Sega Krawu dari Karak Kering
Memang bukan secara kebetulan keluarga kami paling miskin di lingkungan dari Karak Kering kampung tempat kami tinggal. Bapakku bukan pegawai, bukan pula pebisnis, tapi hanya pensiunan tentara zaman kemerdekaan dengan pensiunnya yang sangat kecil. Meskipun ia tokoh masyarakat yang dihormati, karena kepeduliannya terhadap sekitar — terutama teman-teman seperjuangannya dulu — tapi ia bukanlah orang yang pintar memanfaatkan kesempatan untuk keuntungannya sendiri dan keluarganya, sehingga ia tidak bisa menjadi ‘bread winner’ yang terandalkan.
Semasa kecil, ketika terbangun malam hari, sering kudengar Bapak-Ibu berdiskusi tentang apa yang akan dimakan besok. Salah satu dialog yang terekam dalam hingga tak terlupakan sampai kini adalah seperti berikut. “Mas, beras sudah habis. Untuk besok nggak ada lagi yang akan ditanak,” kata Ibu pada Bapak. “Wah, aku juga tidak punya uang lo,” sahut Bapak lirih. “Ada tersisa bahan apa yang bisa dimasak ya?” sambung Bapak. “Ada sih karak (nasi kering), tapi juga tinggal sedikit,” jelas Ibu prihatin. “Ya sudah, olah karak saja yang penting bisa makan.” imbuh Bapak. ”Tapi kan ya nggak cukup cuma karak, perlu kelapa segala kan?” desah Ibu. “Terus piye???” bingung Bapak. “Ah… sudahlah. Besok bisa tukar beberapa botol dan celana bekas itu dengan karak dari Yu Darmi, sisanya suruh bayar saja supaya bisa buat beli kelapa,.” tukas Ibu mengakhiri pembicaraan tengah malam itu.
Waktu itu aku cuma senyum-senyum saja mendengar dialog itu karena aku memang menyukai karak olahan Ibu. Olahan karak atau yang sering disebut Ibu sega krawu. Menanak karak (sisa-sisa nasi yang dikeringkan, di kampung diperdagangkan karena banyak peminatnya) adalah proses melembekkan karak kering sehingga kembali menjadi seperti nasi — tanpa kelembutan dan gizi tentunya — lalu ditaburi garam dan parutan kelapa mentah. Bagiku — sebagai anak kampung yang miskin — hidangan itu adalah sebuah kemewahan tersendiri. Tidak ada kepedihan sama sekali yang kurasakan, karena aku memang masih sangat kecil. Keprihatinan itu baru kurasakan ketika aku mulai menginjak usia remaja. Setelah tahu apa artinya standar hidup layak, baru aku mengerti makna dan perihnya dialog itu.
Ibu memang orang yang berpikir ‘ada uang atau nggak ada uang, suami dan anak-anakku harus tetap makan.’ Ibu tidak pernah membiarkan kami, apalagi tetangga, tahu persoalan dapur dan isi bakul kami. Karenanya, kalau kami sedikit saja protes tentang hidangan yang disajikan Ibu dengan merengek atau mengomel — entah karena terlalu sedikit, tidak ada lauk-pauk pendamping sayur, telur yang cuma seperempat seorang, atau kerupuk yang cuma separo — beliau benar-benar murka kepada kami sambil mewanti wanti jangan sampai orang lain tahu hal itu. “Aib,” kata beliau. Bagi yang simpati cuma akan bisa prihatin, tapi bagi yang nggak suka akan jadi sebuah gunjingan kesukaan dan tepuk tangan. Dan isi piring kami tetap tidak berubah.
Dituntun ke Jalan Tuhan
Pada usia 7 tahun, Tuhan berkenan membawaku ke jalan-Nya. Aku mulai mengalami hal yang berbeda dalam kehidupanku. Meski tak bisa kumengerti dan ceritakan, tapi aku merasakannya. Guru Sekolah Mingguku memberiku sebuah Alkitab yang kulahap pembacaannya dalam setahun (menurut almanak yang kujadikan penuntun). Pengalaman rohani para tokoh Alkitab serta penyertaan dan pertolongan Tuhan kepada mereka menjadi inspirasi bagiku untuk memaknai secara lain kehidupan kami. Sepertinya itulah perubahan yang kurasakan tadi. Di usia yang sama, adikku pun diperkenan Tuhan mengikut jalan-Nya. Ibu kami (yang penganut Kejawen) tidak berkeberatan, bahkan bersyukur kami mendapat pendidikan rohani di Sekolah Minggu.
