Sebuah kehadiran rasanya selalu sulit menemui isi. Seperti ketika Bush bertandang ke “negeri hujan” di Bogor, tempo hari. Yang tertangkap adalah parade militer, bedil yang terkokang, kepal tinju amarah pendemo, pembersihan kota. Ringkasan yang tersentuh bukan inti kehadiran Bush, tetapi selalu pernak-pernik seremoninya. Seperti Natal, lewat kisah ini.
Persiapan Natal sudah lama digelar dengan berbagai asesorisnya. Keceriaan sebagai simbol harapan telah ditata apik oleh sang panitia. Tidak ada yang terlewat seinci pun untuk merasa bahagia di hari berkhidmat, yang disebut Natal itu. Pita-pita dipajang di gerbang kota, lampu-lampu bertebaran bagai bintang yang berjaga siang dan malam. Dan hari perayaan itu pun tiba. Tapi tiba-tiba sesuatu menghentak. Kekagetan tak terhindarkan. Palungan sebagai simbol utama kehadiran sang Kristus hilang. Bagi panitia, Palungan itu bukan cuma simbol, tetapi sekaligus adalah tanda kehadiranNya. Maka jika hilang berarti tak pernah ada kehadiranNya.
Maka seluruh panitia dibantu warga kota bertugas mencari palungan itu. Perayaan Natal tak akan berlangsung tanpa palungan itu. “Natal ditunda?”, tanya seseorang. “Ya!” jawab yang lain. Pencarian pun berlangsung. Memang tidak lama, sebab Palungan itu cepat ditemukan. Namun keterkejutan terjadi lagi. Semua orang bukan cuma kaget, tapi langsung kehilangan semangat untuk bernatalan. Palungan itu ditemukan di rumah seorang janda miskin, yang anaknya mati. Dan palungan itu dipakai sebagai peti mati anaknya.
Cerita drama bertajuk Palungan yang Hilang ini, ditulis beberapa puluh tahun lalu oleh seorang anak muda yang pernah berguru di bangsal sebuah sekolah teologi, kemudian ia menjadi sastrawan dan terakhir wartawan senior, Yulius Siyaranamual, namanya. Tahun lalu ia meninggal, di pangkuan keluarganya di Tangerang. Tampangnya lecek, jarang berkemeja, selalu bersendal. Mengenal Bang Yulius – begitu saya menyapanya – adalah berjumpa dengan kerendahan hati. Suatu kali ia mengundang kami, menonton aktor-aktrisnya berpentas di Goethe Institut. Dan ia memboyong para lonte Surabaya main drama. Teman saya terkekeh sampai pentas usai.
Kini terasa lagi amarah Yulius pada parade seremoni spiritual di negeri ini. Bukankah Natal yang tergelar sepanjang bulan nanti, sebenarnya adalah Natal tanpa palungan? Kenapa tidak? Yang terjadi di dalamnya bukan sentuhan akan kehadiranNya bagi belarasa kemanusiaan. Yang justru hadir di Natal kita adalah sejenis neurosisme narsistik. Yaitu penyakit pengagungan diri, pengagungan lembaga, pengagungan gereja. Karena itu tak ada Kristus di Natal kita, yang ada hanya segerombolan orang yang terkagum-kagum pada cermin dirinya di kaca spiritual.
Konon, panitia Natal di kisah drama itu memutuskan untuk menyelenggarakan Natal di rumah janda miskin itu, dengan semua ketiadaan dan kesahajaan. Sebab mereka tahu, Natal adalah kesanggupan pemberian diri bagi orang lain. Bukan keceriaan diri di depan cermin beku.
Nah, gimana Natalmu tahun ini, teman? Masih sibuk memoles wajah persekutuanmu dengan gincu acara?
Atau kamu telah temukan “Palungan” yang Hilang itu?
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.