Salam kasih dan damai sejahtera dalam Kristus, kiranya hikmat Tuhan Yesus dan Roh Kudus menuntun pengungkapan kesaksian hidup saya ini, yang semua terjadi semata-mata bagi kemuliaan-Nya.
Pada tanggal 30 September 1990, saya, Mahmud Yusuf Nurdin Theofilus, dibaptis di sebuah gereja sederhana, GPIB-Karunia di daerah Ciputat, dan pelayanan baptisan kudus itu dilaksanakan oleh seorang pendeta muda (alm.) Pdt. J.B.W.P. Kokali, pada saat usia saya menginjak 29 tahun. Sebelumnya, saya adalah seorang Muslim yang tidak pernah meninggalkan salat lima waktu, puasa, dan berbagai kewajiban lain sebagai seorang Muslim yang selama kurang lebih 25 tahun dididik dengan sangat kuat oleh keluarga saya. Saya bahkan memahami bahwa hanya golongan kami saat itu yang menjadi calon penghuni surga dari 70 golongan yang ada. Selebihnya, ribuan bahkan jutaan golongan, adalah calon penghuni neraka yang akan mendapatkan siksaan dalam kekekalan.
Sejak usia 6 tahun, setelah saya disunat sebagai kewajiban seorang laki-laki Muslim, maka berlakulah segala kewajiban saya dari mulai bangun pk. 4 pagi untuk pergi dengan Bapak dan Ibu ke mesjid melaksanakan salat subuh bersama di mesjid, dilanjutkan dengan tausiah (renungan pagi) pengupasan Al-Quran dan hadis, sementara adik-adik laki laki dan kakak-kakak perempuan saya masih boleh tidur. Sebagai anak laki-laki tertua, saya memang dipersiapkan untuk menjadi imam di keluarga, pengganti Bapak kelak. Sepulang sekolah, siang hari pk. 2 saya harus ikut pelajaran agama Islam di Pesantren di Bandung selama 2 jam, dan sore pk. 6-7 malam ikut pelajaran membaca Al-Quran bersama adik adik dan kakak-kakak saya dengan memanggil guru agama khusus.
Begitulah setiap hari, kecuali hari Jumat, di samping kegiatan belajar pelajaran umum di sekolah negeri. Selama hampir 9 tahun, praktis kami tidak mengenal ajaran dan agama lain kecuali Islam yang kami terima sehari-hari. Pada saat itu, sekitar tahun 1970, kakak-kakak perempuan saya yang menginjak usia 12 tahun, sudah menggunakan jilbab/hijab bila keluar rumah, sebagai kewajiban wanita Muslim.
Pada usia 16 tahun, saya masuk sekolah kejuruan menengah atas. Ada sesuatu yang berbeda, karena saya harus menghabiskan waktu hampir 8 jam penuh di sekolah, termasuk hari Jumat, karena sekolah kejuruan mewajibkan murid-muridnya belajar dan praktik laboratorium atau ekstrakurikuler di sore hari. Kondisi ini menyebabkan saya tidak ada waktu lagi untuk belajar agama Islam, bahkan sebaliknya saya mulai mengenal teman-teman yang berlainan agama.
Saat saya memasuki tahun ketiga di SMA, saya berkenalan dengan seorang teman perempuan, adik kelas, yang beragama Kristen Protestan. Saat itu kami berkomitmen untuk tidak saling bercerita tentang iman percaya kami masing-masing, tetapi praktis karena kegiatan pertemuan saya setiap hari Minggu, bahkan saat saat hari raya Kristen, saya mulai mengenal apa itu lagu-lagu rohani Kristen, arti Natal, Paska, doa Bapak Kami, bahkan Pengakuan Iman Rasuli, yang sebagai orang Islam saya kenal sebagai Syahadat atau pernyataan Iman.
Ada satu hal yang membuat saya kagum kepada teman-teman Kristen saat itu. Mereka begitu percaya diri bahwa mereka telah diselamatkan dan tidak akan mendapatkan siksaan neraka. Ketika saya mengikuti ritual ibadah pemakaman kristiani, mereka meyakini bahwa jenazah yang akan dimakamkan sudah berbahagia, tidak lagi merasa sakit dan air mata, karena sudah duduk di pangkuan Bapa di surga.
Di samping itu saya mulai mengenal cara-cara hidup orang Kristen sehari-hari lewat kegiatan hari Minggu di rumah keluarga teman perempuan saya. Mereka selalu makan bersama, berdoa bersama sebelum makan, dan melakukan praktik hubungan kasih antar sesama anggota keluarga. Dalam pembicaraan praktis pun saya melihat ada perbedaan antara kehidupan mereka dan keluarga saya yang dipagari berbagai aturan dan kewajiban yang sering kali sangat sukar saya jalani dengan segala keterbatasan.