Karena kami mengikut teman yang dimasukkan orangtuanya ke Sekolah Minggu yang berbahasa Mandarin, jadilah kami mendapat pelajaran di Sekolah Minggu yang disampaikan dalam Bahasa Mandarin. Tanpa dasar, kebiasaan, lingkungan, serta tuntutan untuk berbahasa Mandarin dalam keseharian, bisakah dibayangkan bagaimana kami—anak-anak usia awal SD—harus menyerap, mengerti, dan memahami apa yang disampaikan oleh guru-guru Sekolah Minggu kami? Untuk alasan itulah (mungkin) salah seorang guru Sekolah Minggu kami memberikan sebuah Alkitab berbahasa Indonesia kepada kami masing masing.
Kuasa Roh Kudus
Pada suatu saat, aku kelas 5 SD sedangkan adikku kelas 3 SD, orangtua teman Sekolah Minggu kami menanyai kami apakah kami mengerti cerita-cerita yang disampaikan oleh guru-guru Sekolah Minggu kami. Bukankah kami anak-anak orang Jawa yang pastinya tidak bisa berbahasa Mandarin? Aku dan adikku saling tatap, kemudian aku menjawab dengan mantap: “Ngerti!” Kusampaikan juga bahwa setiap Minggu aku menggambar comic strip isi cerita Minggu sebelumnya, dan kutunjukkan kepada guru-guru Sekolah Minggu kami yang menyukainya. Itulah bukti bahwa kami mengerti apa yang diceritakan mereka.
“Tapi bagaimana bisa?” desak ibu itu, “Anak kami yang diajari dan diajak berbicara Bahasa Mandarin sehari-hari saja kadang-kadang tidak bisa menceritakan kembali cerita guru Sekolah Minggunya,” keluhnya. Adikku yang sangat pendiam, bahkan cenderung introver, menjawab dengan lirih tapi mantap tanpa memandang ibu tersebut, “Itulah kuasa Roh Kudus yang menolong kami.”
Ya ampuun… anak umur 8 tahun bicara Roh Kudus? Entah dengan pemahaman seperti apa, tapi ia memang tidak ngomong apa-apa lagi setelah itu. Ketika sudah dewasa, pernyataan itulah yang sering kupakai sebagai penjelasan ketika aku harus menyampaikan kesaksian bagaimana Tuhan menuntun aku memahami Firman-Nya di usia belia atau sekarang ini. Terima kasih untuk pernyataan imanmu yang sederhana namun tak terbantahkan, Dik.
Karena Kita Kristen
Di kesempatan lain, ketika kami sudah sama-sama remaja, dalam perjalanan ke gereja kami mampir menjemput salah seorang teman kami. Sambil menunggunya berkemas, kami duduk di ruang tamunya yang tidak berjarak sama sekali dengan jalan gang di kampung kami itu.
Aku memerhatikan orang-orang yang lewat, yang hampir semuanya kukenal dengan baik. Lewatlah Cak Kemat, pendekar pencak yang sudah tersohor. Aku prihatin melihat nasibnya yang ditinggal istrinya karena merasa Cak Kemat kurang bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Cak Kemat tidak bekerja, kadang-kadang saja kalau mau ia menarik becak, tapi terus bermabuk-mabukan bersama teman-temannya.
Tidak lama, lewatlah Mas Parmin yang sudah mengubah namanya menjadi Andi Gunawan dan mengaku sebagai pengacara, padahal tidak pernah kuliah hukum, bahkan tidak pernah tamat SMA. Orangnya memang cakep, perlente, dan meyakinkan, baik penampilan maupun omongannya.
Aku sempat menyapanya dan kami bertukar salam. Mas Parmin … eee om Andi Gunawan ini istrinya gonta ganti. Entah siapa saja mereka, tapi pada awalnya pasti terpikat karena status kepengacaraannya itu dan pada akhirnya hampir semua berakhir dengan kemarahan karena status palsu itu. Kehidupan Mas Parmin tidaklah segerlap penampilannya. Hanya di luar kampung saja orang bisa tersamar dengan penampilannya, tapi tidak dengan tetangga-tetangga di kampungnya.
Setelah beberapa orang lain berlalu, lewat pulalah Kang Gatot, abang temanku Hari. Sepertinya baru beberapa hari dia keluar dari Lembaga Pemasyarakatan karena perbuatan pemalakan saat ia dan teman temannya mabuk di depan pasar. Kalau soal ditangkap polisi, ia sudah langganan. Di luar kampung, ia dikenal sebagai jagoan yang berani dan cukup bengis. Hanya karena di kampung kami tempatnya para jagoan, ia tidak terlalu mendapat panggung sehingga hanya berani nakal di luar kampung.
