Latar Belakang Saya dilahirkan pada tanggal 11 April 1980 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara keluarga Ira dan Jeffrey Dompas. Setahun kemudian, Nikita lahir pada tanggal 14 April 1981, dan Dimitri pada tanggal 16 Agustus 1990. Kami hidup dalam keluarga yang sangat erat hubungannya dan selalu melakukan kegiatan bersamasama pada akhir minggu, karena kedua orangtua saya bekerja sebagai profesional di bidang mereka masing-masing.
Masa Kecil Sejak dini, orangtua saya mengamati bahwa saya kurang fokus dan kurang berekspresi terhadap hal-hal umum yang biasa dilakukan oleh anak seusia saya. Mereka kemudian berdiskusi, baik dengan ahli (psikiater) maupun dengan dokter keluarga. Ahli tersebut menyarankan untuk menggunakan resep dokter guna mengurangi gejala hiperaktif saya, yang mereka anggap sebagai perilaku saya yang paling menyolok. Namun dokter keluarga menyarankan untuk tidak memberikan obat-obatan kepada saya, melainkan mencoba beberapa solusi lain, seperti mengikutsertakan saya pada banyak kegiatan fisik seperti berenang, Tae Kwon Do, dan tenis. Baru belakangan orangtua saya memahami perilaku saya sebagai penyandang sindrom autisme (asperger), yaitu salah satu tingkatan autisme yang mendekati individu normal. Salah satu tanda dari penyandang asperger adalah kesulitan untuk bersosialisasi sebagaimana umumnya individu normal.
Masa Sekolah Dasar
Empat tahun pertama di bangku SD, saya jarang mengalami perlakuan perlakuan yang tidak wajar dari beberapa kawan sekelas saya. Namun di kelas 5 SD, saya mulai di-bully oleh beberapa kawan sekelas hanya karena saya ingin meniru salah satu tokoh idola saya di televisi. Saya ditantang: “Kalau lo mau jadi Bart Simpson, lo harus jelekkin hasil-hasil ulangan lo, kalau nggak, gua panggil lo Lisa!” Pernyataan itu sangat menggangu saya karena saya tidak ingin disapa dengan sebutan ‘Lisa’, yang adalah nama seorang adik perempuan Bart Simpson. Untuk menghindari sebutan ‘Lisa’ itu, maka saya mengorbankan setiap ulangan harian yang sebenarnya mampu saya kerjakan. Akibatnya, orangtua saya dipanggil oleh Wali Kelas, dan saya dijelaskan bahwa hal tesebut tidak benar dan merusak proses belajar saya sendiri. Setahun kemudian, di kelas 6 saya kembali di-bully oleh beberapa kawan yang mengatakan bahwa: “Lo kan suka sama cewek itu, nanti pulang sekolah cium dia ya, biar lo dianggap jantan!”
Memang saya menyukai gadis tersebut, dan karenanya saya berpikir bahwa dengan langsung mencium pipinya, saya dapat lebih akrab dengannya. Ternyata gadis tersebut kecewa dan melaporkan hal itu kepada ibunya. Saya dipanggil oleh ibunya dan diperingatkan agar tidak menganggunya lagi. Bagaimana pun, saya tetap belajar dengan semangat dan pada akhirnya lulus SD dan melanjutkan ke SMP Tarakanita 5 bersama Nikita.
Masuk SMP
Di tingkat SMP, saya mulai berani mencoba menyatakan ketertarikan saya kepada beberapa kawan perempuan. Pertama kali saya menyatakannya kepada salah seorang teman perempuan kelas 2. Saya tidak melakukan pendekatan secara aktif kepadanya, tetapi langsung pada suatu siang sepulang sekolah, saya berkata kepadanya: Saya : “Lo mau jadi cewek gua nggak?” Dia : “Lo sudah gila apa? Ngaca saja lo!” Sungguh saya sangat terkejut dan terdiam serta hanya mampu memaki maki dari belakang saja. Hal lain yang menyebabkan saya terlibat masalah besar dalam bersosialisasi adalah ketika kawan laki-laki saya di kelas 2 SMP berkata kepada saya: Dia : “Dasar pala lo bulet kaya tuyul.” Saya : “Ikut saja mak lo yang sudah nggak ada!” Perkelahian pun tidak dapat dihindari, dan kami berdua dipanggil menghadap suster Kepala Sekolah dan diperingatkan untuk tidak mengulanginya lagi.
Masuk SMA
Dua minggu setelah masuk SMA, saya tiba-tiba dipanggil oleh beberapa alumnus setelah selesai misa malam Minggu di Gereja Santo Yohanes Penginjil. Saya disuruh datang ke warung Dadang yang terletak di dekat gereja dan diinterogasi kurang lebih tiga jam. Saya ditugasi untuk membawa permen karet yang dilaminating pada hari Minggu berikutnya, tetapi pada hari yang ditentukan itu saya lupa membawanya. Hal itu menyebabkan mereka marah dan memukul perut saya. Terjadilah perkelahian yang langsung dilerai oleh kawan ayah saya yang kebetulan ada di dekat warung. Akhirnya kami berdamai setelah ayah saya datang untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Kehidupan di Sekolah
Pada suatu hari saya dipanggil ke ruang Wakil Kepala Sekolah bersama Wali Kelas karena saya refleks menyebut nama binatang setelah salah seorang guru melempar saya dengan penghapus papan tulis. Menurut guru tersebut, saya telah membuat gaduh, tetapi saya berpendapat bahwa ada cara lain untuk menegur, bukan dengan kekerasan. Pada akhir tahun ajaran 1996-97, saya gagal melanjutkan ke kelas 2 karena nilai-nilai matematika, fisika, dan kimia saya terlalu fatal. Sejak itu saya mulai berpikir untuk keluar secepatnya supaya tidak gagal untuk kedua kalinya jika mengulang.
