Fenomena Keresahan Sosial
Masyarakat banyak mengeluhkan kondisi sosial yang memburuk di tengah kemajuan zaman. Peningkatan prestasi dalam peradaban manusia melalui teknologi dan strategi menaklukkan alam serta kehidupan, tak dibarengi dengan berkembangnya budaya kemanusiaan yang saling memanusiakan. Banyak kawula muda yang tumbuh tanpa karakter. Mereka tidak punya pegangan dan sikap. Mereka mudah mengikuti apa yang dikatakan atau ditampilkan orang lain. Tidak penting apakah hal itu menambah nilai diri atau tidak, pokoknya viral. Mereka menjadi korban dan pengikut mode, apa pun bentuknya. Mereka kehilangan perilaku santun dan respek kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Mereka memilih pergaulan yang tidak membangun, asal menyenangkan, daripada kegiatan positif yang mengekang kebebasan mereka berekspresi sebagai generasi muda. Di sisi lain, masyarakat juga diresahkan dengan suburnya budaya suap, korupsi, persekongkolan, fanatisme golongan, serta penghalalan segala cara demi kemenangan dan kekuasaan. Hal ini lebih diperparah dengan maraknya perselingkuhan, perceraian, perpecahan dalam rumah tangga, dan perilaku-perilaku sejenis yang tidak menganggap pernikahan dan rumah tangga sebagai suatu hal yang patut dipertahankan serta dijaga kekudusannya di hadapan Tuhan.
Gereja sering kali dituding tidak memberi pembinaan yang memadai dalam pembentukan karakter warganya, sehingga tidak mampu menjadi terang di masyarakat. Memang tidak dapat disangkal bahwa banyak pelaku penyelewengan di masyarakat adalah orang Kristen atau anggota gereja aktif. Di pihak lain, gereja tidak bisa terlebih dulu menyaring warganya, dan langsung berhadapan dengan orang-orang yang sudah membawa pemahaman, pola pikir dan budaya dari kehidupan mereka di luar gereja. Meskipun gereja tidak kurang melakukan pembinaan karakter kristiani yang mendorong kasih dalam kehidupan bersama, tapi tanpa pembinaan integral jemaatnya, situasi ini tidak akan mengalami perbaikan.
Komunitas Terkecil Pembentuk Gereja dan Masyarakat
Komunitas terkecil pembentuk masyarakat dan gereja adalah keluarga. Karena itu, perbaikan dasar pendidikan karakter masyarakat haruslah berangkat dari keluarga. Tuhan sendirilah yang memerintahkan hal ini dalam Ulangan 6:4-9. Pesan itu disampaikan kepada orang Israel, khususnya para orangtua. Bukan kepada guru, kakak Sekolah Minggu, pendeta, tokoh masyarakat ataupun pemimpin bangsa. Apa artinya? Dari rumahlah anak-anak harus mulai diajar untuk menghormati Tuhan. Dari keluargalah anak-anak seyogyanya memperoleh dasar pembentukan karakter melalui pengajaran yang berulang-ulang, setiap saat, dan melalui segala kesempatan yang ada. Dan semua itu menjadi tugas dan tanggung jawab orangtua, bukan yang lain.
Ketidakpahaman dan kelalaian orangtua dalam menjalankan fungsi ini dan menyerahkan kewajiban itu kepada pihak lain yang dianggap lebih berkompeten, adalah awal dari ‘bencana’ yang menjadikan remaja-pemuda ‘the lost generation’. Generasi yang hilang pada masa dan upaya pembentukan karakter dasar masyarakat, yang seharusnya dimulai dari keluarga. Mereka terjun ke masyarakat sebagai generasi yang tak dibekali dengan bentukan karakter yang baik dan benar seturut rancangan Tuhan. Akibatnya, bukannya mewarnai komunitas mereka untuk menjadi lebih baik, melainkan justru saling mewarnai dalam kehampaan dan menjadi tak terarah secara bersama-sama.
6“Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan…” Kalimat ini—terutama kata ‘perhatikan’—mengandung pengertian yang jelas bahwa perintah tentang mendidik dan membentuk karakter yang baik telah disampaikan Tuhan kepada para orangtua untuk dilaksanakan. Hal ini menjadi dasar pembangunan pendidikan dan pembentukan karakter anak-anak mereka melalui sumber pengajaran yang sama. Para orangtua harus mau dan mampu mengalami dan menjalani terlebih dulu sebelum mengajarkannya kepada anak-anak mereka. Orangtua harus mengalami pembaruan budi dan menjadi pelaku karakter yang baik sebelum meneruskannya kepada anak-anak mereka. Intinya, Tuhan menghendaki orangtua menjadi panutan bagi pendidikan karakter dan pertumbuhan kepribadian serta spiritualitas anak-anak mereka. Orangtua tidak bisa menuntut apa yang tidak mereka ajarkan kepada anak-anak mereka. Mereka juga tidak bisa mengajarkan apa yang tidak mereka lakukan, alami, dan jalani dalam keseharian mereka.