Aku menyampaikan keprihatinanku perihal mereka kepada adikku yang asyik membaca majalah anak-anak yang ada di meja. “Kenapa kita tidak terjebak dalam kemiskinan yang cenderung membawa kita kepada kebodohan dan kejahatan seperti pada umumnya yang dialami lingkungan kita ya???” tanyaku heran. “Karena kita Kristen,” jawab adikku tanpa menghentikan kegiatannya membaca. Aku menunggu komentar lain darinya. Ternyata tidak ada lagi. Dia hanya menampilkan kesimpulan itu menjawab persoalan pelik yang kuajukan.
‘Karena kita Kristen’ akhirnya menjadi wujud integritas yang kugunakan dan kubagikan kepada mereka yang sering bertanya kenapa kita harus tetap bersikap begini atau begitu, atas nama kebaikan dan kemanusiaan, padahal kita tidak mendapat pengakuan, respons, dan penghargaan yang sepadan? Terima kasih ya, Dik. Sekali lagi engkau telah menginspirasi dan mengajariku untuk meyakini imanku dalam bersikap, menunjukkan eksistensi, dan berintegritas.
Dimanjakan Tuhan
Pada momen Natal sebuah masa sulit yang sedang kami hadapi, istriku berbincang-bincang dengan adikku. Istriku prihatin atas kondisi yang sedang meliputi kami. Ia khawatir bahwa aku—yang sudah pernah sampai pada tingkatan kehidupan yang jauh dari kondisi masa kecil dulu— merasa perjuangannya sia-sia dan menjadi ‘patah-arang’.
Namun adikku bereaksi dengan senyumnya yang menenteramkan. Dengan tenang dan kalem ia berkata kepada istriku: “Mbak, kalau mengalami kesulitan seperti ini bersamanya, jangan pernah khawatir, apalagi takut. Akan selalu ada jalan keluarnya. Bukan karena dia hebat, tapi dia itu benar-benar dimanjakan Tuhan. Lihatlah keajaiban apa yang dihantar Tuhan untuk mengeluarkan kalian dari kesulitan ini?” Istriku terhenyak mendengar pernyataannya dan secara tidak sengaja mengangguk mengiyakan, mengingat pengalaman-pengalaman yang pernah kami lalui bersama. “Dia tidak akan bunuh diri, itu tidak ada dalam kamusnya. Dia tidak akan membantah dan melawan, apalagi memperjuangkan kebenarannya menghadapi fitnah, tuduhan, hasutan, maupun pengkhianatan yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya. Dia selalu mengatakan, ada catatan di langit yang tak akan pernah teringkari. Meskipun sikapnya keras dan kadang emosional, tapi sebenarnya hatinya lembut, penuh tujuan baik sebagai ungkapan syukurnya kepada Tuhan. Mungkin untuk itu Tuhan memanjakannya.” tutup adikku agak panjang. Ia membagikan pengalamannya bersamaku selama ini.
Istriku hanya tersenyum mendengar penuturannya yang ikhlas dan meyakinkan itu. Ia memang sangat mengapresiasi hubungan kakak-adik yang harmonis di antara kami berdua, meskipun tidak bisa sering bersua karena jarak, fokus, dan kesibukan masing-masing.
Apa yang disampaikan oleh istriku dari hasil perbincangan itu membuat aku lebih yakin pada penyertaan Tuhan dalam hidupku dan keluargaku. Pernyataan yang harus kuamini, sehingga membuatku tidak pernah takut menghadapi kesulitan. Aku makin meyakini kebenaran yang dinyatakan pemazmur dalam Mazmur 37:25 – Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti.
Sekali lagi terima kasih telah mengingatkan dan meneguhkan bahwa penyertaan Tuhan tidak pernah jauh dariku ya, Dik. Terima kasih untuk terus melemparkan mutiara mutiara imanmu itu kepadaku yang masih sering bimbang, ragu, takut, dan bahkan ‘mati-rasa’.
Selamat Natal, Dik …
Sekarang dia sedang berdiri di seberang gereja sana sambil memandangiku yang terus ‘pencilakan’ mengendalikan roller-coaster kehidupanku yang tidak pernah jauh dari halaman gereja. Aku ingin memanggilnya untuk bersama-sama menikmati damainya Natal yang tidak selalu disertai sukacita dan sejahtera ini. Ingin aku merangkulnya sambil berbisik lembut di telinganya: “Selamat Natal, Dik. Tuhan Yesus sangat mengasihi dan merindukanmu …..”
| SUJARWO
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.