Sudah umum di kalangan masyarakat Indonesia bahwa bulan Ramadhan adalah bulan sucinya saudara-saudara kita, mereka yang taat dengan agamanya berusaha berpuasa sepanjang bulan itu. Aktifitas menurun terlihat dari jalan-jalan yang lengang, tidak seperti biasanya ramai sekali, macet. Namun di ujung bulan itu, mereka merayakan dengan penuh sukacita bersama sanak-saudara: hari besar IDUL FITRI, merayakan kemenangannya. Mudik rame-rame, bahkan dibelain pulang kampung pakai motor, sekeluarga: suami-istri dan anak! Kumpul bersama bersukacita bersama keluarga besar.
Sudah populer juga kalau bulan Desember adalah (“giliran”) bulan SuCi (baca: Sukacita) nya kita, orang-orang Kristen, yang juga merayakan hari besar, hari NATAL. Natal/“NOEL”, hari lahirnya “Mary’s Boy Child”: YESUS, yang menang atas kuasa gelap di dunia ini, menyelamatkan manusia yang mbalelo penuh dosa. Toko-toko mal-mal menyanyikan lagu “Silent Night”. “Keidentikan” kedua bulan-sukacita tersebut. bisa ditandai dari Hari Libur National resmi dari pemerintah, dan THR karyawan yang boleh diambil bulan: Ramadhan atau Desember!
Penulis masih ingat benar masa kecil sampai gedean dikit, NATAL yang selalu penuh sukacita dari tahun ke tahun. Mulai dari menghias dengan pernak-nik dan lampu yang lap-kelip menjadikan semaraknya Christmas tree, baju baru, sepatu baru, hadiah-hadiah dan kado, makanan yang enak-enak sampai cerita/khotbah Natal. Lagu-lagu, “Tonil” atau drama NATAL menarik sekali untuk didengar dan dilihat. Bahkan disuruh ikut drama jadi domba merangkak-rangkah di depan jemaat, ngembek-embek koq ya seneng aja! Wis pokoke uenak tenan masa itu, masa anak-anak, masa remaja dan seterusnya!
Semakin gede, semakin dewasa “sukacita” Natal tersebut rasa-rasanya koq kabur, entah nyelip di kebosanan, entah terkikis oleh rutinitas, atau hilang di tengah kedewasaan; yang jelas rasa sukacita itu udah ngga’ komplet, nggak semantap seperti dulu waktu masih ng-ucok atau mbutet. Jujur saja khotbah NATAL yang itu-itu aja mulai hambar. Aktifitas Natal seperti dipaksakan, berkunjung ke Panti Jompo, bagi-bagi hadiah ke Panti Asuhan. Apalagi main drama, coba saja kalau Natal Komisi Senior: diceritain bintang besar yang nyorot palungan, tiga orang majus naik onta, para gembala dan… semisal Pak Ruben, Bu SriHa, Pak Kamto (nyuwun sewu lho mbah, yang penting kita tetap akrab) disuruh jadi embeknya, entah domba atau kambing, “pokoke nggak usah ngapalin naskah, ngembek doank!”, kata panitia. “Well well, tahun depan ngga’ lagi, deh; “kapok Natalan di Komisi Senior”, kata Pak Kamto yang dari Jogya, asli Jawa Tengah!
Tak sengaja, terlihat warta jemaat di sudut meja, tanggal 23 November 2008; masih ingatkah judul renungan singkat di halaman depan? Belum dibaca? Atau sudah tapi lupa? Dan yang ini: yang lupa, itu “wajar”, bisa dimaklumi bahwa tidak-semua bisa diingat. Jadi, apa dan mana yang bisa teringat terus? Khotbah pun banyak terlupakan, paling tidak nempel 1–2 hari saja sudah untung. Itulah salah satu manfaat rajin ke gereja, baca renungan harian dan seterusnya–dan seterusnya, seperti pisau yang selain dipakai, diasah terus dan terus, hingga tetap tajam dan berguna. Oleh karenanya: SETIALAH! Bacaan/renungan dalam warta jemaat tadi diambil dari Mat. 25:31-46 (yang ditulis oleh ibu pendeta kita), kalimat terakhir “menawarkan” kepada kita untuk memilih jadi domba atau kambing?