Perasaan ini berjalan hampir 10 tahun sejak saya mengenal teman perempuan saya yang setiap Minggu dengan rajin pergi ke gereja, sampai pada satu hari tiba-tiba saja menyampaikan keinginan saya secara pribadi untuk melamarnya menjadi pendamping hidup. Saya melihat kekagetannya. Ia menyampaikan keraguannya, tetapi saya meyakinkannya kalau saya mau belajar lebih dekat mengenal siapa Yesus itu yang selama ini diimaninya. Ternyata pernyataan saya itu berdampak besar.
Malam harinya, saya mulai bergumul antara ketakutan akan apa yang akan terjadi kelak kalau saya menjadi pengikut Jesus, dan konsistensi ucapan saya untuk belajar mengenal siapa Yesus. Jangankan mengimani dan melakukan apa yang menjadi kewajiban ritual ibadah pengikut Yesus, untuk meninggalkan salat saja saya sudah merasa bersalah. Malam itu saya berdoa hampir semalaman dengan doa yang tidak lazim saya lakukan, dengan menggunakan bahasa Indonesia. Intinya saya meminta petunjuk Tuhan, dan di akhir doa saya berkata, “Engkau yang memanggil saya untuk menyatakan isi hati saya kepada calon pendamping saya, Engkau juga yang akan memberikan jawabannya.” Saya meyakinkan diri saya sendiri, “Tuhan, kalau saya punya persoalan dengan manusia, masih ada Engkau yang saya andalkan, tetapi kalau saya punya masalah dengan-Mu, Tuhan, tidak ada seorang manusia pun yang bisa menolong.”
Pagi harinya saya merasa ringan setelah semalaman berdoa sampai tertidur karena lelah. Lalu dengan ditemani teman perempuan saya, saya mulai mencari pembimbing rohani lewat beberapa gereja. Setiap gereja yang saya datangi menyambut saya dengan penuh suka cita, tapi tatkala mendengar tentang latar belakang keluarga saya, akhirnya meminta saya untuk mencari gereja lain. Suatu hari saya bertemu dengan seorang pendeta di sebuah gereja sederhana di Ciputat yang memulai dengan pertanyaan yang membedakan pemahaman Islam dan Kristen, dan sekaligus bercerita tentang kesamaan yang ada dalam Alkitab masing masing. Setelah beberapa lama bertemu dengan pendeta tersebut, saya baru menyadari bahwa beliau adalah seorang ahli Islamologi. Melalui percakapan dengan beliau, dengan mudah saya menangkap inti keselamatan yang dimaksudkannya. Juga tentang siapa Jesus itu, yang bukan saja Tuhan, melainkan juga manusia yang berani menyelamatkan semua umat manusia yang berdosa melalui penyaliban-Nya, dan akhirnya mengalahkan maut dan menjadi Roh yang mengawal manusia agar tetap hidup kudus dan berkenan kepada Bapa, dan layak hidup selamanya dalam kekekalan.
Dua minggu sebelum dibaptis, saya menghadap keluarga di Bandung untuk menyampaikan iman percaya saya yang baru, dan pada saat itu saya diperhadapkan antara hidup bersama keluarga, atau mati karena harus hidup bersama Jesus, di tengah sidang keluarga yang—menurut pemahaman keluarga kandung saya—darahnya halal, karena saya menjadi pengikut Kristus. Saya menyadari sekarang bagaimana Tuhan bekerja memperlihatkan kuasa-Nya dengan melepaskan saya—secara di luar nalar manusia—dari situasi yang menegangkan saat sidang keluarga itu, Saya merasakan Roh Kudus membimbing, memberi kekuatan dan keberanian kepada saya untuk menyatakan siapa Jesus sebenarnya di depan mereka, walaupun saya harus menanggung pembuangan, pencabutan hak sebagai anak, dan pengasingan dari keluarga selama hampir 8 tahun. Selama beberapa bulan setelah baptis, saya harus berpindah-pindah tempat tinggal, bahkan sampai tinggal di Medan beberapa bulan, untuk menghindari kejaran keluarga yang berusaha menarik saya kembali masuk pesantren.
Sejak hidup bersama Jesus, saya merasa tenang dalam menghadapi berbagai persoalan dan ancaman. Akhirnya Tuhan menganugerahkan teman perempuan saya itu sebagai istri saya, dan kami diberkati pada tanggal 24 November 1990 di gereja tempat saya dibaptis dengan segala keterbatasan, tanpa dukungan sama sekali dari keluarga saya. Hanya keluarga istri saya yang hadir; istri yang telah Tuhan siapkan sejak semula telah menjadi jawaban tentang janji-janji Allah yang selalu kami imani melalui bacaan Alkitab dan khotbah.
