“Saya ingin anak saya bertanggung jawab. Itu sebabnya saya mewajibkannya melakukan tugas tugas ini setiap hari. Kalau dia tidak melakukannya, bagaimana mungkin dia bertanggung jawab?”
“Saya harus berulang kali mengingatkan anak saya untuk bertanggung jawab!”
“Saya tahu bahwa inilah pesan Tuhan untuk anak saya. Itu sebabnya saya tidak bosan bosannya menasihatinya untuk bertanggung jawab.”
Dalam pendekatan kognitif, tidak semua anak dapat mengikuti perkataan orangtua. Bukan karena mereka memberontak, melainkan karena mereka memiliki cara pandang yang berbeda. Ada anak yang memiliki ide baru saat mendengarkan perkataan orangtua, ada yang berpikiran negatif saat diajak melakukan hal yang positif, bahkan ada yang berpikir sebaliknya ketika dinasihati untuk melakukan hal-hal yang baik. Hanya sebagian yang menyetujui perkataan orangtua mereka, sekalipun perkataan itu berdasarkan Alkitab.
Dalam perjalanan parenting dan pelayanan saya, saya menjumpai banyak anak yang berbeda-beda seperti ini. Bahkan para remaja bisa mengidentifikasi diri apakah mereka punya pemikiran yang berbeda atau sejalan dengan orangtua mereka. Juga dalam gaya bicara, bekerja, mengambil keputusan, bahkan cara belajar. Untuk yang terakhir ini, ada anak yang mudah belajar hanya dengan sebuah kalimat perintah yang disampaikan kepadanya. Namun ada juga yang tidak mau mendengarkan nasihat orangtuanya, bahkan menjalankan hal sebaliknya. Sementara itu, ada banyak orangtua yang memiliki target agar anak-anak bertanggung jawab dalam hidup dengan mengingat apa yang mereka katakan.
Herannya, Jim Fay mengatakan bahwa “Tanggung jawab tidak dapat diajarkan”. Saat membaca ini, saya segera tertarik untuk mencari tahu apa yang dimaksudkannya. Apalagi saya tahu bahwa dia dan Foster Cline telah berhasil mengajarkan banyak orangtua untuk membesarkan anak anak yang bertanggung jawab.
Pertanyaan sepintas dari kalimat di atas, “Bagaimana mungkin anak anak kita bertanggung jawab jika kita tidak mengajarkan mereka untuk bertanggung jawab sedini mungkin?” Sementara menurut Fay dan Cline, satu hal asing dan tidak dapat diikuti oleh sebagian besar anak adalah “bertanggung jawab!” Makin keras orangtua memaksakan atau meneriaki anak untuk bertanggung jawab, makin enggan ia mendengarkan dan melakukannya. Sebagian lagi segera menunjukkan sikap tanggung jawab, karena dibayang-bayangi oleh ancaman dari orangtua mereka. Mereka takut, karena orangtua berperan sebagai orang yang berkuasa/berotoritas atas hidup mereka. Tidak banyak anak yang dengan senang hati mencontoh orangtua untuk tetap bertanggung jawab dalam keadaan di bawah tekanan mereka.
Kalau begitu, bagaimana mungkin anak dapat tumbuh bertanggung jawab kalau Fay dan Cline menyimpulkan bahwa “Tanggung jawab tidak diajarkan kepada anak”? Menurut Fay dan Cline, tanggung jawab sesungguhnya dapat kita temukan dalam perjalanan hidup anak.
“Responsibility cannot be taught; it must be caught.”
Jadi, bagaimana kita dapat menemukan tanggung jawab dalam diri anak? Dalam dunia pendidikan anak, ada istilah KUB (Kesempatan untuk Belajar). Dalam bahasa Inggris, hal itu dinamakan sebagai teachable moment, yakni kesempatan di mana anak dapat belajar melalui pengalaman yang dirasakannya sendiri, bukan dari perkataan yang diucapkan oleh orangtua atau gurunya. Ada banyak kesempatan yang akan dihadapinya setiap hari untuk belajar. Ia dapat saja belajar melalui kesalahan, sakit, kecelakaan, teguran orang dewasa, atau melalui sukses dan senangnya.