Namun kali ini, tidak untuk mengisi peran embek dalam acara Natal jemaat. Sang Juru Selamat yang telah lahir 2000 tahun yang lalu, hadir bersama murid-muridnya hanya beberapa tahun saja karena beliau harus segera “pindah alamat”, pulang ke rumah BAPA. Suatu saat nanti, beliau kembali lagi sebagai hakim yang adil.
Di sinilah masalahnya, kapan jadi domba kapan jadi kambing. Kalau jadi domba, domba yang bagaimana. Keduanya hidup bersama-sama, ya kambing ya domba, sama-sama jadi anggota jemaat (GKI PI?), duduk bersebelahan dalam ibadah Minggu: memuji memuliakan nama-Nya. Sama-sama aktif di komisi, yang satu bendahara, satunya lagi ketua, dan seterusnya. Saat itu dipisahkan yang domba dikumpulkan dengan rekan-rekan yang domba (Mat 25:33) dan yang kambing… apkir! Ironis bukan? (Mat 25:41 bandingkan dengan Mat 7:21-23).
Selain itu, ada “gembala” yang berkaki serigala: bisa ngusir setan, menyembuhkan pakai nama beliau, khotbahnya menarik dan menyemangati; tapi saat itu, Dia berkata tidak kenal dan disuruh ENYAH, (sekali lagi baca Mat 7:21-23) Jadi, sekarang ini, bagaimana supaya kita semua, tetap berkumpul dan terkumpul di sebelah kanan-Nya. Masih ada waktu untuk yang… kambing berubah jadi domba dan yang domba atau “merasa” domba berperilakulah sebagai domba yang “benar”.
BERUBAH! Berubah ke mana? Ikuti perintah di dalam perikop tadi! Jadi, kalau semua komisi bikin program menengok orang “susah”, bagi-bagi baju dan sembako, menjenguk orang ke rumah sakit, anjangsana ke bui, dan seterusnya. Apa berarti sudah cukup? Apakah dengan program-program gereja yang ada, maka sebagai anggota GKI PI boleh mengklaim nanti di pengadilan bahwa kehendak Tuhan itu telah dilaksanakan dengan baik?
Sekali lagi Berubah atau Berbalik. Para ahli psikologi modern menyebut proses berbalik kepada yang ideal ini sebagai: re-edukasi, re-orientasi atau re-adaptasi. YESUS menamakan proses itu Metanoia atau “Pertobatan”, artinya proses berbaliknya manusia–baik secara mental maupun spiritual–kepada Yang Baik dan Yang Benar.
Di sini, kejujuran dan kesungguhan hati diperlukan! Bukan melakukan semuanya untuk aku “sang ego”, bukan peduli sesama lalu pulang bawa “sertifikat: terima-kasih”, bukan ke gereja, ke rumah sakit, ke panti-panti, dan seterusnya yang semuanya hanya untuk mendapat/mengumpulkan kredit point. Bukan, sekali lagi bukan! Tapi, …hati yang berelasi dengan DIA dengan benar.
Contoh yang tepat ya Madam Theresa di mana beliau melakukannya bukan sebagai tugas atau pekerjaan yang harus dia lakukan karena digaji, tapi hatinya, batinnya telah menyatu dengan kasih Sang Juruselamat (was born on Christmas Day!) Semua dilakukan bukan karena “order” dari boss di pusat, bukan untuk mendapat credit point, namun HATI yang sudah berubah, yang sudah dikuasai/dipenuhi Roh Kudus. Itu baru orang Kristen yang berkualitas, bukan yang asal-asalan, bukan asal jadi, bukan domba jadi-jadian tapi menjadi benar-benar domba-Nya. Di sinilah letak sukacita yang bukan saja waktu Natal, bulan Natal, tapi sepanjang hayat: dari kecil, setengah gede sampai gede banget alias tuwek! WHAT A HAPPY LIFE, A REAL HAPPY LIFE! kata orang Jawa Timur.
Belajar dari semuanya itu, mari di ujung akhir tahun ini, di bulan sukacita Desember 2008, kita merenung apa dan sampai mana kita sebagai anak-anak-Nya menjalankan kehidupan BATIN ini, melakoni kehidupan Kristiani; sudah jadi setengah domba sekaligus setengah kambing atau totally …
ARE WE (YOU and ME) AT THE RIGHT TRACK?
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.