Kami dianugerahi dua anak, dan dalam perjalanan hidup rumah tangga yang begitu banyak pasang surutnya, kami tetap berusaha untuk tidak bergantung kepada orangtua kami dalam membesarkan kedua buah hati kami. Semua kami jalani dengan hanya tetap bergantung kepada Tuhan Yesus, dan kami sangat bersyukur menyaksikan bagaimana Tuhan merenda kehidupan kami dengan memberi kekuatan pada saat kami lemah dan pertolongan yang tidak pernah terlambat.
Kami melihat pimpinan Tuhan dalam hidup berkeluarga—dan khususnya menjaga saya untuk tetap hidup bersandar pada Yesus dalam segala keadaan—dengan memberikan lingkungan teman-teman gereja yang menginspirasi dan menguatkan lewat persekutuan-persekutuan keluarga yang diadakan hampir 3 kali seminggu. Itulah bagian pelayanan GPIB dalam membimbing jemaatnya agar tetap berada dalam kehangatan api iman. Pada tahun 1996, Tuhan memberi kepercayaan saya menjadi diaken. Ada hal yang menarik ketika saya bertanya kepada Tuhan mengapa saya dipilih menjadi diaken. Seorang ibu dengan tegas mengatakan alasannya: ”Karena Bapak punya mobil kijang sehingga setiap hari Rabu, kami yang sudah lansia ini tidak perlu repot naik ojek atau berjalan ke tempat ibadah rumah tangga.” Ungkapan ibu tersebut membuat saya sukar menolak panggilan Tuhan, dan berkat ibu tua tersebut saya mulai diperkenalkan pada arti pelayanan yang sebenarnya, sehingga saya makin akrab dengan pelayanan-pelayanan gereja di sekitar Pamulang sampai daerah Parung, di jemaat GPIB.
Setelah delapan tahun dalam pengasingan keluarga, pada bulan Desember 1998 Tuhan kembali me nyatakan kuasa-Nya dengan menjamah dan melunakkan hati ayah saya yang begitu keras menentang saya waktu itu. Sungguh, bila Roh Kudus bekerja, tidak ada hal yang mustahil. Beliau langsung menelepon saya sendiri dan meminta kami untuk datang ke rumah keluarga. Kami bersyukur kembali melihat kemuliaan Tuhan.
Pada tahun 2007, kami pindah ke Malaysia karena pekerjaan, tetapi pimpinan Tuhan tetap mengikat kami dalam lingkungan gereja. Kami beribadah di St. Andrew International Presbyterian Church Kuala Lumpur, dan di situ kami juga dibentuk menjadi pelayan-pelayan Tuhan, baik di lingkungan gereja, maupun pelayanan misi bagi orang-orang asli di Semenanjung Malaysia yang tidak memiliki agama, tapi kemudian percaya kepada Tuhan Yesus. Kami juga giat dalam pelayanan misi di Sabah Sarawak bagi suku Dayak/Iban yang animisme, tapi kemudian menjadi orang percaya dan berani membuang jimat-jimat mereka.
Pada tahun 2015, kami pulang ke Indonesia setelah anak pertama kami menyelesaikan kuliah di Inggris dan Malaysia dan bekerja di Jakarta, dan anak kedua kami mulai kuliah di sebuah College Canada di Jakarta. Kami kembali melihat kasih setia Tuhan ketika kami diperkenalkan dengan jemaat GKI Pondok Indah. Kami diperkenalkan dengan pelayanan pelayanan yang mengikat kami untuk tetap dalam rangkulan Tuhan, sehingga kami tetap dipelihara dalam kasih-Nya lewat Persekutuan Doa Pagi, Komisi Pengabaran Injil dan Komisi Kedukaan. Melalui persekutuan persekutuan tersebut, kami merasakan rengkuhan tangan Tuhan.
Pada akhirnya kami melihat betapa janji Tuhan tidak pernah terlambat dan pimpinan Roh Kudus memberikan kekuatan kepada kami. Walaupun pada awalnya terlihat tembok masalah yang begitu tinggi dan tidak mungkin ditembus, tetapi kasih karunia Tuhan tetap mampu meruntuhkannya. Pada akhirnya kami percaya bahwa Roh Kudus sejak semula telah bekerja dan menyertai kami. Tanpa Dia, kami tidak akan mampu menjalani kehidupan kami.
Kiranya kasih karunia dan Anugerah Tuhan memberi kami kemampuan untuk dipakai menjadi alat bagi kemuliaan-Nya. || MAHMUD YUSUF NURDIN THEOFILUS
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.