Tidak sedikit orangtua menjauhkan pengalaman buruk dari anak anak mereka. Mereka berusaha mencari sekolah yang aman dari kekerasan, yang membuat anak aman dan nyaman. Namun pada kenyataannya, tidak semua orangtua dapat menyekolahkan anak di sekolah seperti itu, bukan? Anak anak mengalami kesulitan dalam bersosialisasi, dimarahi guru, diperlakukan tidak adil dalam pergaulan mereka, bahkan ditekan oleh orang-orang yang lebih berkuasa dan berotoritas dari mereka.
Saat anak merasakan pengalaman pengalaman yang tidak menyenangkan seperti itu, di manakah orangtua? Apakah mereka siap mendengarkan kisah dan keluh kesahnya? Jika “ya”, di situlah titik di mana ia belajar tanggung jawab. Peran orangtua adalah mengajaknya memaknai apa yang dialaminya dan belajar menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya.
Pertanyaan sederhana yang dapat orangtua ajukan adalah:
– Pengalaman (buruk) apa yang kamu alami hari ini?
– Apa yang kamu rasakan melalui pengalaman itu?
– Apa yang kamu pelajari dari pengalaman itu?
Lebih jauh lagi, orangtua dapat juga bertanya:
– Menurutmu, apa yang Tuhan ajar kan melalui peristiwa itu?
– Apa yang lain kali akan kamu laku kan jika mengalami hal serupa?
Nantikanlah kesempatan itu dan temukan anak yang makin bertanggung jawab!
Menanti anak-anak sampai mereka bisa bertanggung jawab bukanlah tindakan yang dilakukan orangtua secara pasif. Ada tindakan aktif di mana orangtua dapat bertanya, merasakan apa yang anak rasakan, dan berbagi kisah serupa yang pernah mereka alami dulu, sehingga anak tahu bahwa sesungguhnya ia sedang belajar bertanggung jawab.
Pada usia 9 tahun, Andrew sangat santai saat orangtuanya membangunkannya pada pagi hari. Ia seakan-akan memiliki banyak waktu untuk mandi, menyiapkan tas sekolahnya, dan akhirnya menunggu bus sekolah menjemputnya. Suatu kali, saat ia menunggu bus sekolah, ia mulai gelisah karena bus sekolah itu tidak kunjung datang. Sampai akhirnya ia sadar bahwa sebentar lagi ia akan terlambat. Ibunya bertanya kepadanya, “Apa yang akan kamu lakukan? Kita berjalan kaki ke tengah kota dan naik bus umum ke sekolah, atau kamu mau mengingatkan distrik sekolah agar tidak lupa menjemputmu?” Akhirnya, karena enggan berjalan kaki ke tengah kota, Andrew menelepon distrik sekolah. Terdengar jawaban di telepon bahwa bus antar jemput sekolah itu sebetulnya sudah datang, tapi karena Andrew tidak berada di tempat perhentian seperti biasanya, si sopir meninggalkannya. “Saya datang tepat waktu, tapi bus sekolah datang lebih awal dari perjanjian!” kata Andrew dengan spontan. Singkat cerita, distrik sekolah setuju untuk menjemputnya dengan bus sekolah lain sehingga ia tidak perlu berjalan kaki dan naik bus umum pagi itu. Di sinilah rupanya Andrew mendapat “kesempatan untuk belajar”. Singkat cerita, esok harinya ia bangun lebih pagi, menyiapkan diri dengan cepat dan tidak pernah lagi terlambat.
Andrew telah belajar bahwa tanggung jawab itu ada pada dirinya sendiri: jika ia terlambat bangun pagi untuk menyiapkan diri tepat waktu, ia harus menanggung akibat keterlambatannya dan menelepon distrik sekolah sambil memohon agar berbelas kasihan kepadanya.
Bagaimana respons orangtua Andrew? Karena mereka sudah belajar KUB (kesempatan untuk belajar), maka mereka tahu bahwa menelepon distrik sekolah adalah tugas Andrew. Sementara tugas orangtua adalah berbagi tanggung jawab dan tetap membiayai sekolah Andrew. Bagaimana dengan Saudara? Sudahkah Saudara mengajak anak Saudara memaknai pengalaman suka dukanya dan tidak lagi mendiktenya dengan pemaknaan orangtua? Kiranya Tuhan memimpin parenting Saudara. || Pdt. Riani J. Suhardja
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.