Panggilan dan Fungsi Keluarga
Keluarga harus dikembalikan pada panggilannya semula. Fungsi keluarga sebagai tempat dan kesempatan awal pembentukan karakter harus dipulihkan. Keluarga perlu menghidupkan keberadaannya sebagai ‘gereja-rumah tangga’ (ecclesia domestica), yakni himpunan orang yang tidak saja percaya kepada Kristus, tapi juga menyertakan-Nya dalam segala gerak hidup keluarga itu. Orangtua harus berperan sebagai penentu dan pengarah pertumbuhan spiritual anak-anak mereka. Orangtua berfungsi sebagai imam yang merawat ‘altar keluarga’ dalam persekutuan yang erat di antara anggota keluarga bersama Tuhan. Menyelenggarakan doa bersama, membaca dan mendalami Alkitab, mengucap syukur, dan saling melayani dalam ibadah keluarga. Itulah perwujudan nyata bahwa mereka adalah pengikut Kristus, yakni ketika mereka melakukan perintah Yesus untuk saling mengasihi (Yoh. 13:34) dan saling melayani (Yoh. 13:14-15).
Pelayanan kasih keluarga pertama-tama perlu dimotivasi oleh rasa syukur atas kasih Tuhan sendiri bagi keluarga. Kesadaran bahwa keluarga telah terlebih dulu dikasihi Tuhan, akan memberikan dorongan untuk membalas kasih Tuhan (bdk. 1 Yoh. 4:10) dengan meneruskannya kepada sesama yang membutuhkan. Sebab dalam diri mereka yang hina dan menderita, Tuhan sendiri berkenan hadir dan dilayani (Mat. 25:40). Dengan demikian, semangat saling melayani dalam keluarga perlu terus dikembangkan agar bisa menjadi motor bagi pelayanan di Gereja dan masyarakat. Juga menepis tuduhan negatif bahwa pelayanan di Gereja dan masyarakat merupakan bentuk pelarian dari tanggung jawab utama untuk saling mengasihi dan melayani dalam keluarga sendiri.
Mungkin memang akan sulit melakukan pelayanan kepada sesama (diakonia) di gereja maupun di lingkungan lain jika tidak terbiasa melakukan pelayanan di rumah, di antara anggota keluarga sendiri. Sebab makna awal diakonia adalah pelayanan di meja makan, di mana pelayan siap-sedia memenuhi kebutuhan mereka yang sedang makan, dan harus memiliki kepedulian dan kecekatan dalam melayani. Namun demikian, melayani dalam keluarga tidaklah semudah dan sesederhana yang dibayangkan. Pelayanan dan kesaksian tersulit sebenarnya berada di dalam keluarga, terutama menghadapi tradisi dan nilai keluarga yang kurang selaras dengan kebenaran dan kasih Kristus. Perlu upaya, keberanian, keteguhan, ketekunan, kerendahatian, dan hikmat besar untuk menanamkan kebenaran ilahi itu. Di sinilah Gereja bisa diharapkan mengambil peran dalam mendukung pemahaman dan pelaksanaan fungsi altar keluarga ini melalui program-program yang dicanangkannya.
Program-program yang memberi perhatian pada pemberdayaan keluarga melalui pembinaan terpadu dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, remaja dan problemnya, pemuda dan tantangannya, bina pranikah, pendampingan keluarga muda, pengasuhan anak (parenting), keharmonisan pasangan suami-istri (pasutri), konseling anak, pendidikan, dan keluarga, serta program-program sejenis adalah upaya yang bisa mendorong, mendukung dan memberi inspirasi kepada keluarga-keluarga untuk menyelenggarakan pelayanan keluarga di rumah tangga mereka masing-masing. Inilah konsep utama dan jiwa dari Family Ministry.
