“Mataku berair terus setiap kali mau tidur!” “Aku dong tiap hari harus pakai obat tetes mata. Ampun deh, mata jadi kering dan perih!” “Ahhhh… guru-guru itu tahu nggak sih kalau kita bukan pengangguran, tugas kita banyak banget.”
Pandemi COVID-19 ini membuat kegiatan belajar-mengajar secara ragawi terhenti. Kini anak-anak tidak lagi datang ke gedung sekolah untuk melanjutkan studi mereka. Mereka mengikuti kegiatan belajar secara daring (dalam jaringan internet). Tentu saja otomatis mereka harus berada di depan layar komputer sekitar 2 sampai 8 jam sehari. Tidak heran sebagian anak mulai mengeluh, karena ternyata belajar di kelas online membuat mereka mengalami setidaknya 3 hal:
Pertama, KESEHATAN FISIK
Sudah tidak mengherankan jika anak-anak yang mengikuti kelas daring atau kelas online mengalami kesulitan dalam melihat dengan jernih. Ada yang matanya berair, ada yang matanya kering, dan ada pula yang merasakan pusing disertai sakit kepala akibat melihat layar komputer terus-menerus. Itu sebabnya dalam Kompas hari Rabu 21 Oktober 2020, dokter spesialis mata Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada, Tri Winarti, menasihati agar siapa pun yang melihat komputer secara intensif, sebaiknya mengalihkan pandangan mereka setiap 20 menit sekali ke benda yang berjarak sekitar 6 meter selama sekitar 20 detik. Mengapa hal ini harus dilakukan? Rupanya ada ketegangan di dalam mata seseorang jika ia terus berkonsentrasi melihat ke arah layar, sehingga perlu dirilekskan.
Bukan hanya mata, melainkan ketegangan juga terjadi di seluruh persendian. Tanpa terasa, sendi sendi tubuh kita—termasuk juga tubuh anak—menjadi kaku. Saya bersyukur bahwa sekolah anak saya menyarankan siswa-siswanya untuk berolah raga setiap sore, sehingga mereka mendapatkan udara segar dan relaksasi setelah pelajaran usai.
Kedua, KESEHATAN MENTAL
Kesehatan lain yang juga berhubungan dengan tubuh atau fisik kita adalah mental. Mental terdiri atas pikiran, perasaan dan perilaku seseorang. Seseorang bisa dikatakan sehat secara mental kalau apa yang dipikirkan dan dirasakannya sejalan, sehingga menghasilkan perilaku yang sehat.
Ironisnya, anak-anak yang belajar online cenderung tidak didengarkan jika mereka menunjukkan sakit secara mental. Beberapa respons orangtua yang muncul saat anak-anak mereka mengadu seperti di atas, justru lebih cenderung memberikan nasihat atau perintah yang membuat anak-anak itu tidak merasa dipedulikan.
Ketiga, KESEHATAN SPIRITUAL
Kesehatan spiritual terjadi saat anak anak bisa menikmati cinta, dan lebih jauh lagi dapat percaya bahwa cinta itu berasal dari Tuhan. Keluarga yang tidak dapat menunjukkan cinta dan membuat anak merasa kehilangan cinta, tidak dapat membuat anak sehat secara spiritual.
Orangtua yang bertengkar, anak yang dituntut untuk hidup sempurna dan tidak dipedulikan perasaannya, akan membuatnya merasa tidak ada cinta di dalam rumahnya sendiri. Padahal anak sangat membutuhkan cinta di rumahnya, sehingga ia dapat menikmati rumah sebagai home yang membuatnya pulang dengan bahagia setelah bepergian atau berpetualang dalam hidup ini.
Tidak heran jika ada film yang mengajak kita untuk menghargai keluarga, “Harta yang paling berharga adalah keluarga. Mutiara yang paling indah adalah keluarga. Puisi yang paling bermakna adalah keluarga. Istana yang paling indah adalah keluarga.”
Lagu di atas hendak mengingatkan kita bahwa sesungguhnya cinta dan keluarga menyatu sebagai bagian yang berharga dalam hidup anak.
Masalahnya, di masa pandemi ini bisa jadi bukan hanya anak yang kekurangan cinta, melainkan juga orangtua dengan berbagai persoalan mereka, sehingga orangtua tidak dapat memberikan cinta yang diperlukan oleh anak. Khususnya saat anak mengalami tekanan dalam belajar online.
Dalam evaluasi Pemerintah, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ternyata juga menemukan banyak persoalan. Iman Z Haeri—selaku Kepala Bidang Advokasi Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru—pada tanggal 20 Oktober 2020 yang lalu mengatakan kepada Kompas bahwa PJJ mengandung banyak persoalan, termasuk kesehatan jiwa anak. Salah satu alasannya, karena guru banyak memberikan beban tugas kepada siswa. Menurut psikolog Universitas Indonesia kepada Kompas juga— Lucia RM Royanto—hal itu rupanya karena tidak semua anak memiliki kemampuan mengolah kesehatan jiwa secara mandiri. Tambahan lagi, tidak semua orang siap mendengarkan atau menceritakan keluh kesah mereka.
APA YANG DAPAT DILAKUKAN ORANGTUA
Sukses anak memang sebagian besar dipengaruhi oleh daya juangnya. Namun daya juangnya dapat terus berkobar jika lingkungan rumah mendukung perjuangannya yang tidak mudah ini. Itu sebabnya beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mendukung sukses PJJ ketimbang membuat anak menjadi stres adalah:
Pertama, HAK ANAK MEMPEROLEH PENDIDIKAN.
Apa maksudnya? Pendidikan adalah sebuah perjalanan hidup seseorang untuk belajar. Jika anak tidak belajar dalam proses PJJ, maka kita sebagai orangtua justru sedang menghambat belajarnya.