Berangkat ke Australia
Pada tanggal 7 November 1997 saya berangkat ke Australia dengan diiringi lagu ‘Mars PL’ sebagai salam perpisahan. Orangtua saya mengenalkan saya pada sepasang keluarga Katolik Roma yang saat itu sudah dikaruniai 4 orang anak. Mereka bersedia menampung saya selama menempuh pendidikan di Australia sampai lulus SMA.
Sepuluh hari kemudian saya memulai kelas bahasa Inggris untuk persiapan SMA. Saya bersahabat dengan seorang kawan laki-laki, dan kerap bertukar pikiran serta bercengkrama dengannya setiap selesai kelas. Saya merasa nyaman bergaul dengannya karena ia mempunyai beberapa kawan perempuan asal Hong Kong yang terbuka dan mau menerima saya apa adanya. Pada mulanya saya percaya kepada kawan laki-laki itu, tapi pada suatu hari ia mengalami kesulitan dan menghampiri saya untuk meminta uang demi membantu keluarganya. Sejak itu ia berkali-kali meminta bantuan kepada saya sampai uang saya hampir habis.
Ayah sangat kecewa dan langsung berkoordinasi dengan keamanan di Australia untuk menyingkirkan saya ke kediaman Konsulat Jendral RI sampai saya dipulangkan sementara ke Jakarta. Orangtua saya jelas kecewa dan mengancam saya untuk tidak kembali lagi bersekolah di Australia. Beruntung orangtua angkat saya di Australia masih mau menerima saya apa adanya, dan beberapa hari sebelum kembali ke Australia, saya diperingatkan orangtua saya supaya tidak mengecewakan mereka lagi dan juga tidak mudah percaya kepada siapa pun, terutama dalam masalah keuangan. Selebihnya saya belajar sampai akhirnya lulus tahun 1999 dan mengambil kuliah di jurusan pariwisata sampai saya kembali ke Indonesia pada awal tahun 2000.
Sekembali di Indonesia, saya menempuh kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Atmajaya. Pergaulan di sana tidak seindah masa sekolah, karena banyak kawan saya yang lebih mementingkan kerja paruh waktu, mengingat tidak banyak orangtua mereka yang mampu membayar biaya kuliah. Saya lulus kuliah setelah 6.5 tahun berjuang dan mendapatkan IPK 2.68 dari skala 4.
Masuk Kerja di Jakarta dan Pekanbaru
Pada tanggal 11 Juni 2007, saya mulai bekerja di salah satu perusahaan ayah saya sebagai staf administrasi, tapi hanya enam bulan, karena ternyata perusahaan tersebut sedang tidak berjalan dengan baik. Setahun berikutnya saya bekerja tujuh bulan sebagai tenaga administrasi di salah satu sekolah berkebutuhan khusus sembari mendampingi Kepala Sekolah berkampanye ke sekolah-sekolah perihal penanggulangan autisme di Pekanbaru.
Mengadu nasib di Singapura
Pada akhir Juni 2009, atas anjuran ayah saya, saya berangkat ke Singapura untuk melanjutkan pndidikan. Sebagai salah satu bagian mata perkuliahan, saya juga menjalankan praktik kerja lapangan di salah satu hotel ternama sebagai pembantu pelayan restoran. Selesai praktik kerja lapangan, saya melanjutkan kuliah sampai akhirnya lulus pada awal 2012.
Kerja di Bali
Saya mulai bekerja di Bali pada tanggal 6 Agustus 2012 sebagai operator telepon, tapi tidak bertahan lama karena kerap mengalami kesulitan dan langsung dialihtugaskan sebagai Document Controller. Tugas saya adalah memasukkan beberapa laporan transaksi ke dalam arsip yang bertuliskan nomor-nomor kamar tamu. Hotel Mulia Bali resmi dibuka pada tanggal 1 Desember 2012 dan sejak saat itu, kami masuk bergantian berdasarkan shift. Sayang sekali, saya lupa memerhatikan kesehatan saya sehingga pada bulan April 2014 saya terpaksa dirawat di rumah sakit karena masuk angin. Setelah keluar rumah sakit, saya tetap masuk shift petang, tapi memakai baju hangat setiap kali pulang kerja.
Tanggal 10 November 2015 saya pindah ke bagian housekeeping untuk membantu urusan administratif yang mereka anggap cukup sulit karena kurangnya tenaga kerja di departemen tersebut. Setelah berkontribusi cukup baik bagi kemajuan kinerja di sana, pada tahun berikutnya saya dipromosikan dari posisi storeman menjadi store administrator. Saya naik satu level rank & file dari level 1 ke 2 atas hasil kerja keras saya yang mampu bekerja di bawah tekanan dan menjalankan rangkaian tugas dengan cukup baik. Namun setelah bekerja selama 5 tahun, saya memutuskan untuk berhenti karena saya ingin mencoba menciptakan lapangan kerja yang sesuai dengan kemampuan dan bakat saya sendiri.
Kesimpulan
Saya amat bersyukur kepada Tuhan bahwa keluarga saya mau menerima saya apa adanya. Orangtua saya sangat sabar dan tidak pernah patah semangat dalam mendidik saya. Mereka berharap agar saya berubah menjadi lebih baik dan tidak mengulangi kesalahan yang sama.•(OYD)
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.