Family Ministry
Family Ministry adalah model pelayanan yang pada awalnya diprakarsai oleh Gereja melalui berbagai aktivitas pemberdayaan, demi mendukung terciptanya hubungan yang lebih baik dalam keluarga. Melalui pelayanan ini keluarga-keluarga didorong untuk berperan aktif dalam membawa anggota keluarga—terutama anak-anak yang masih memerlukan bimbingan—pada hidup sejahtera dalam pemeliharaan kasih Allah. Keluarga diberdayakan untuk membangun karakter kristiani para anggotanya dari altar keluarganya sendiri. Dengan demikian, fungsi keluarga sebagai pembentukan dasar karakter bangsa sesuai tuntunan Tuhan dapat diwujudkan. Melalui pelayanan dalam keluarga inilah—terutama generasi muda—memiliki bekal dan pengalaman hidup yang berorientasi pada Firman Tuhan, sehingga pada gilirannya juga mampu menjangkau dan menolong keluarga-keluarga lain untuk mengalami kasih yang serupa melalui pelayanan di gereja atau lingkup yang lebih luas.
GKI Pondok Indah telah memberikan perhatian yang sangat besar pada penyelenggaraan family ministry melalui program-program pembinaan keluarga saat ini. Katekisasi pranikah, pembinaan Early-Marriage, pemberdayaan Keluarga Madya, Parenting: Growing Kids God’s Way, Parenting for Pre-Teens, dan Parenting for Mateto Parents, Week-End Pasutri, Couple Power Series, dan pojok-pojok Pembinaan Keluarga yang lain di majalah KASUT adalah bentuk-bentuk nyata upaya pembangunan jemaat GKI Pondok Indah melalui family ministry itu. Meskipun demikian, upaya lebih serius sangat diperlukan untuk mengintegrasikan pelaksanaan dan kesinambungan bentuk-bentuk pelayanan ini agar tidak terkesan berjalan sendiri-sendiri tanpa keterkaitan satu dengan lainnya.
Mencermati persoalan-persoalan yang ada dan terus berkembang di jemaat—hal yang tidak kelihatan mengemuka tapi merupakan kebutuhan mutlak yang perlu ada—adalah pendampingan langsung kepada jemaat dengan menghadirkan pelayanan konseling dan pembinaan khusus bagi anak dan remaja, konseling pranikah, konseling pernikahan dan keluarga, bahkan konseling untuk orangtua tunggal. Kebutuhan itu telah disuarakan oleh banyak pihak, baik secara langsung maupun melalui keprihatinan semata. Gereja, melalui bidang-bidang pelayanannya, diharapkan mampu segera menyerap aspirasi dan kebutuhan ini dan memberikan respons yang sepadan untuk mewujudkannya. Tuaian sudah banyak, para pekerja yang kompeten dan bersedia menjadi penuai sudah ada, tinggal bagaimana para pembuat keputusan menyediakan sarana menuai dan menugaskan mereka. Banyak warga jemaat dan keluarga yang menyambut dan mulai turut berkiprah untuk menghidupkan family ministry ini di lingkungan keluarga mereka dan Gereja. Undangan untuk turut terlibat dalam program-program family ministry ini ditujukan kepada semua warga jemaat dan keluarga mereka yang rindu mengalami hidup sejahtera dalam pemeliharaan kasih Allah serta bersedia menjangkau dan menolong keluarga-keluarga yang lain.
‘Keluarga yang Diberkati’
Berangkat dari saling mengasihi, memerhatikan, dan melayani antar anggota keluarga di rumah, ‘keluarga yang diberkati’ berupaya secara bersama menjadi terang dan berkat bagi keluarga-keluarga lain di gereja, demi membangun ‘persekutuan keluarga-keluarga diberkati’ yang menjadi saksi tentang kasih dan pemeliharaan Kristus bagi masyarakat dan dunia. Dengan demikian diharapkan terjadi perubahan dan perbaikan paradigma—dari maraknya perilaku yang meresahkan di masyarakat, ke arah terbangunnya kehidupan bersama yang seturut kehendak Tuhan—dengan menebarkan benih kasih, perhatian, dan kesediaan untuk saling melayani dalam kehidupan bersama yang menghadirkan suasana kerajaan surga di bumi ini.
Mari menyambut panggilan dan kesempatan untuk menjadi mitra Tuhan ini dengan penuh syukur. Karena kitalah yang dipilih Tuhan untuk menjadi keluarga yang diberkati, yang akan menjadi berkat bagi keluarga-keluarga lain dalam persekutuan keluarga-keluarga yang diberkati, dan yang menyaksikan Tuhan kepada dunia. Tuhanlah yang telah memilih kita, karena itu kita menyambut dan menerima tugas ini dengan penuh syukur. Jangan memilih untuk diam dan tak berkontribusi. Penulis surat Ibrani mengingatkan kita untuk merespons panggilan-Nya demikian: “Pada hari ini, jika kamu mendengar suara-Nya, janganlah keraskan hatimu!” (Ibrani 4:7)
Family Ministry, dari keluarga ke gereja untuk bersaksi bagi dunia
S U JARWO
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.