Bagaimana cara kita mendukung anak belajar? Di satu sisi kita dapat memberikan ruang yang menyenangkan untuknya belajar. Ruang, maksudnya adalah berbagai fasilitas yang membuatnya merasa nyaman. Anak yang kreatif senang berpindah ruangan atau mendapat suasana belajar yang bervariasi. Ciptakanlah suasana yang disenangi anak dengan tetap memerhatikan kebertahanannya dari jam ke jam sampai sekolah usai setiap hari. Di sisi lain, ia juga perlu mendapat kesempatan untuk mengalami cinta dari orangtua di tengah stres dan kebosanan yang ada.
Anak-anak yang belajar, sangat menanti masa istirahat. Walaupun hanya 15 menit, ada yang menikmati snacks atau makanan kecil yang membuat mereka tersenyum dan menikmatinya. Jika orangtua bekerja di luar rumah, penganan itu bisa dititipkan kepada orang yang ada di rumah untuk menambah semangat belajar mereka.
Saya pernah melakukan kegiatan online bersama anak-anak SD dan mereka berkata bahwa orangtua mereka tidak bersama mereka saat mereka belajar secara online. Ini bukan halangan. Namun mereka akan tetap merasa senang belajar online, jika orangtua mendukung dengan mengetahui apa yang mereka perlukan. Itu sebabnya penting sekali orangtua mendengarkan anak-anak mereka.
Kedua, MENDENGARKAN ANAK
Alkitab mengajak kita untuk sedikit berbicara dan banyak mendengar. Yakobus 1:19 mengatakan, “Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini. Setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata dan juga lambat untuk marah.”
Ini sering terjadi juga di dalam rumah di mana anak selalu merasa bahwa orangtua siap marah jika ia melakukan sesuatu yang berbeda atau yang tidak berkenan kepada orangtua. Padahal anak-anak juga memiliki kebutuhan dan keinginan yang tidak terucapkan.
Dalam percakapan saya dengan anak anak SD beberapa waktu yang lalu secara online, mereka takut kepada orangtua karena orangtua cepat sekali marah jika mereka melakukan kesalahan atau memiliki pendapat yang berbeda. Akibatnya anak-anak jadi pasif dan tidak berani menyatakan pikiran dan perasaan mereka.
Membuat studi online menjadi seru, salah satunya adalah dengan menyediakan waktu untuk mendengarkan anak. Ada anak anak yang suka mencurahkan isi hati mereka kepada orangtua. Bukalah telinga kita lebih besar dan tutuplah mulut kita untuk mengkritik atau menasihati. Anak anak yang didengarkan perasaannya oleh orangtua, akan memiliki rasa penerimaan yang besar sehingga tidak lagi mencari orang lain atau mencari perhatian dengan cara yang tidak wajar.
Dengarkanlah keinginan mereka agar keluar dari stres studi mereka, dengarkanlah beberapa permintaan mereka sehingga mereka tahu bahwa ada kompensasi positif dari kejenuhan yang mereka alami. Penuhilah keinginan yang dapat kita kabulkan, sehingga mereka tahu bahwa mereka layak dicintai tanpa syarat.
Ketiga, WAKTU KREATIF dan SERU
Selain waktu belajar, anak memiliki sisa waktu yang juga cukup panjang untuk mengisi kelelahannya setelah belajar online. Ada beberapa waktu yang berkualitas yang dapat kita tawarkan dan lakukan bersamanya:
- Waktu bermain (creative time). Carilah atau sepakatilah waktu bersama yang dapat membuatnya tertawa bersama di luar jam studi online. Waktu itu bisa diisi dengan berbagai kegiatan kreatif.
- Waktu tenang (quiet time). Waktu tenang adalah waktu di mana anak mengambil “me time” tanpa berbicara atau melakukan banyak kegiatan. Untuk sebagian anak introver, waktu ini berguna untuk self talk dan mengenal diri mereka sendiri. Baik juga jika waktu itu diisi dengan menulis di sebuah jurnal atau buku harian yang dihadiahkan orangtua sehingga mereka bisa mengungkapkan diri melalui tulisan-tulisan yang mem bangkitkan semangat hidup dan sekaligus pengenalan diri mereka.
- Waktu membaca (reading time). Ada anak-anak yang—ketika berbincang-bincang dengan saya—tidak pernah membaca buku, kecuali buku pelajaran sekolah. Betapa ruginya mereka kalau tidak pernah mengenal kisah-kisah lucu, seru dan menegangkan semasa kecil, padahal kisah itu bisa melatih daya imajinasi mereka. Betapa sayangnya jika mereka tidak pernah membaca berita di koran atau berita seputar negara dan dunia, padahal justru dengan informasi itu mereka bisa mendoakan bangsa mereka dan mencintai tanah kelahiran mereka. Betapa indahnya jika orangtua bisa membaca bersama mereka dan belajar memetik pesan bermakna dari bacaan tersebut.
Jadi, seru atau stresnya studi anak secara online, juga dipengaruhi oleh peran serta orangtua yang mendukung anak secara proaktif. Pilihan itu jatuh pada kita, apakah kita mau berlaku pasif dan menyerahkan hal itu kepada pihak sekolah, atau kita mulai memikirkan bagaimana memelihara kesehatan mental anak kita.
Sehat mental berarti sehat pikiran, perasaan dan perilaku. Menyediakan telinga untuk mendengarkan pikiran dan perasaan anak merupakan jalan agar kita dan anak dapat tetap memelihara perilaku yang baik.
Tuhan memberkati usaha kita!•
| PDT. RIANI J. SUHARDJA
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.