dalam aturan 4 sehat 5 sempurna, orang ingin hidup sehat juga harus makan sayuran. Sebaliknya, mintalah mereka memikirkan kelemahan dari pendapat orangtua. Sebab hal ini melatih anak untuk memikirkan pandangan yang berbeda dari pihak lain.
- Fokuslah pada konflik atau masalah yang dihadapi. Jangan biarkan anak menonton film atau orangtua bernegosiasi sambil menjahit atau sms.
- Sambutlah perubahan anak ke arah solusi bersama dengan pujian, pernyataan keyakinan atau dukungan. Pusatkanlah negosiasi pada proses kerjasama antara anak dan orangtua, sehingga anak tidak merasa sebagai korban tetapi sebagai anak yang ditolong oleh orangtuanya.
Pertanyaannya, apakah semua hal harus melalui proses negosiasi? Tentu saja tidak. Ada hal-hal yang memang harus dilakukan anak tanpa melalui proses negosiasi. Jika pilihan itu memang bukan hal yang prinsip, misalnya, memutuskan apa yang akan kita makan pada waktu sarapan, kita bisa langsung menawarkan beberapa menu kepadanya agar ia dapat tawar-menawar. Tentu saja kita meminta anak untuk melakukannya sesuai dengan instruksi kita.
Sebaliknya, jika kita menghendaki agar anak-anak kita beribadah kepada Tuhan dan pergi ke Sekolah Minggu tanpa kesempatan untuk memilih, pilihannya hanyalah pada kita sebagai orangtua. Artinya, kita memberi pilihan kepada diri kita sendiri untuk mencari alternatif cara, agar mereka dengan senang hati melakukannya. Itu berarti bahwa kita harus bernegosiasi dengan hati kecil kita yang seringkali menghendaki anak-anak menaati kita dengan cara yang paling mudah dan cepat, misalnya: “Pokoknya, taat!”
Tuhan tentu akan memberikan hikmat kepada kita sebagai orangtua. Tuhan memberkati.
Pdt. Riani Josaphine
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.